Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Benarkah KB spiral picu kanker payudara? Ini fakta ilmiah yang perlu kamu tahu

  • Written by Brett Montgomery, Senior Lecturer in General Practice, The University of Western Australia
Benarkah KB spiral picu kanker payudara? Ini fakta ilmiah yang perlu kamu tahu

Sebuah studi terbaru[1] mengungkapkan hubungan antara penggunaan KB spiral (IUD) berlapis hormon dengan risiko perempuan terjangkit kanker payudara.

Temuan ini penting, tetapi sayangnya pemberitaan sejumlah media cenderung berlebihan[2]–dengan menyebut penggunaan KB spiral berisiko besar memicu kanker payudara–sehingga menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu di masyarakat.

Agar tidak salah kaprah, mari kita bedah studinya[3] menggunakan penelitian yang melibatkan pengguna KB spiral.

Apa itu KB spiral?

KB spiral merupakan alat kontrasepsi yang umum digunakan perempuan. Melalui vagina, alat berbentuk huruf T ini dipasang ke dalam rahim untuk mencegah kehamilan.

KB spiral ada dua jenis, yaitu versi lama yang mengandung tembaga dan versi terbaru dengan kandungan hormon. Keduanya sama-sama efektif mencegah kehamilan[4] selama bertahun-tahun. Namun, setelah KB dilepaskan, perempuan tetap bisa subur kembali.

KB spiral berlapis tembaga mencegah kehamilan dengan melepaskan unsur tembaga ke dalam rahim guna menghalangi sel sperma agar tidak membuahi sel telur.

Sementara itu, KB spiral berlapis hormon[5] mencegah kehamilan dengan melepaskan hormon progesteron sintetis bernama levonogestrel secara perlahan. Cara kerjanya mirip dengan progesteron alami tubuh, yaitu dengan mengentalkan lendir serviks sehingga sel sperma tidak dapat membuahi sel telur.

KB spiral dengan kandungan hormon juga memiliki kelebihan tambahan, yaitu meringankan gejala menstruasi[6] sehingga tidak terlalu menyakitkan[7]. Beberapa orang menggunakannya karena alasan ini, meski sedang tidak dalam rangka mencegah kehamilan.

Setelah KB spiral terpasang, tidak sedikit perempuan akan merasakan nyeri[8] ataupun mengeluarkan bercak darah selama beberapa bulan pertama. Namun, dibandingkan alat kontrasepsi lainnya, KB spiral umumnya lebih dapat diterima dan digunakan secara berkelanjutan[9] oleh perempuan.

Menelisik hasil penelitian

Studi baru[10] yang mengkaji hubungan antara penggunaan KB spiral berlapis hormon dengan risiko kanker payudara dilakukan oleh sekelompok peneliti dari Denmark. Risetnya menggunakan data kesehatan nasional dari hampir 80.000 penduduk Denmark.

Peneliti kemudian mengelompokkan pengguna KB spiral berlapis hormon selama dua dekade terakhir. Kelompok selanjutnya adalah orang dengan rentang waktu kelahiran serupa dengan kelompok pertama, tetapi tidak menggunakan KB spiral berlapis hormon.

Read more: Randomised control trials: what makes them the gold standard in medical research?[11]

Idealnya, ketika peneliti mempelajari sebuah efek dari tindakan medis, mereka melakukan “uji acak terkendali” sembari menaksir peluang untuk menilai kelayakan seseorang dalam menerima tindakan medis. Tujuannya adalah untuk memastikan agar kedua kelompok memiliki kemiripan perlakuan dan pengondisian, terlepas dari tindakan medis yang diteliti. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan oleh tim peneliti Denmark.

Sebaliknya, peneliti hanya mempelajari orang-orang yang telah menggunakan KB spiral berlapis hormon, lalu membandingkan mereka dengan kelompok nonpengguna. Ini bisa menyebabkan kedua kelompok memiliki perbedaan risiko terkena kanker payudara–tetapi bukan karena penggunaan KB spiral, melainkan karena faktor lainnya. Misalnya, perempuan berpendidikan tinggi mungkin lebih cenderung memakai KB spiral maupun menjalani pemeriksaan kanker payudara sehingga kian memperbesar potensi ditemukannya keganasan pada kelompok ini.

Untuk mengelompokkan para partisipan, peneliti juga “menyesuaikan” hasil penelitian dengan hanya mempertimbangkan pendidikan, usia, jumlah anak, jumlah obat yang dikonsumsi, serta kondisi medis lain yang diidap peserta. Akibat “penyesuaian” ini, statistik yang mereka temukan mengarah kepada tingginya risiko kanker payudara di antara kelompok pengguna KB spiral berlapis hormon.

Peneliti justru tidak mempertimbangkan sejumlah faktor risiko pemicu kanker payudara lainnya, seperti berat badan, kebiasaan merokok, konsumsi alkohol, dan intensitas aktivitas fisik. Jikapun faktor risiko ini disertakan untuk membedakan kedua kelompok, hasil penelitiannya mungkin masih bias. Karena itu, saya tidak cukup yakin dengan hasil penelitian ini.

Pada akhirnya, kita tidak dapat mengatakan bahwa penggunaan KB spiral dapat menyebabkan kanker payudara–yang ada hanyalah dugaan mengenai “hubungan” atau “keterkaitan” antara keduanya.

Read more: Clearing up confusion between correlation and causation[12]

Seberapa besar risikonya?

Ada dua cara yang digunakan peneliti untuk mengungkapkan risiko peserta terkena kanker payudara, yaitu risiko “relatif” dan “absolut”. Peningkatan risiko relatif sekitar 30% dialami perempuan yang menggunakan KB spiral selama lima tahun, 40% setelah pemakaian 5-10 tahun, dan 80% setelah digunakan 10-15 tahun.

