Mengapa keterbukaan data penting untuk perumusan kebijakan penanganan COVID-19
- Written by Teuku Riefky, Research associate, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)
Keterbukaan data penting dalam perkembangan sains, ekonomi, hingga perumusan kebijakan, termasuk dalam membantu pemulihan dan pencegahan penyebaran pandemi COVID-19.
Salah satu contoh kurangnya keterbukaan data pemerintah dalam proses penanganan COVID-19 adalah minimnya akses publik terhadap data pelacakan kontak (contact tracing). Pelacakan kontak merupakan sebuah elemen yang amat penting dalam penanganan pandemi, karena memungkinkan pemerintah untuk melacak serta mencegah penyebaran virus COVID-19 dengan cara mengisolasi individu-individu yang ditengarai mengidap virus tersebut.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa contact tracing merupakan kunci untuk menjaga kelangsungan aktivitas ekonomi di tengah-tengah maraknya pandemi.
Apabila masyarakat luas memiliki akses terhadap data pelacakan kontak, mereka dapat mengatur rencana guna menghindari kunjungan ke lokasi rawan COVID-19 tersebut.
Sebaliknya, apabila masyarakat tidak memiliki akses ke data ini, maka mereka tidak akan tahu lokasi mana saja yang relatif aman untuk dikunjungi. Sehingga, tidak tertutup kemungkinan bahwa mereka akan mengunjungi area penyebaran, atau memilih untuk diam di rumah saja – yang pada gilirannya akan ikut menurunkan aktivitas perekonomian secara agregat.
Keterbukaan data dapat mendukung kinerja pemerintah dan memberdayakan masyarakat
Secara ekonomi, konsultan manajemen global McKinsey[1] melaporkan bahwa keterbukaan data secara global dapat menghasilkan lebih dari US$3 triliun (Rp 43.192 triliun) bagi perekonomian dunia hanya dari tujuh sektor saja, termasuk dari sektor kesehatan.
Hal tersebut karena keterbukaan data dapat membantu pembuatan keputusan, memahami keinginan pelanggan dalam upaya mendesain produk baru, serta menjamin akuntabilitas.
Pemerintahan dapat menggunakan data terbuka dalam pembuatan serta penilaian kebijakan, juga dalam peningkatan efektivitas dan efisiensi jasa publik.
Portal data resmi Uni Eropa[2] menyatakan bahwa dengan menggunakan keterbukaan data, pemerintahan negara-negara di benua biru tersebut dapat menyelamatkan 7.000 nyawa per tahun, mengurangi kematian akibat kecelakaan di jalan sebesar 5,5%, menurunkan penggunaan energi sebesar 16 persen, serta mengurangi pengeluaran untuk jasa publik hingga senilai 1,7 miliar euro (sekitar Rp 27 triliun) pada tahun 2020.
Ketersediaan data yang terbuka juga memungkinkan masyarakat membantu pemerintah dalam keadaan darurat, seperti saat gempa bumi 2010 di Haiti. Pada saat itu, sukarelawan menggunakan data fotografi udara dan pemetaan fasilitas pemerintahan untuk melancarkan pengiriman pasokan darurat.
Di awal masa pandemi COVID-19, keterbukaan data memberi kesempatan bagi masyarakat untuk membantu negara. Di Korea Selatan, misalnya, pihak swasta mengembangkan aplikasi yang menginformasikan lokasi-lokasi infeksi terbaru atau memperingati pengguna ketika mereka mendekati lokasi ditemukannya kasus. Aplikasi ini menggunakan data langsung dari Kementerian Kesehatan Korea[3].
Potensi risiko dari kurang tersedianya data dan informasi
Refleksi yang didapatkan dari pengalaman di negara lain tentunya dapat berlaku di Indonesia.
Sebagai aktor utama dalam proses perumusan kebijakan, pemerintah Indonesia membutuhkan informasi dan data yang aktual untuk dapat merumuskan kebijakan yang berbasis data.
Tanpa adanya basis data yang berkualitas, maka pemerintah akan menghadapi kesulitan dalam mengevaluasi efisiensi dan efektivitas dari kebijakan yang telah dirancang.
Tanpa menggunakan data aktual, pemerintah juga tidak akan dapat mengetahui apakah kebijakan yang telah diimplementasikan berhasil memenuhi tujuan yang diharapkan atau tidak.
Selain itu, adanya akses terhadap informasi yang berkualitas juga akan membantu pemerintah memformulasikan strategi yang tepat dalam menghadapi berbagai isu pembangunan.
Sebagai contoh, data yang ditampilkan oleh Business, Economic and Sustainability Tracker (BEST) Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI) ASI5[4] menunjukkan bagaimana pemerintah harus fokus pada upaya penanganan dan mitigasi pembakaran hutan liar di Riau dan beberapa provinsi di Kalimantan yang menjadi konsentrasi pusat kebakaran.
Hal di atas menunjukkan terbatasnya akses data yang bersifat komprehensif akan memiliki implikasi langsung berupa buruknya kualitas perencanaan kebijakan dari pemerintah.
Di sisi yang lain, tanpa adanya penyebaran akses informasi, masyarakat juga tidak akan dapat mengontrol kualitas kebijakan pemerintah.
Tanpa adanya akses data, masyarakat akan memiliki informasi yang terbatas mengenai kinerja pemerintah dalam berbagai aspek, sehingga mereka tidak dapat menyampaikan kritik maupun evaluasi terhadap pelaksanaan pemerintahan secara tepat.
Selain itu, minimnya akses terhadap data yang berkualitas juga berpotensi memperbesar risiko terjadinya misinformasi secara luas. Adanya misinformasi akan memperburuk kualitas pemahaman di kalangan masyarakat serta melemahkan kontrol masyarakat atas jalannya pemerintahan.
Kebijakan berbasis bukti menjadi kunci
Krisis global yang saat ini kita alami sebagai dampak dari pandemi COVID-19 telah menimbulkan masalah-masalah sosial dan oekonomi lainnya seperti ketimpangan dan perubahan iklim.
Intervensi pemerintah dalam melakukan penanganan dan perumusan kebijakan yang tepat sepatutnya didukung oleh kemampuan pemerintah dalam mengakses data dan informasi yang relevan agar proses perumusan kebijakan dapat menghasilkan kebijakan yang berbasis bukti evidence-based policy atau kebijakan berbasis bukti.
Digitalisasi selama ini telah terbukti membawa manfaat nyata bagi penghidupan masyarakat, terlepas adanya risiko gejolak politik yang ditimbulkan.
Di sisi lain, informasi yang tepat dan relevan di tengah masyarakat juga dapat mendukung perannya untuk melakukan kontrol sosial terhadap pemerintahan.
Akses data yang terbuka, kredibel, dan aktual tidak hanya akan membantu, tapi dibutuhkan sebagai pondasi untuk pemerintah dan masyarakat sebagai agen ekonomi utama agar mampu menjalankan fungsinya secara optimal.
Sean Hambali dan Nandaru Annabil (Asisten Peneliti LPEM FEB UI) membantu dalam proses pencarian literatur dan penulisan.
References
- ^ McKinsey (www.mckinsey.com)
- ^ Portal data resmi Uni Eropa (data.europa.eu)
- ^ Kementerian Kesehatan Korea (www.healthaffairs.org)
- ^ ASI5 (best-lpem.org)
Authors: Teuku Riefky, Research associate, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM)