Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Bagaimana ‘booming’ tren bersepeda pecah lalu meredup

  • Written by Angga Marditama Sultan Sufanir, Assistant Professor, Politeknik Negeri Bandung
Bagaimana ‘booming’ tren bersepeda pecah lalu meredup

● Bersepeda bisa menjadi solusi untuk mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi

● Adopsi sepeda sebagai transportasi utama masih sulit karena kendala infrastruktur hingga iklim tropis yang panas

● Pemerintah dan sektor swasta perlu berinvestasi untuk mewujudkan kota ramah sepeda

Saat pandemi Covid-19, sekitar tahun 2020 hingga 2022 lalu, tren bersepeda atau gowes sempat ‘booming’ di Indonesia[1]. Sepeda bukan cuma dipakai untuk berolahraga tetapi juga menjadi pilihan transportasi harian masyarakat urban, khususnya kalangan anak muda.

Tren bike to work dan bike sharing tumbuh pesat, terutama di kota-kota besar[2]. Sayangnya, begitu pandemi mereda, tren ini juga perlahan redup. Padahal kalau tren ini berlanjut, sepeda bisa menjadi solusi ampuh mengurangi emisi dari sektor transportasi.

Sebuah studi[3] menyebut, jika semua orang di dunia bersepeda sebanyak rata-rata orang Denmark (sekitar 1,6 kilometer per hari), maka emisi karbon global bisa berkurang hingga 414 juta ton. Atau jika semua orang mengadopsi cara hidup orang Belanda yang bersepeda 2,6 kilometer setiap hari, emisi yang berkurang bisa lebih banyak lagi—mencapai 686 juta ton. Dampaknya besar sekali, bukan?

Perkembangan urban cycling

Anak muda punya peran penting dalam mempopulerkan budaya bersepeda, baik sebagai target maupun penggerak perubahan. Sebagai kelompok demografis terbesar, jika sebagian besar anak muda mengadopsi budaya bersepeda, maka dampaknya akan masif terhadap kebiasaan masyarakat secara keseluruhan.

Di Indonesia, komunitas Bike to Work (B2W) adalah salah satu penggerak utama kampanye penggunaan sepeda untuk aktivitas sehari-hari, terutama bagi pekerja kantoran dan profesional muda[4].

Selain itu, ada pula inisiatif bike-sharing—layanan sewa berbagi sepeda—yang awalnya dimulai di Bandung oleh komunitas bike.bdg bersama Bandung Creative City Forum (BCCF) pada 2012[5]. Sayangnya, layanan ini sempat mati suri sebelum dihidupkan kembali oleh pemerintah setempat dengan nama Bike on the Street Everybody Happy (Boseh) pada 2017[6].

Dinas Perhubungan Kota Bandung selaku pengelola Boseh menghadirkan 30 shelter yang tersebar di seluruh Bandung. Namun pada 2024, tercatat 13 shelter sudah tidak aktif lagi[7].

Di Jakarta, layanan ini juga sempat berkembang, peminatnya cukup tinggi terutama saat pandemi Covid-19. Namun kini, kondisinya terbengkalai[8] dan tak terawat karena manajemen yang buruk.

Deretan sepeda di pinggir jalan Juanda, Jakarta Pusat, tersedia untuk disewa melalui layanan bike-sharing, yang disediakan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Shutterstock/Isnani Husnayati.

Tantangan menerapkan budaya bersepeda?

Secara umum, ada beberapa tantangan utama yang membuat sepeda selama ini sulit diadopsi sebagai moda transportasi utama yang mudah, aman, dan nyaman, di antaranya;

1. Infrastruktur dan konektivitas terbatas

Infrastruktur untuk bersepeda di Indonesia kurang mendukung. Jalur sepeda masih terbatas. Di DKI Jakarta, misalnya, jalur sepeda hanya sepanjang 313,6 kilometer[9], terdiri dari 23,2 km jalur sepeda di trotoar dan 258 km lajur sepeda berbagi. Di Kota Bandung jauh lebih pendek lagi, hanya sekitar 20 kilometer[10] yang tersebar di 16 ruas jalan.

Idealnya, panjang jalur sepeda harus sesuai dengan kebutuhan mobilitas penduduk dan cakupan area perkotaan. Kota dengan kebijakan ramah sepeda biasanya memiliki jalur sepeda sekitar 10-30% dari total panjang jalan.

Selain itu, konektivitas dengan moda transportasi lain seperti bus dan kereta saat ini juga belum optimal, sehingga membuat sepeda kurang praktis digunakan sebagai moda transportasi utama.

2. Keamanan kurang terjamin

Dari segi keamanan, parkir sepeda yang aman di fasilitas publik dan perkantoran juga minim. Jangankan sepeda milik pribadi, layanan bike-sharing saja misalnya, sering menghadapi masalah pencurian dan vandalisme[11].

