Asian Spectator

Prabowo janjikan pemerataan pendidikan: Anak-anak Papua butuh pendidikan kontekstual

  • Written by Dini Dwi Kusumaningrum, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Prabowo janjikan pemerataan pendidikan: Anak-anak Papua butuh pendidikan kontekstual
Prabowo-Gibran, yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi, mulai bekerja sejak 20 Oktober 2024. Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya. Tersedianya pendidikan dasar yang layak merupakan hak asasi manusia dan sudah seharusnya menjadi kontrak sosial[2] warga negara dengan presiden terpilih Prabowo Subianto. Faktanya, secara statistik, Papua masih menjadi provinsi dengan angka buta huruf tertinggi di Indonesia, sebanyak 12,84%[3] (usia 15-44 tahun), sampai dengan tahun 2023. Indikator capaian pendidikan Papua dan Indonesia tahun 2023. Sumber: Olah data BPS, 2024. Pemerintahan sebelumnya sudah banyak membuat produk hukum sebagai landasan kebijakan untuk mempercepat pembangunan di Papua. Terbaru, Jokowi mengeluarkan Perpres 24/2023 tentang Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041[4]. Namun, Papua masih memiliki berbagai persoalan seperti tingginya absentisme guru dan murid[5], minimnya dukungan terhadap pendidikan anak, kurang relevannya materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari, dan minimnya inovasi dalam proses pembelajaran. Ketertinggalan capaian pendidikan di Papua ini memerlukan percepatan kerja pemerintahan untuk menyediakan layanan pendidikan yang mampu menjawab tantangan pendidikan yang ada di Papua[6]. Menurunkan angka absenteisme Banyak guru absen mengajar dengan berbagai alasan, seperti tidak ada kendaraan, akses yang sulit ditempuh, tidak ada jaminan keamanan, tidak ada akomodasi tersedia di sekitar sekolah tempat mengajar, menghadiri upacara adat dan keagamaan, tidak ada pengawasan, serta tinggal di kota dan meninggalkan lokasi mengajar dari 6 bulan sampai dengan 3 tahun[7]. Persoalan ini dapat diatasi dengan desentralisasi. Sebab, desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur kebijakan pendidikan[8], seperti merekrut guru, menentukan penempatan, dan memberikan honor. Jika rentang kendali pemerintah provinsi dan pemerintah pusat terbatas, maka pengawasan dan dukungan dapat dilakukan di tingkat distrik bahkan kampung, melalui mekanisme lokal yang disebut tiga tungku (kepala kampung, gereja, dan ketua adat)[9] yang cukup efektif berfungsi sebagai kontrol sosial di Papua. Ini terbukti berhasil dalam riset tahun 2016 yang kami lakukan di Kabupaten Lanny Jaya. Di sana, pemerintah daerah melibatkan kepala kampung, kepala adat, tokoh agama untuk mengawasi guru dan murid yang absen ke sekolah. Sekretaris daerah menimbulkan efek jera dengan cara menunda turunnya bantuan program keluarga harapan bagi keluarga yang membiarkan anaknya absen ke sekolah. Memperkuat dukungan orang tua dengan menurunkan angka buta huruf Dinamika sosial budaya keluarga sangat berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Buta huruf pada orang tua, misalnya, dapat menyebabkan minimnya dukungan terhadap pendidikan anak. Riset tahun 2013[10] telah membuktikan bahwa siswa yang tidak bisa membaca dan menulis cenderung memiliki orang tua yang juga buta huruf, dan akhirnya hanya menempuh pendidikan dasar setingkat orangtuanya. Angka buta huruf dewasa usia 45 tahun ke atas di Provinsi Papua masih sangat tinggi, yaitu sebanyak 22,26%[11]. Berdasarkan pengalaman penulis ketika melakukan observasi tahun 2022 di Kabupaten Keerom (Provinsi Papua) dan Manokwari Selatan (Provinsi Papua Barat), hampir semua orang tua murid di sana buta huruf. Akibatnya, orang tua tidak mendampingi anak belajar membaca dan mengerjakan PR di rumah, serta tidak memberikan motivasi kepada anak untuk menempuh pendidikan dan membiarkan anaknya absen. Menurut penuturan para guru, hal ini berdampak pada kemampuan anak dalam membaca. Salah satu guru menyampaikan, “Mama sama bapanya juga tidak mengenal huruf, jadi bagaimana mau ajar anak belajar di rumah, kalau ikut berladang dan upacara adat bisa tidak masuk 3-6 bulan dibiarkan saja, jadi kami ajari sekarang bisa, anaknya masuk tiga bulan lagi sudah lupa dan mengulang lagi ke awal dari 0, dan itu hampir semua, jadi kami juga sedih, masuk tau-tau sudah kenaikan, kami harus bagaimana, mau dinaikkan mereka tidak bisa baca, kalau dikasi tinggal, ada 2 murid