Curious Kids: mengapa kecerdasan hewan tidak berevolusi menjadi seperti manusia?
- Written by Barry Bogin, Professor of Biological Anthropology (Emeritus), Loughborough University
Manusia dan hewan hidup dalam lingkungan yang sama. Tapi mengapa hewan-hewan tidak berevolusi seperti kita? – Sami, 13 tahun, London, Inggris
Sami, pertanyaanmu sungguh brilian.
Manusia berevolusi secara berbeda dengan hewan lainnya. Kita memiliki otak yang jauh lebih besar dibandingkan ukuran badan ataupun tubuh dibandingkan mamalia lainnya. Kecerdasan manusia juga berevolusi, sedangkan hewan lainnya tidak.
Kecerdasan ini adalah anugerah. Berkat kecerdasan, kita bisa merencanakan sesuatu, maupun bekerja sama. Manusia pun dapat membuat terobosan sekaligus berbagi cerita keberhasilan seputar terobosan tersebut.
Makhluk hidup mengalami evolusi supaya mereka semakin mahir bertahan hidup. Misalnya, loreng pada harimau, warna cerah yang dimiliki kupu-kupu, ataupun otak besar pada manusia.
Fitur-fitur ini kemudian diwariskan secara turun-temurun.
Sedangkan manusia berbeda. Siapapun yang mau dan mampu, bisa memiliki bayi. Memang tak semua orang tua bisa atau mau merawat bayinya sendiri, tapi banyak orang yang bisa membantu merawatnya.
Orang tua maupun para pengasuh menjaga anak-anak untuk waktu yang lama, terkadang sampai seumur hidup. Saya juga adalah orang tua yang terus menjaga perkembangan anak saya, maupun keturunannya – cucu saya. Inilah yang disebut para ahli sebagai reproduksi biokultur[7].
Sedangkan para pengasuh bisa saja memiliki hubungan keluarga dengan anak yang diasuhnya, tapi bisa juga tidak. Aturan main ini tidak ditentukan berdasarkan hubungan genetika, tapi dengan sebutan yang kita sematkan kepada orang lain. Sebutan ini bukan nama seperti Sami atau Barry, tetapi merupakan label ‘anak’, ‘bibi’, ‘kakek’, ‘sepupu’, ataupun ‘teman’.
View Apart/Shutterstock[8]Penyematan sebutan ini adalah wujud dari bahasa simbolis[9]. Artinya, sebutan kita kepada orang lain mewakili ide bagaimana kita memperlakukan mereka. Evolusi dalam komunikasi simbolis tersebut hanya terjadi pada manusia dan beberapa nenek moyang kita.
Manusia memiliki panggilan ‘paman’ atau ‘bibi’ untuk menyebut orang yang lebih tua dan tidak memiliki kekerabatan secara langsung.
Karena alasan kedekatan, kita bahkan bisa memanggil sahabat kita dengan sebutan ‘saudara’ atau ‘sepupu’.
Beberapa pemimpin keagamaan pun disebut ‘bapa’, ‘ibu’, atau ‘suster’. Panggilan ini muncul sebagai simbol penghormatan sekaligus memberikan informasi terkait hubungan kita dengan orang-orang tersebut.
Kecerdasan tingkat tinggi untuk bertahan hidup
Cara penamaan yang dilakukan manusia itu cukup rumit. Butuh kecerdasan dengan otak yang besar untuk mengingat seluruh nama dan sejarah interaksi yang kita punya dengan keluarga ataupun teman.
Simpanse, sebagai sepupu biologis terdekat kita, hanya punya ukuran sepertiga dari otak manusia. Mereka tidak menggunakan bahasa simbolis atau memanggil simpanse lainnya dengan sebutan tertentu.
Induk simpanse memang peduli pada anak-anaknya. Tapi, kakeknya, ayahnya, ataupun simpanse lain tidak sepeduli itu. Akhirnya, hanya sepertiga bayi simpanse yang bertahan hidup hingga dewasa.
Sebaliknya, begitu banyak orang yang menaruh perhatian kepada bayi: memberi makan, menjaga saat sakit, mendidik, memberikan uang, mencurahkan kasih sayang. Akhirnya bayi manusia berpeluang lebih tinggi – tak sekadar bertahan hidup – tapi juga berkembang.
Kecerdasan tingkat tinggi yang membuat manusia lebih peduli kepada satu sama lain juga dapat menjawab sejumlah pertanyaan ihwal mengapa populasi manusia saat ini sedang menuju delapan miliar penduduk.
References
- ^ Curious Kids (theconversation.com)
- ^ The Conversation (theconversation.com)
- ^ curiouskids@theconversation.com (theconversation.com)
- ^ reproduksi biokultur (doi.org)
- ^ cooperative breeding (www.youtube.com)
- ^ RAJU SONI/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ reproduksi biokultur (doi.org)
- ^ View Apart/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ adalah wujud dari bahasa simbolis (www.npr.org)
Authors: Barry Bogin, Professor of Biological Anthropology (Emeritus), Loughborough University