Jebakan keuangan digital: mengapa Gen Z rentan terjerat pinjol dan ‘paylater’?
- Written by Imam Salehudin, Associate professor, Universitas Indonesia

●Gen Z makin mudah akses paylater, pinjol, dan investasi digital.
●Banyak yang terjebak utang dan investasi spekulatif karena terpengaruh capaian orang lain di medsos.
●Edukasi keuangan minim, regulasi pemasaran belum melindungi konsumen muda.
Produk keuangan berkembang pesat di era digital. Mulai dari paylater[1], pinjaman daring (pinjol[2]), sampai aplikasi investasi mudah klik kapan pun dan di mana pun.
Sepintas, fenomena ini terlihat menggembirakan, terutama karena akses ke berbagai produk keuangan[3] semakin beragam dan mudah. Namun, di balik itu, Generasi Z (Gen Z) belum sepenuhnya memahami risiko dan biaya tersembunyi dari produk keuangan yang tampil di smartphone.
Dampak yang dihasilkan sangat serius, seperti terjebak dalam utang yang melampaui pendapatan.
Berutang jadi normal
Gen Z sering mendapatkan informasi seputar keuangan dari linimasa (timeline) atau for you page (FYP) berisi konten dari influencer[4] atau konten-konten viral di media sosial.
Banyak sekali konten “financial hacks” yang beredar di platform digital, menunjukkan bahkan menjanjikan jalan pintas menjadi kaya yang kerap disebut sebagai financial freedom. Di saat bersamaan beredar konten yang mempromosikan pinjol dan paylater[5] sebagai cara jitu mengatur arus kas (cashflow).
Akibatnya, utang konsumtif yang dihabiskan untuk membeli barang dan jasa tanpa menghasilkan pendapatan kini menjadi hal lumrah. Tak sedikit, Gen Z andalkan utang sebagai instrumen memenuhi gaya hidup yang diinginkan, tanpa menyadari ancaman bunga dan biaya tambahan yang besar baliknya.
Misalnya, seorang remaja sangat terinspirasi oleh unggahan seorang influencer di Instagram. Influencer tersebut menceritakan bagaimana layanan paylater[6] membantunya membeli barang-barang mewah, entah itu Air Jordan atau ADLV, dengan cara yang mudah dan cepat.
Promosi canggih pemikat Gen Z
Bank dan perusahaan teknologi finansial (fintech[7]) berlomba-lomba menawarkan berbagai produk keuangan digital yang menarik. Mereka memanfaatkan teknologi canggih, bahasa dan visual memikat, dan algoritma pemasaran untuk menjangkau konsumen muda dengan cara yang sangat personal.
Sayangnya, konten edukatif ini masih kalah populer dibandingkan dengan konten yang lebih bombastis dan menjanjikan hasil instan.
Karena minimnya edukasi, tak heran kalau literasi keuangan masyarakat Indonesia[10] jauh lebih rendah dengan inklusi keuangan.
Literasi keuangan[11] adalah pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan, yang memengaruhi sikap dan perilaku individu untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan.
Sementara inklusi keuangan merupakan ketersediaan akses pemanfaatan atas produk maupun layanan keuangan yang terjangkau, berkualitas, dan berkelanjutan. Inklusi keuangan biasanya diukur dengan penggunaan (usage) produk maupun layanan jasa keuangan.
Artinya, pilihan produk keuangan makin banyak, tetapi kapasitas individu penggunanya belum setara.
Apa yang bisa dilakukan?
Persoalan paylater di atas bukanlah sepenuhnya salah Gen Z.
Gen Z dapat membentengi diri untuk tidak terjebak dalam masalah ini—dimulai dari aktivitas di smartphone kita.
Penting untuk memahami bahwa tidak semua “diskon” adalah penghematan. Jika sebuah promo menggunakan layanan paylater untuk memperoleh diskon, itu artinya kita sebenarnya sedang mengambil utang.
Banyak juga dari kita yang tak menyadari biaya tambahan seperti bunga dan biaya admin justru membuat total pembayaran jauh lebih mahal. Ini sering disamarkan dalam bentuk angka kecil atau istilah teknis yang tak dijelaskan secara transparan.
Karena itu, meskipun membosankan penting sekali untuk kita agar selalu membaca syarat dan ketentuan sebelum klik “daftar” atau “aktifkan fitur.” Jangan sampai jadi korban manisnya promo yang memiliki efek samping di masa depan.
Terakhir, jangan terjebak gaya hidup konsumtif yang sering ditampilkan di media sosial. Jika semua keinginan kita dibayar dengan utang atau cicilan yang tak sesuai kemampuan, kita justru akan stres dan jauh dari kata mapan.
Peran pemerintah[12] dan Otoritas Jasa Keuangan[13] juga tak kalah penting dalam mengatur dan mengawasi pemasaran produk keuangan digital agar tidak menyesatkan. Ini termasuk aktivitas transaksi dan pemasaran produk keuangan baik melalui e-commerce maupun media sosial.
Lembaga keuangan bank dan nonbank termasuk fintech perlu lebih transparan terhadap setiap produk dan layanan yang mereka tawarkan. Pemerintah maupun pelaku industri harus menambah kegiatan dan aktivitas terkait edukasi keuangan.
Sementara komunitas terdekat juga berperan penting menyebarkan informasi yang akurat mengenai keuangan.
Melalui kolaborasi berbagai pihak: pemerintah, lembaga pendidikan, industri keuangan, dan komunitas: kita berpeluang lebih bijak dalam mengelola keuangan, tak sekadar menjadi target pasar produk paylater.
References
- ^ paylater (theconversation.com)
- ^ pinjol (theconversation.com)
- ^ produk keuangan (theconversation.com)
- ^ influencer (theconversation.com)
- ^ paylater (theconversation.com)
- ^ paylater (theconversation.com)
- ^ fintech (jmi.polban.ac.id)
- ^ RencanaKu.ID (rencanaku.id)
- ^ RencanaKu Akademi (rencanaku.id)
- ^ literasi keuangan masyarakat Indonesia (ojk.go.id)
- ^ Literasi keuangan (theconversation.com)
- ^ Peran pemerintah (theconversation.com)
- ^ Otoritas Jasa Keuangan (ojk.go.id)
Authors: Imam Salehudin, Associate professor, Universitas Indonesia