Terdengar seperti risiko yang sangat besar, ya. Faktanya, meski statistik ini membandingkan risiko kanker payudara antara pengguna KB spiral dengan nonpengguna, statistik ini tidak menunjukkan proporsi perempuan yang akan terkena keganasan tersebut. Karena itu, kita perlu meninjau risiko absolutnya.

Angka risiko absolut jauh lebih kecil. Dari sekitar 10.000 perempuan, penelitian menunjukkan sebanyak 14 orang berisiko mengalami kanker payudara setelah menggunakan KB spiral selama lima tahun, 29 orang setelah pemakaian 5-10 tahun, dan 71 kasus setelah penggunaan 10-15 tahun. Secara absolut–dengan mempertimbangkan proporsi dari semua pengguna KB spiral–semua peningkatan risiko ini berada di bawah 1%.

Risiko absolut kanker payudara akibat penggunaan KB spiral jauh lebih kecil.
Risiko absolut kanker payudara akibat penggunaan KB spiral jauh lebih kecil. Frame Stock Footage/Shtterstock[13]

Karena itu, kesalahan lain dalam pemberitaan mengenai hasil penelitian ini adalah menyoroti secara dramatis risiko relatif, alih-alih melaporkan risiko absolut yang jauh lebih kecil. Cara ini bertentangan dengan rekomendasi pelaporan[14] karya ilmiah[15].

Meninjau penelitan lainnya

Terdapat penelitian lain yang mengkaji topik serupa, salah satunya penelitian terbaru berskala lebih besar di Swedia[16] yang menggunakan data lebih dari setengah juta pengguna KB spiral berlapis hormon.

Hasil penelitian menunjukkan penggunaan KB spiral meningkatkan risiko relatif terkena kanker payudara sebesar 13%–jauh lebih kecil daripada peningkatan risiko keganasan dalam penelitian di Denmark. Persentase ini menambah sebanyak 1,46 kasus kanker payudara dari 10.000 perempuan pengguna KB spiral per tahun.

Senada dengan temuan tersebut, riset telaah cakupan terbaru[17] mengenai topik serupa, juga menemukan risiko kanker payudara pada pengguna KB spiral yang jumlahnya jauh lebih kecil daripada studi di Denmark.

Bagaimana menyikapi temuan ini?

Hubungan antara penggunaan KB spiral dengan risiko terkena kanker payudara kemungkinan sangat kecil. Bisa jadi temuan soal ini hanya ilusi statistik semata, alih-alih fakta yang terjadi di lapangan.

Kalaupun risiko kanker memang benar meningkat akibat pemakaian KB spiral, risiko ini dapat dikurangi dengan menghindari faktor risiko penyebab kanker lainnya. Sebab, pengaruh penggunaan KB spiral mungkin tidak seberapa, jika dibandingkan dengan faktor risiko kanker lain[18], seperti berat badan berlebih, minimnya aktivitas fisik, serta kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.

Jadi, KB spiral mungkin bukan pilihan kontrasepsi yang tepat untuk semua perempuan. Namun, alat kontrasepsi ini masih layak jadi pilihan yang utama dalam mencegah kehamilan.

References

  1. ^ studi terbaru (jamanetwork.com)
  2. ^ pemberitaan sejumlah media cenderung berlebihan (www.9news.com.au)
  3. ^ studinya (jamanetwork.com)
  4. ^ sama-sama efektif mencegah kehamilan (shq.org.au)
  5. ^ KB spiral berlapis hormon (shq.org.au)
  6. ^ meringankan gejala menstruasi (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  7. ^ tidak terlalu menyakitkan (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  8. ^ merasakan nyeri (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  9. ^ diterima dan digunakan secara berkelanjutan (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
  10. ^ Studi baru (jamanetwork.com)
  11. ^ Randomised control trials: what makes them the gold standard in medical research? (theconversation.com)
  12. ^ Clearing up confusion between correlation and causation (theconversation.com)
  13. ^ Frame Stock Footage/Shtterstock (www.shutterstock.com)
  14. ^ rekomendasi pelaporan (centerforhealthjournalism.org)
  15. ^ karya ilmiah (sciencemediacentre.es)
  16. ^ penelitian terbaru berskala lebih besar di Swedia (www.ajog.org)
  17. ^ riset telaah cakupan terbaru (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
  18. ^ faktor risiko kanker lain (www.womens-health-concern.org)

Authors: Brett Montgomery, Senior Lecturer in General Practice, The University of Western Australia

Read more https://theconversation.com/benarkah-kb-spiral-picu-kanker-payudara-ini-fakta-ilmiah-yang-perlu-kamu-tahu-242202

Magazine

From pop songs to baby names: How Simeulue Island’s ‘smong’ narrative evolves post-tsunami

Simelulue men gather to perform 'nandong,' a traditional local song.(Jihad fii Sabilillah/Youtube), CC BY20 years have passed since the Aceh tsunami, leaving deep scars on Indonesia, especially for th...

Tak hanya swasembada energi, Sumatra bisa ekspor listrik bersih ke Singapura

PLTS di Singapura.(Kandl Stock/Shutterstock)Sumatra, salah satu pulau terbesar di Indonesia, memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Sinar matahari yang menyinari pulau ini, misalnya, bisa meng...

Indonesia’s BRICS agenda: 2 reasons Prabowo’s foreign policy contrasts with Jokowi’s

Ilustrasi-ilustrasi bendera negara anggota BRICS dan mitra.justit/ShutterstockIndonesia’s decision to pursue membership in BRICS – an emerging economy bloc comprising Brazil, Russia, India...