Benarkah goresan kecil di tubuh bisa mematikan di masa depan? Ini kata pakar resistansi antibiotik
- Written by James P. O'Gara, Professor of Microbiology, University of Galway
Artikel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris untuk memperingati Pekan Kesadaran Antimikroba Dunia, 18-24 November.
Berdasarkan laporan terbaru[1] Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah agen antibakteri, termasuk antibiotik, telah meningkat dari 80 pada tahun 2021 menjadi 97 pada 2023. Meski begitu, WHO menegaskan “Saat ini dunia sangat membutuhkan agen antibakteri baru yang inovatif untuk melawan infeksi serius dan menggantikan agen lama yang tak lagi efektif karena penggunaannya yang meluas”.
The Conversation berbincang dengan James P. O'Gara, seorang profesor mikrobiologi dari University of Galway, Irlandia, seputar masalah resistansi antimikroba (AMR).
Apakah pernyataan “Di masa depan, goresan kecil di tubuh dapat menyebabkan infeksi dan kematian” berlebihan? Sementara kebanyakan orang mengalami luka dan lecet, tetapi tidak memerlukan antibiotik.
Sebagian besar luka dan goresan tidak menyebabkan infeksi yang mengancam jiwa sehingga banyak orang mengalami infeksi dapat pulih dengan sendirinya. Namun, antibiotik dapat mempercepat proses pemulihan[2].
Hanya saja, untuk sebagian orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang lemah, dampak infeksi bisa menjadi sangat serius sehingga penting bagi mereka untuk mendapatkan pengobatan antibiotik.
Dahulu, kakek-nenek dan buyut kita tidak memiliki akses ke antibiotik sehingga selalu mengkhawatirkan dampak infeksi. Kini, risiko dampak infeksi ini bertambah karena bakteri kian kebal terhadap antibiotik. Akibatnya, obat-obatan penyelamat nyawa ini akan berhenti bekerja.
Berapa banyak orang yang meninggal akibat infeksi kuman super (superbug)–jenis kuman yang kebal terhadap obat-obatan? Apakah situasinya makin memburuk?
Berdasarkan penelitian Kementerian Kesehatan Inggris pada 2014, diperkirakan 700.000 orang meninggal[3] setiap tahunnya di seluruh dunia akibat infeksi kuman yang resistan, termasuk kasus malaria dan infeksi Human immunodeficiency viruses (HIV).
Sebuah studi yang lebih baru, memperkirakan jumlah kematian akibat resistansi bakteri dalam skala global sekitar 1.27 juta jiwa pada 2019[4]. Jumlah ini menunjukkan bahwa kasus resistansi semakin parah, seiring meningkatnya penggunaan antibiotik pada manusia antara tahun 2000-2018[5]
Antibiotik paling banyak digunakan secara berlebihan oleh siapa? Peternak, rumah sakit, atau dokter?
Lebih dari separuh[6] antibiotik di dunia digunakan di peternakan. Sebagian besar dipakai untuk menambah berat badan dan mencegah infeksi, bukan untuk mengobati hewan yang sakit.
Berapakah jumlah bakteri yang tergolong ‘superbug’ saat ini dan sebagian besar infeksinya terjadi di mana?
Saat ini ada 15 bakteri yang resistan terhadap antibiotik dan masuk ke dalam daftar WHO[7]. Enam di antaranya dapat digolongkan sebagai kuman super yang resistan terhadap berbagai antibiotik. Kendati mayoritas infeksi kuman super menyebabkan masalah di rumah sakit, tetapi kasus ini juga bisa terjadi di masyarakat.
Apakah pengembangan obat antibiotik akan menjadi perlombaan senjata tiada akhir antara manusia melawan bakteri? Apakah obat baru yang kita kembangkan justru hanya memacu evolusi kuman?
Sepertinya itu benar. Hingga saat ini, resistansi muncul terhadap semua antibiotik berlisensi. Jadi, tidaklah mengherankan ketika kuman berevolusi seiring perkembangan obat yang kita buat.
Mikroorganisme merupakan mahluk hidup dengan jumlah terbanyak di Bumi dan telah ada sejak miliaran tahun lalu sebelum manusia. Tidak mungkin mereka bisa bertahan selama dan sejauh ini, tanpa daya tahan yang luar biasa.
Karena itu, tak ada pilihan lain bagi kita, selain terus mencari cara yang lebih baik untuk mencegah dan mengobati infeksi yang mereka sebabkan.
Haruskah kita menghabiskan seluruh antibiotik yang diresepkan dokter?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa antibiotik jangka pendek[8] sama efektifnya dengan antibiotik jangka panjang. Namun, pasien sebaiknya tidak mengambil keputusan sepihak untuk menghabiskan seluruh antibiotik yang diresepkan ataupun berhenti di tengah jalan.
Guna mengobati infeksi, sangat penting untuk mematuhi dosis antibiotik dan durasi perawatan yang diresepkan dokter.
Mengapa dokter tidak langsung melarang ketika pasien meminta antibiotik? Kenapa pasien kerap disalahkan karena mengonsumsi antibiotik?
Saya sepakat bahwa pasien tidak perlu merasa malu karena mengonsumsi antibiotik. Toh, mereka cuma meminum antibiotik yang diresepkan dokter.
Menggunakan antibiotik untuk mengobati infeksi bakteri bisa jadi penting. Sayangnya, sebagian besar infeksi disebabkan oleh virus–yang tidak dapat disembuhkan dengan antibiotik.