yang sudah tinggal 2 tahun, masa mau tinggal kelas lagi” Ini sejalan dengan penelitian tahun 2024[12] yang menunjukkan bahwa orang tua buta huruf akan berpengaruh pada buruknya kesejahteraan anak yang berdampak pada prestasi skolastik, stabilitas emosional, dan kemajuan sosial. Di Keerom misalnya, banyak orang tua siswa dari sosio-ekonomi bawah bercerai, sehingga anak tinggal bersama nenek atau anggota keluarga lain yang sudah tua dan buta huruf. Untuk mengatasi permasalahan angka buta huruf yang masih tinggi, peran aktif orang tua sangatlah krusial. Komunikasi yang efektif antara pihak sekolah dan orang tua menjadi kunci utama dalam memotivasi orang tua untuk dapat lebih terlibat dalam proses belajar anak. Sekolah perlu secara aktif melibatkan orang tua dalam berbagai kegiatan sekolah, seperti mengadakan pertemuan rutin, sosialisasi, dan kegiatan belajar bersama di rumah. Dinas pendidikan memiliki peran penting sebagai fasilitator dalam membangun jembatan komunikasi yang kuat antara sekolah dan orang tua. Selain itu, kolaborasi dengan tokoh masyarakat seperti kepala kampung, tetua adat, tokoh agama dan kelompok muda pegiat literasi sangatlah penting. Mereka memiliki pengaruh yang besar dalam masyarakat dan dapat menjadi agen perubahan yang efektif. Melalui mereka, pesan tentang pentingnya pendidikan dan literasi dapat disampaikan secara lebih efektif kepada masyarakat luas. Meningkatkan relevansi dengan kehidupan sehari-hari Rendahnya kemampuan membaca siswa di Papua erat kaitannya dengan kurang relevannya materi pembelajaran dengan konteks kehidupan sehari-hari mereka. Keterbatasan akses terhadap buku pelajaran yang relevan dan ketidaksesuaian substansi buku dengan budaya masyarakat Papua menjadi kendala utama. Seperti yang ditemukan dalam penelitian tim riset kolaborasi dari Pusat Riset Kependudukan BRIN, Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Universitas Cenderawsih di Kampung Demta, Kabupaten Jayapura pada tahun 2021, guru setempat mengeluhkan contoh-contoh materi yang tidak relevan, seperti materi tentang kereta api. Hal ini menyulitkan siswa untuk membayangkan konsep tersebut karena tidak ada dalam lingkungan mereka. Karakteristik masyarakat Papua yang masih sangat bergantung pada alam dan memiliki gaya hidup meramu serta berburu menuntut adanya materi pembelajaran yang lebih kontekstual. Dengan menyusun buku pelajaran yang memuat kosakata dan contoh-contoh yang berkaitan dengan budaya dan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, seperti sagu, kayu, ubi, hutan, dan berburu, maka siswa akan lebih mudah memahami dan mengingat materi pelajaran. Penggunaan contoh-contoh yang familiar akan menciptakan visualisasi yang kuat dalam pikiran siswa, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih efektif dan bermakna. Inovasi budaya lokal Selain relevansi kurikulum, inovasi dalam proses pembelajaran juga menjadi kunci untuk meningkatkan kemampuan membaca siswa di Papua. Pembelajaran yang berpusat pada siswa dan konteks budaya mereka dapat memicu minat belajar yang lebih tinggi. Penggunaan media pembelajaran yang beragam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Papua, seperti permainan tradisional, cerita rakyat, dan lagu daerah, dapat menjadi alternatif yang menarik. Pendekatan sekolah kampung yang diinisiasi oleh John Rahail merupakan contoh nyata bagaimana kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran[13]. Sebagai contoh, penulis berkesempatan melakukan observasi di sebuah sekolah dasar di Kampung Demta, Kabupaten Jayapura tahun 2021 yang berinovasi mengemas materi pelajaran berhitung melalui permainan tradisional berburu. Proses pembelajaran yang dilakukan yaitu dua kelompok siswa bermain seolah-olah berburu dengan target buruan yang dalam permainan itu digantikan dengan buah-buah yang tertutup daun. Secara bergantian masing-masing anggota kelompok siswa tersebut bergantian maju mengendap-endap dan memanah target buruan. Hasil buruan yang terkumpul selanjutnya akan dihitung secara bersama-sama. Dengan mengaitkan materi pembelajaran dengan aktivitas sehari-hari, seperti berburu dan menghitung, anak-anak Papua dapat lebih mudah memahami konsep-konsep dasar. Pendekatan ini tidak hanya memperkenalkan konsep akademis, tetapi juga memperkuat identitas budaya dan rasa bangga terhadap akar mereka. Melalui inovasi-inovasi semacam ini, pembelajaran