Dari gajah hingga rusa: bagaimana herbivora berperan besar menyelamatkan iklim bumi?
- Written by Jeppe Aagaard Kristensen, Carlsberg Foundation Visiting Postdoctoral Fellow at Oxford Ecosystems Lab, University of Oxford
Bayangkan Anda berada di balon udara yang terbang di atas sabana Afrika di ujung musim hujan. Di bawah sana, tampak sejumlah kawanan gajah, zebra, gnu (antelop besar mirip bison), dan badak. Mereka berkeliaran di suatu bentang alam yang dihiasi pohon-pohon yang tumbuh jarang dan juga kumpulan pepohonan di atas kanvas rumput berwarna kuning kecokelatan.
Para herbivora ini lapar dan gaduh. Mereka melahap serta menginjak-injak hamparan tumbuhan yang berfungsi menyimpan karbon dan mencegahnya memanaskan atmosfer.
Anda bisa saja berpikir bahwa kerakusan dan pijakan mereka akan mengganggu dan melepaskan karbon yang tersimpan di ekosistem sabana – seperti pelepasan karbon melalui kebakaran hutan.
Tapi, yang luar biasa, cara herbivora ‘merusak’ hamparan tumuhan justru membantu tanah menyimpan lebih banyak karbon. Pijakan-pijakan mereka membuat karbon tidak mudah bocor ke langit.
Dalam sebuah artikel terbaru[1] berbasis bukti dari beragam penelitian, kami menemukan bagaimana herbivora besar dapat membantu memperlambat perubahan iklim.
Hutan sering dianggap sebagai wadah utama penyimpan karbon. Tetapi karbon di kulit kayu dan daun pohon rentan terhadap penebangan, serangan hama, maupun kebakaran yang dapat melepaskan karbon – yang telah tersimpan puluhan tahun – hanya dalam hitungan jam.
Bahkan di hutan yang sehat, sebagian besar karbon yang tersimpan dalam vegetasi di atas tanah akan tetap terurai lalu naik ke atmosfer sebagai gas rumah kaca dalam waktu kurang dari satu abad[2].
Mikhail Roop/Shutterstock[3]Sementara, kawasan sabana dan padang rumput yang jarang ditumbuhi pepohonan – dengan populasi herbivora yang melimpah – justru mampu menyimpan karbon di bawah tanah selama ribuan bahkan puluhan ribu tahun.[4]
Bagaimana ini bisa terjadi?
Penelitian pada tahun 2009[5] menunjukkan bagaimana gnu yang ‘pulang kampung’ ke Sabana Serengeti di Afrika Timur pada 1960 setelah virus sempat mengoyak populasi mereka, jutru menurunkan angka kebakaran hutan.
Hal ini terjadi karena, sepeninggal gnu, tidak ada lagi makhluk yang menginjak dan memakan vegetasi di Sabana Serengeti. Vegetasi yang terus bertumbuh menjadi semakin rentan terbakar.
Nah, kembalinya populasi gnu pada tahun 1960an memberikan kesempatan pada tumbuhan di Serengeti untuk kembali pulih dan jumlahnya melimpah. Imbasnya, jumlah karbon yang tersimpan dalam tanah juga bertambah.
Read more: Hewan laut sebagai penyerap karbon lautan - apakah melindungi mereka dapat membantu memperlambat perubahan iklim?[6]
Ini mungkin terdengar aneh. Tapi, herbivora besar dan kobaran api musiman memang menjadi elemen alami dalam ekosistem padang rumput. Tanpa gnu yang ‘mengamankan’ semua bahan bakar itu, si jago merah rentan mengamuk dan menghabiskan segalanya.
Apakah peran herbivora atau kebakaran yang menghabiskan tumbuhan penting bagi iklim?
Jika Anda berasumsi bahwa 100% karbon dalam tumbuhan yang dilepaskan ke atmosfer sebagai gas rumah kaca berasal dari kebakaran atau pencernaan gajah, jawabannya tentu tidak.
Tapi yang terjadi bukan demikian.
Henk Bogaard/Shutterstock[7]Karbon terbakar (disebut sebagai karbon hitam) yang tersisa di tanah setelah kebakaran sangat sulit terurai oleh mikroba.
Sementara, lebih dari separuh komponen tumbuhan yang dimakan oleh herbivora besar terbuang menjadi kotoran dan urin. Keduanya justru mempermudah proses penguraian oleh kumbang, cacing tanah, jamur, dan bakteri di dalam tanah.
Lain halnya dengan penguraian serasah atau sisa organik tanaman (daun mati, batang kayu yang tumbang). Para ilmuwan pernah berasumsi bahwa komponen tumbuhan yang langsung dimakan oleh mikroba atau hewan dapat hilang dari tanah. Namun, penemuan terbaru justru menunjukkan gambaran sebenarnya tidak sesederhana itu.
Sebagian dari komponen yang diurai oleh organisme terlepas sebagai CO₂ ke atmosfer. Sementara mayoritasnya terbenam sebagai karbon dalam tanah. Cara efektif untuk menyimpan karbon jangka panjang di bawah tanah adalah dengan memberi makan tanah dengan bahan organik yang mudah terurai.
Hewan besar justru lebih mahir mengatur ulang tempat ekosistem menyimpan karbon. Mereka mengarahkan karbon yang lebih besar ke tempat penampungan yang tahan lama dan stabil di bawah tanah.
Hal ini menunjukkan peran penting komunitas satwa liar yang terhubung ke habitatnya. Hal tersebut semestinya mendorong kita untuk melindungi beberapa ekosistem herbivora yang tersisa di Bumi, seperti sabana Afrika.
Kita bisa lebih membantu memulihkan bumi dengan mengembalikan lebih banyak ‘insinyur ekosistem’ berkaki empat di tempat di mana mereka telah hilang.
Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.
References
- ^ artikel terbaru (doi.org)
- ^ kurang dari satu abad (bg.copernicus.org)
- ^ Mikhail Roop/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ puluhan ribu tahun. (www.nature.com)
- ^ Penelitian pada tahun 2009 (journals.plos.org)
- ^ Hewan laut sebagai penyerap karbon lautan - apakah melindungi mereka dapat membantu memperlambat perubahan iklim? (theconversation.com)
- ^ Henk Bogaard/Shutterstock (www.shutterstock.com)
Authors: Jeppe Aagaard Kristensen, Carlsberg Foundation Visiting Postdoctoral Fellow at Oxford Ecosystems Lab, University of Oxford