Celakanya, saat sedang sakit, kita cenderung tidak memikirkan jenis infeksi yang diderita karena fokus kita hanya ingin lekas sembuh. Contohnya, ketika seorang anak sakit, orang tua yang mengunjungi dokter cenderung tidak peduli dengan resistansi antibiotik karena hanya menginginkan buah hatinya sembuh.
Pada akhirnya, dokter bertanggung jawab untuk hanya meresepkan antibiotik saat dibutuhkan. Pasien pun perlu memercayai dokter ketika mengambil keputusan soal pengobatan mereka.
Perusahaan farmasi sering kali tidak berminat mengembangkan antibiotik baru karena tidak menguntungkan mereka. Lantas, mengapa pemerintah tidak mendanai laboratorium untuk pengembangan antibiotik baru?
Pemerintah menyadari peran perusahaan farmasi dalam permasalahan ini. Sejumlah negara, seperti Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Uni Eropa, sudah menerapkan mekanisme pemberian insentif finansial[9] kepada perusaahaan pengembang antibiotik baru[10].
Meski begitu, WHO telah memperingatkan bahwa antibiotik baru yang sedang dikembangkan[11] saat ini belum memadai. Karena memasarkan antibiotik baru kepada pasien merupakan proses yang sulit dan panjang.
Yayasan amal bidang sains, Wellcome Trust melaporkan bahwa hanya ada satu dari 70 antibiotik baru yang berhasil dipasarkan[12]. Karena itu, sangat dibutuhkan dukungan untuk penelitian di universitas dan industri guna menemukan obat baru sehingga dapat dikembangkan dan dipasarkan oleh perusahaan farmasi.
Vaksin universal sedang berusaha dikembangkan oleh para ahli vaksin. Apakah ada konsep serupa dalam pengembangan antibiotik?
Ya, ada. Konsep serupa dalam pengembangan antibiotik adalah mencari target obat yang tidak dapat diubah[13]. Artinya, antibiotik ini ditargetkan untuk bakteri yang tidak dapat bermutasi dan beresistansi, tanpa memengaruhi kelangsungan hidup si bakteri.
Adakah inovasi terbaru untuk mengatasi masalah resistansi antibiotik?
Sembari terus melindungi kemampuan antibiotik yang sudah ada, para ilmuwan tengah mengeksplorasi sejumlah cara baru yang menarik untuk memecahkan masalah resistansi. Beberapa cara yang potensial, di antaranya pembuatan vaksin baru untuk mencegah infeksi[14], virus yang menargetkan bakteri (bakteriofag)[15], antibiotik yang sama sekali baru[16], serta antibiotik berbahan peptida antimikrobial (bagian pendek protein)[17] maupun asam nukleat (bagian pendek DNA)[18].
Dalam sejarahnya, banyak jamur dan bakteri penghasil antibiotik ditemukan di tanah. Mereka menggunakan senyawa tanah untuk bersaing satu sama lain.
Sayangnya, sebagian besar mikroba tanah tidak dapat tumbuh di laboratorium. Para ilmuwan kini menggunakan sejumlah cara cerdas untuk menumbuhkan mikroba yang sebelumnya “tidak dapat dikulturkan” dari sampel yang berbeda guna menemukan antibiotik baru[19].
Pendekatan lainnya adalah dengan mengembangkan obat yang tidak membunuh bakteri, tetapi dapat membatasi kerusakan yang ditimbulkannya terhadap manusia. Jika sistem kekebalan tubuh kita dapat bekerja dengan baik, obat seperti ini seharusnya tidak memicu resistansi dan mungkin cukup untuk mengobati infeksi bakteri.
Potensi pengobatan terakhir[20] berasal dari penggunaan antibiotik dalam kombinasi baru dan berbeda yang manfaatnya serupa adjuvan baru–senyawa nonantibiotik penunjang untuk meningkatkan kekuatan antibiotik lama[21]. Karena itu, antibiotik kombinasi mungkin bisa digunakan untuk melawan infeksi bakteri yang resistan[22].
References
- ^ laporan terbaru (www.who.int)
- ^ mempercepat proses pemulihan (www.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ 700.000 orang meninggal (amr-review.org)
- ^ 1.27 juta jiwa pada 2019 (www.thelancet.com)
- ^ 2000-2018 (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Lebih dari separuh (www.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ daftar WHO (www.who.int)
- ^ jangka pendek (www.bmj.com)
- ^ insentif finansial (www.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ perusaahaan pengembang antibiotik baru (wellcome.org)
- ^ antibiotik baru yang sedang dikembangkan (www.who.int)
- ^ yang berhasil dipasarkan (wellcome.org)
- ^ target obat yang tidak dapat diubah (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ mencegah infeksi (www.who.int)
- ^ (bakteriofag) (theconversation.com)
- ^ antibiotik yang sama sekali baru (www.theguardian.com)
- ^ (bagian pendek protein) (www.sciencedirect.com)
- ^ (bagian pendek DNA) (www.sciencedirect.com)
- ^ menemukan antibiotik baru (www.nature.com)
- ^ Potensi pengobatan terakhir (www.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ meningkatkan kekuatan antibiotik lama (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ melawan infeksi bakteri yang resistan (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
Authors: James P. O'Gara, Professor of Microbiology, University of Galway