tidak hanya menjadi kegiatan transfer pengetahuan, tetapi juga pengalaman yang menyenangkan dan bermakna bagi siswa Papua. Ilustrasi Permainan Berburu oleh Siswa Sekolah Dasar di Kampung Demta, Kabupaten Jayapura Permainan Berburu oleh Siswa Sekolah Dasar di Demta, Kabupaten Jayapura. Sumber: Dokumentasi Penulis (2021) Pendidikan kontekstual: Strategi penguatan pendidikan di Papua Untuk mencapai peningkatan kualitas pendidikan di Papua, diperlukan strategi komprehensif yang berakar pada konteks lokal dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Read more: Solusi bangun pendidikan di wilayah terpencil menurut riset[14] Salah satu pendekatan yang relevan adalah penerapan pendidikan kontekstual Papua. Implementasi pendidikan kontekstual Papua ini dapat dilakukan melalui pengembangan kurikulum berbasis kearifan lokal, penggunaan media pembelajaran yang sesuai dengan kehidupan sehari-hari orang asli Papua (OAP), inovasi proses pembelajaran melalui media permainan tradisional atau integrasi pengetahuan tradisional dengan ilmu pengetahuan modern. Pendekatan pembangunan yang berbasis kesejahteraan sosial dan wilayah adat[15] juga perlu diprioritaskan, dengan fokus pada masyarakat OAP di kampung-kampung, terutama di daerah pedalaman dan pegunungan yang sulit dijangkau. Melalui dialog aktif dengan semua komponen masyarakat, pemerintah dapat merumuskan kebijakan pendidikan yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Pendampingan berkelanjutan dari pemerintah pusat kepada aparatur pemerintah daerah menjadi kunci dalam memastikan implementasi kebijakan yang efektif. Read more: 3 cara agar pendidikan di Papua mencerminkan nilai-nilai dan budaya lokal dengan lebih baik[16] Dengan tersedianya layanan publik, OAP akan merasakan kehadiran negara, dan tidak hanya memiliki ingatan mengenai politik kekerasan[17]. Selain itu, pemberdayaan masyarakat lokal dalam pengawasan dan partisipasi aktif dalam peningkatan kualitas pelayanan publik akan mendorong terciptanya sistem pendidikan yang lebih akuntabel dan berkelanjutan. Peningkatan kerja sama kemitraan dengan berbagai penyelenggara pendidikan, baik pemerintah maupun swasta, juga penting untuk memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan di Papua. References^ #PantauPrabowo (theconversation.com)^ kontrak sosial (journal2.um.ac.id)^ sebanyak 12,84% (data.goodstats.id)^ Rencana Induk Percepatan Pembangunan Papua Tahun 2022-2041 (regional.bappenas.go.id)^ tingginya absentisme guru dan murid (www.unicef.org)^ tantangan pendidikan yang ada di Papua (www.myedisi.com)^ 6 bulan sampai dengan 3 tahun (www.unicef.org)^ desentralisasi memberikan ruang bagi daerah untuk mengatur kebijakan pendidikan (www.kemdikbud.go.id)^ tiga tungku (kepala kampung, gereja, dan ketua adat) (ejournal.uin-suska.ac.id)^ tahun 2013 (www.researchgate.net)^ yaitu sebanyak 22,26% (www.bps.go.id)^ tahun 2024 (cognizancejournal.com)^ kearifan lokal dapat diintegrasikan dalam proses pembelajaran (www.liputan6.com)^ Solusi bangun pendidikan di wilayah terpencil menurut riset (theconversation.com)^ kesejahteraan sosial dan wilayah adat (jdih.bappenas.go.id)^ 3 cara agar pendidikan di Papua mencerminkan nilai-nilai dan budaya lokal dengan lebih baik (theconversation.com)^ ingatan mengenai politik kekerasan (www.google.com)Authors: Dini Dwi Kusumaningrum, Peneliti Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Read more https://theconversation.com/prabowo-janjikan-pemerataan-pendidikan-anak-anak-papua-butuh-pendidikan-kontekstual-240809

Magazine

Bukan harta, warisan penting yang bisa diberikan ayah adalah kehadiran dan keterlibatan dalam pengasuhan

Ilustrasi ayah bekerja sambil mengasuh anak. MENG KONGSAK/ShutterstockSelama berpuluh tahun, di banyak negara termasuk Indonesia, ayah dianggap sebagai sosok pendisiplin yang memiliki jarak secara emo...

Prabowo janjikan pemerataan pendidikan: Anak-anak Papua butuh pendidikan kontekstual

Prabowo-Gibran, yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi, mulai bekerja sejak 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #Pant...

Jangan cuma memperkuat TNI, Prabowo juga perlu memperkokoh keamanan hayati laut

Prabowo-Gibran, yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi, telah bekerja sejak 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #Pant...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion