Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Potongan ‘puzzle’ yang hilang: Penelitian mengungkap sejarah mendalam tanah Papua

  • Written by Dylan Gaffney, Associate Professor of Palaeolithic Archaeology, University of Oxford
Potongan ‘puzzle’ yang hilang: Penelitian mengungkap sejarah mendalam tanah Papua

Masa lalu masyarakat tanah Papua yang penuh warna telah lama terpinggirkan, tertutupi oleh sejarah politik yang sarat kekerasan.

Tidak seperti negara tetangganya, Papua Nugini, kisah budaya Papua belum banyak terungkap. Namun kini, untuk pertama kalinya, kami berhasil merekam perjalanan sejarah ini secara terperinci, mengungkap 50 ribu tahun kisah perubahan sosial yang sebelumnya tersembunyi.

Dengan meneliti arkeologi, antropologi, dan linguistik wilayah tersebut, buku baru[1] kami menyusun potongan teka-teki yang selama ini hilang dalam sejarah manusia di Australasia (istilah yang merujuk pada wilayah geografis yang mencakup Australia, Selandia Baru, dan pulau-pulau di sekitar Samudra Pasifik, termasuk Papua). Ini adalah buku pertama yang mengupas sejarah tanah Papua secara mendalam, melibatkan penulis dari Papua sendiri, serta Indonesia, Australasia, dan sekitarnya.

Bukti baru menunjukkan bahwa Papua berperan penting dalam memahami bagaimana manusia berpindah dari Eurasia ke wilayah Australasia. Di wilayah ini, mereka belajar beradaptasi dengan lingkungan baru yang menantang, mengembangkan pertanian secara mandiri, bertukar gen dan bahasa, serta memperdagangkan benda-benda kerajinan yang indah.

A map of West Papua
Bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang-orang yang bermigrasi dari Eurasia ke wilayah Australasia datang melalui tanah Papua. Dylan Gaffney, CC BY-SA[2]

Pelayaran awal dan adaptasi

Pada zaman Pleistosen (sekitar 2,5 juta hingga 12.000 tahun lalu), tanah Papua terhubung dengan Australia dalam sebuah daratan luas yang disebut Sahul[3].

Bukti arkeologis dari ruang batu kapur di Gua Mololo menunjukkan bahwa beberapa orang pertama yang menetap di Sahul tiba melalui daerah pesisir yang dikenal dengan Papua Barat Daya dan Papua Barat saat ini. Di sana mereka dengan cepat beradaptasi dengan ekosistem baru.

Waktu pasti kedatangan kelompok pelaut pertama di Sahul masih diperdebatkan. Namun, uji radiokarbon pada artefak resin pohon dari Mololo menunjukkan bahwa kejadian ini terjadi lebih dari 50.000 tahun silam[4].

Analisis genetik mendukung teori kedatangan awal ini. Penelitian kami menunjukkan bahwa para pelaut paling awal kemungkinan menempuh jalur utara, salah satu dari dua rute melalui Kepulauan Indonesia.

Maps showing human dispersal to West Papua during the Pleistocene epoch, about 50,000 years ago, and during the Lapita period, more than 3,000 years ago.
Penyebaran manusia ke Papua Barat selama zaman Pleistosen (sekitar 50.000 tahun yang lalu) dan selama periode Lapita (lebih dari 3.000 tahun yang lalu). Dylan Gaffney, CC BY-SA[5]

Menariknya, para migran pertama membawa serta warisan genetik dari perkawinan campur antara Homo sapiens, dan Denisova[6], spesies hominin yang kini telah punah dan pernah hidup di Asia Timur. Para ahli genetika kini memperdebatkan apakah pertemuan itu terjadi di Asia Tenggara, sepanjang rute migrasi, atau justru di Sahul sendiri[7].

Dengan cara yang sama populasi Eropa modern mewarisi sekitar 2% gen Neanderthal, banyak orang Papua membawa sekitar 3% warisan Denisova[8].

Saat Bumi menghangat di akhir Pleistosen, kenaikan permukaan air laut membelah Sahul. Sekitar 8.000 tahun yang lalu, daratan sabana luas yang menghubungkan tanah Papua, Papua Nugini, dan Australia tenggelam, menjadikan sebagian besar garis pantai selatan dan barat tanah Papua berubah menjadi pulau-pulau.

Transformasi sosial selama 10.000 tahun terakhir

Seiring berubahnya lingkungan, demikian pula masakan dan budaya masyarakat.

Situs-situs di Papua Nugini mencatat bahwa pertanian mulai berkembang secara mandiri antara 10.000 dan 6.000 tahun yang lalu[9]—bersamaan dengan inovasi pertanian di Asia dan Amerika. Namun, sistem ini tidak diadopsi secara merata[10] di seluruh kawasan.

Bukti analisis kimia baru dari lapisan email gigi manusia di tanah Papua menunjukkan pola makan yang beragam, dari ikan dan kerang hingga tanaman hutan dan hewan berkantung.

Salah satu pertanyaan utama yang belum terjawab dalam sejarah Papua adalah kapan praktik bercocok tanam ini muncul dan bagaimana penyebarannya ke wilayah lain, termasuk Asia Tenggara. Tanaman seperti talas, pisang, ubi jalar, dan sagu yang awalnya dibudidayakan di Papua Nugini, kini telah menjadi pangan pokok di berbagai belahan dunia.

A man working under the light of a lamp, examining excavated artefacts at Mololo Cave.
Moses Dialom, seorang kolaborator kerja lapangan arkeologi dari Kepulauan Raja Ampat, memeriksa artefak yang digali di Gua Mololo. Tristan Russell, CC BY-SA[11]

Sekitar 3.000 tahun lalu, muncul temuan tembikar yang menandai gelombang baru migrasi manusia ke Pasifik. Ini ditandai oleh tembikar Lapita yang khas, ditemukan dari Papua Nugini hingga Samoa dan Tonga.

Pembuat tembikar Lapita berbicara bahasa Austronesia[12], cikal bakal bahasa Polinesia modern. Bahasa Indonesia juga merupakan Bahasa Austronesia.

Penemuan tembikar baru dari Gua Mololo menunjukkan bahwa nenek moyang pembuat tembikar Lapita pernah hidup di suatu tempat di sekitar tanah Papua.

A rock paintings from the coast of West Papua, showing distinct hand prints in ochre.
Lukisan batu menjadi bukti perubahan sosial di Papua Barat. Tristan Russell, CC BY-SA[13]

Jejak perubahan sosial juga terlihat dari lukisan batu dan keberadaan kapak perunggu. Sekitar 2.000 tahun lalu, kapak-kapak tersebut diimpor dari daratan Asia Tenggara ke Papua. Meskipun belum ada praktik metalurgi lokal saat itu, analisis kimia lakukan menunjukkan beberapa artefak ini dibuat di Vietnam utara[14]. Sayangnya, hanya sebagian kecil dari benda-benda ini yang bertahan, terutama di daerah tropis yang lembap.

A montage of images showing the places people settled in West Papua, including montane cloud forests (upper left), lowland rainforests (upper right), mangrove swamps (lower left) and coastal beaches (lower right).
Masyarakat menetap di berbagai lingkungan di sekitar Papua Barat, termasuk hutan pegunungan (kiri atas), hutan hujan dataran rendah (kanan atas), rawa bakau (kiri bawah) dan pantai pesisir (kanan bawah). Dylan Gaffney, CC BY-SA[15]

Tradisi hidup dan pergerakan objek

Sejak awal tahun 1800-an, ketika tanah Papua masih menjadi bagian dari Hindia Belanda, para administrator kolonial, ilmuwan, dan penjelajah mengekspor berton-ton artefak Papua ke museum-museum di Eropa. Terkadang benda-benda tersebut diperdagangkan atau dihadiahkan, tetapi terkadang benda tersebut dicuri.

Pada awal 1900-an, banyak benda juga dibakar oleh para misionaris[16] yang melihat budaya material pribumi sebagai bukti paganisme. Artefak-artefak yang kini tersimpan di museum-museum di Eropa, Amerika, Australia, dan Selandia Baru menjadi jembatan penghubung antara manusia modern dan tradisi leluhur mereka. Sebagian bahkan mewakili nenek moyang seseorang secara langsung.

Kini, berbagai upaya tengah dilakukan untuk menghubungkan kembali masyarakat Papua dengan koleksi-koleksi tersebut, termasuk rencana pemulangan sebagian artefak ke museum lokal. Sayangnya, kendala dana masih menjadi hambatan utama.

Meski begitu, banyak orang Papua tetap memproduksi dan menggunakan ukiran kayu, tas tali, dan ornamen kerang. Para antropolog telah menggambarkan bagaimana orang-orang secara aktif menmbentuk ulang budaya material mereka, terutama dengan adanya bahan sintetis baru dan ekonomi tunai.

West Papuan archaeologists in the field: (A) Klementin Fairyo, left, is setting up a new excavation. (B) Martinus Tekege excavating pottery. (C) Sonya Kawer with wartime archaeology. (D) Abdul Razak Macap, right, sieving for archaeological artefacts at Mololo Cave.
Montase gambar yang menunjukkan para arkeolog Papua Barat di lapangan. (A) Klementin Fairyo, kiri, sedang menyiapkan penggalian baru. (B) Martinus Tekege sedang menggali tembikar. (C) Sonya Kawer dengan arkeologi masa perang. (D) Abdul Razak Macap, kanan, sedang menyaring artefak arkeologi di Gua Mololo. Klementin Fairyo, Martinus Tekege, Sonya Kawer, Abdul Razak Macap, CC BY-SA[17]

Jauh dari stereotip “orang zaman batu” yang sering muncul di media[18], orang Papua secara aktif menghadapi tantangan dan peluang abad ke-21[19].

Meskipun terus ada temuan baru, tanah Papua tetap menjadi teka-teki bagi para peneliti. Wilayah seluas tiga kali Java ini baru memiliki kurang dari sepuluh situs arkeologi yang diteliti radiokarbon, jauh tertinggal dari ratusan situs di Jawa.

Tanah Papua adalah salah satu kawasan Pasifik yang paling sedikit diteliti—dan para ilmuwan Papua harus memimpin eksplorasi ini.

References

  1. ^ buku baru (doi.org)
  2. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  3. ^ Sahul (theconversation.com)
  4. ^ 50.000 tahun silam (theconversation.com)
  5. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  6. ^ Denisova (theconversation.com)
  7. ^ Sahul sendiri (www.cell.com)
  8. ^ warisan Denisova (theconversation.com)
  9. ^ 10.000 dan 6.000 tahun yang lalu (press.anu.edu.au)
  10. ^ diadopsi secara merata (phys.org)
  11. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  12. ^ bahasa Austronesia (theconversation.com)
  13. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  14. ^ Vietnam utara (open.sydneyuniversitypress.com.au)
  15. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  16. ^ dibakar oleh para misionaris (scholarlypublications.universiteitleiden.nl)
  17. ^ CC BY-SA (creativecommons.org)
  18. ^ “orang zaman batu” yang sering muncul di media (theconversation.com)
  19. ^ tantangan dan peluang abad ke-21 (theconversation.com)

Authors: Dylan Gaffney, Associate Professor of Palaeolithic Archaeology, University of Oxford

Read more https://theconversation.com/potongan-puzzle-yang-hilang-penelitian-mengungkap-sejarah-mendalam-tanah-papua-254252

Magazine

Bahaya sering dengar musik pakai ‘earphone’: Berisiko pekak hingga depresi

● Penggunaan earphone, headphone, dan headset berlebihan bisa ganggu pendengaran dan pengaruhi kesehatan mental● Riset mengungkap mayoritas pengguna perangkat audio portabel berusia 19-29 ...

Jebakan keuangan digital: mengapa Gen Z rentan terjerat pinjol dan ‘paylater’?

●Gen Z makin mudah akses paylater, pinjol, dan investasi digital.●Banyak yang terjebak utang dan investasi spekulatif karena terpengaruh capaian orang lain di medsos.●Edukasi keuanga...

“Bayar, bayar, bayar”: Bagaimana musik dapat membentuk identitas sosial dan mendorong aksi kolektif

● Musik memiliki kekuatan untuk mempertegas identitas sosial dan memobilisasi aksi kolektif. ● Konsep ‘multiple identification’ menjelaskan bagaimana individu dapat memiliki l...