3. Iklim dan fasilitas kurang mendukung

Dari segi kenyamanan, faktor iklim tropis yang panas sering menjadi kendala bagi pengguna sepeda dalam mobilitas sehari-hari. Sementara itu, fasilitas seperti shower dan ruang ganti di kantor masih minim. Belum lagi, jalur sepeda kerap digunakan sebagai tempat parkir atau dilintasi kendaraan lain, sehingga rawan konflik dan mengurangi kenyamanan pesepeda.

Gaji tak kunjung naik. Promosi mesti pindah perusahaan. Skripsi belum juga ACC. Diet ketat, berat badan tak turun juga. Lingkungan kerja toxic, bosnya narsistik. Gaji bulan ini mesti dibagi untuk orang tua dan anak. Mau sustainable living, ongkosnya mahal. Notifikasi kantor berdenting hingga tengah malam. Generasi Zilenials hidup di tengah disrupsi teknologi, persaingan ketat, dan kerusakan lingkungan. Simak ‘Lika Liku Zilenial’ mengupas tuntas permasalahanmu berdasar riset dan saran pakar. Bagaimana menarik minat anak muda bersepeda? Untuk meningkatkan minat masyarakat terutama anak muda untuk bersepeda, wajib hukumnya untuk menyediakan fasilitas yang mudah, aman, dan nyaman bagi pengendara sepeda. Belajar dari negara maju, langkah pertama yang harus dilakukan adalah mendesain kota yang ramah pesepeda, yakni dengan menyediakan jalur sepeda yang luas dan terhubung dengan sistem transportasi umum. Rambu khusus, lampu lalu lintas, dan parkir sepeda yang memadai juga harus disediakan. Dalam hal ini, pemerintah bisa menggandeng sektor swasta dan komunitas untuk membangun infrastruktur. Kebijakan pendukung juga harus disiapkan. Pemerintah bisa mengadopsi regulasi yang memberikan prioritas bagi pesepeda di persimpangan tertentu, insentif bagi pekerja yang menggunakan sepeda untuk mobilitas harian, serta kampanye edukasi keselamatan bersepeda sejak dini. Pemerintah harus berinvestasi di bidang ini. Paris menjadi contoh sukses bagaimana investasi yang serius dalam infrastruktur bersepeda bisa mengubah pola mobilitas dan sukses menjadikan sepeda sebagai sarana transportasi baru sejak masa pandemi. Paris menggelontorkan dana US$2 miliar[12] atau sekitar Rp33,59 triliun selama empat tahun sejak 2023. Hasilnya, menurut Paris Region Institute, kini 11,2 persen perjalanan di dalam kota dilakukan dengan sepeda, sedangakan pengguna mobil hanya 4,3 persen. Di Indonesia, komunitas B2W berhasil melobi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengembangkan skema insentif bagi pesepeda pada momen peringatan World Bicycle Day Juni 2024[13] lalu. Singkatnya, para pesepeda berlomba mengumpulkan angka carbon saved melalui aplikasi Strava sebanyak mungkin, yang kemudian bisa ditukarkan dengan insentif tertentu. Namun, inisiatif ini masih sebatas momentum. Sepeda seharusnya menjadi bagian dari strategi besar pengurangan emisi karbon. Berbekal kepedulian tinggi terhadap lingkungan, anak muda bisa menjadi motor penggerak utama perubahan dari ‘candu bermotor’ menuju mobilitas berkelanjutan. References^ Indonesia (kneopen.com)^ kota-kota besar (itdp-indonesia.org)^ Sebuah studi (www.nature.com)^ pekerja kantoran dan profesional muda (id.wikipedia.org)^ pada 2012 (news.detik.com)^ pada 2017 (www.detik.com)^ sudah tidak aktif lagi (www.detik.com)^ terbengkalai (www.liputan6.com)^ 313,6 kilometer (www.antaranews.com)^ 20 kilometer (ihram.republika.co.id)^ pencurian dan vandalisme (www.academia.edu)^ US$2 miliar (www.reuters.com)^ World Bicycle Day Juni 2024 (www.tempo.co)Authors: Angga Marditama Sultan Sufanir, Assistant Professor, Politeknik Negeri Bandung

Read more https://theconversation.com/bagaimana-booming-tren-bersepeda-pecah-lalu-meredup-249732

Magazine

Bahaya sering dengar musik pakai ‘earphone’: Berisiko pekak hingga depresi

● Penggunaan earphone, headphone, dan headset berlebihan bisa ganggu pendengaran dan pengaruhi kesehatan mental● Riset mengungkap mayoritas pengguna perangkat audio portabel berusia 19-29 ...

Jebakan keuangan digital: mengapa Gen Z rentan terjerat pinjol dan ‘paylater’?

●Gen Z makin mudah akses paylater, pinjol, dan investasi digital.●Banyak yang terjebak utang dan investasi spekulatif karena terpengaruh capaian orang lain di medsos.●Edukasi keuanga...

“Bayar, bayar, bayar”: Bagaimana musik dapat membentuk identitas sosial dan mendorong aksi kolektif

● Musik memiliki kekuatan untuk mempertegas identitas sosial dan memobilisasi aksi kolektif. ● Konsep ‘multiple identification’ menjelaskan bagaimana individu dapat memiliki l...