Bagaimana caleg perempuan menggunakan media sosial untuk menampilkan citra Islami dan memenangkan pemilu
- Written by Haryanto, Dosen Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin
Dalam beberapa tahun terakhir, para pemilih di Indonesia, negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, cenderung lebih suka[1] mencoblos kandidat yang memiliki kepribadian religius dan gaya hidup serta penampilan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Preferensi ini sejalan dengan meningkatnya tren[2] menuju kesalehan bagi Muslim.
Selama periode kampanye, banyak kandidat yang mengikuti kontestasi politik di Indonesia memanfaatkan media sosial untuk menampilkan citra ketakwaan mereka. Calon legislatif (caleg) perempuan, secara khusus, menggunakan media sosial[3] untuk membawa perubahan sosial dan mendorong perempuan untuk terlibat dalam politik.
Pada pemilu 2019, misalnya, caleg perempuan yang memanfaatkan media sosial untuk memperkuat citra Islami mereka.
Kami melakukan riset[4] mengenai pola penggunaan media sosial di kalangan caleg perempuan pada Pemilu 2019 di Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh yang memberlakukan hukum syariah.
Hasil riset tersebut menunjukkan bahwa representasi diri yang Islami di media sosial berhasil membantu meningkatkan elektabilitas mereka serta mendukung partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik.
Kesalehan adalah kunci
Penerapan hukum syariah di Aceh membuat praktik keagamaan dan tradisi sosial di provinsi tersebut masih bersifat patriarkis[5]. Namun, proporsi anggota legislatif perempuan di Banda Aceh telah meningkat secara signifikan[6] dalam beberapa tahun terakhir.
Data Komisi Pemilihan Umum[7] menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, caleg perempuan menyumbang hampir 42% dari total caleg yang memperebutkan 30 kursi Dewan Perwakilan Rakyat Kota (DPRK) Banda Aceh, lebih tinggi dari porsi caleg perempuan pada Pemilu 2014 yang hanya 14,8%.
Kami melakukan penelitian dengan melibatkan responden empat caleg perempuan, termasuk satu petahana, yang memenangkan Pemilu Legislatif di Banda Aceh 2019. Mereka adalah Tati Meutia Asmara[8], Devi Yunita[9], Syarifah Munirah[10] dan Kasumi Sulaiman[11]. Sebagian besar dari mereka berasal dari partai politik berbasis Muslim.
Mengetahui bahwa perempuan usia muda mendominasi porsi pemilih dan pengguna media digital di Banda Aceh, para caleg tersebut memutuskan untuk meluncurkan kampanye politik mereka di media sosial, terutama Facebook dan Instagram.
Di postingan media sosial mereka, kami menemukan bahwa keempatnya mencoba membuat citra perempuan salihah. Sebagian besar kontennya memperlihatkan karakter agamis mereka serta keterlibatan dalam acara dan kegiatan keagamaan.
Tati, misalnya, membagikan kunjungannya ke sebuah komunitas Muslimah yang mengusung gerakan hijrah. Melalui Facebook dan Instagram, ia juga mengunggah foto seorang ulama yang sedang melakukan ibadah haji ke Mekah, Arab Saudi.
Kasumi, contoh lain, sering mengunggah foto berisi kutipan-kutipan religi di media sosialnya.
Tindakan ini mencerminkan keyakinan para caleg bahwa penilaian pemilih lebih didasarkan pada karakteristik pribadi, identitas dan gaya hidup, daripada pada isu serta program dan kebijakan yang mereka usung.
Membangun sosok wanita islami yang ideal
Keempat caleg tersebut juga berusaha memperkuat citra mereka sebagai perempuan muslimah yang ideal dengan menunjukkan bagaimana mereka mencintai dan merawat keluarga serta setia dan berbakti kepada suami.
Tati membangun citranya sebagai istri salihah melalui unggahannya yang berupa bergambar dua pasang sandal untuk suaminya, dengan caption berbunyi, “Aku yakin, di telapak kakimu, kini ada surgaku; kesayangan”. Syarifah menunjukkan bahwa dirinya adalah istri salihah dengan mengunggah foto ucapan selamat Idul Adha sambil mencium tangan suaminya.
Dalam Islam, ketaatan pada suami[12] diyakini secara luas sebagai jalan menuju surga bagi perempuan.
Kasumi, sementara itu, menamai semua akun media sosialnya ‘Bunda Mimi’. Ia mencoba mengaitkan citra femininnya dengan nilai-nilai Islam.
Menurut penelitian kami, jumlah unggahan sosial mereka yang bertujuan meningkatkan citra keagamaan meningkat selama periode kampanye pemilu 2019, ditunjukkan oleh 50% dari total jumlah unggahan mereka di Facebook. Di Instagram, jumlah kenaikan unggahan mereka yang terkait keagamaan naik hingga 24%. Tati, caleg perempuan yang mendapatkan suara terbanyak, adalah yang paling banyak mengunggah konten kesalehannya di sosial medianya.
Mendobrak batasan
Di banyak negara dengan mayoritas Muslim, media tradisional cenderung menciptakan sebuah gagasan[13] bahwa mengikuti kompetisi politik bukanlah hal menguntungkan bagi perempuan. Namun, media sosial telah menjadi alternatif[14] bagi para perempuan. Hasil studi kami tersebut menunjukkan bagaimana strategi media sosial dapat membuka lebih banyak peluang untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan di daerah.
Studi ini mendukung riset lain[15] yang menunjukkan bahwa media sosial memberikan peluang yang lebih signifikan bagi kandidat perempuan untuk mempromosikan diri dan meningkatkan peluang mereka memenangkan pemilu.
References
- ^ lebih suka (www.jstor.org)
- ^ meningkatnya tren (www.tandfonline.com)
- ^ menggunakan media sosial (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ riset (doi.org)
- ^ bersifat patriarkis (www.tandfonline.com)
- ^ meningkat secara signifikan (mgesjournals.com)
- ^ Komisi Pemilihan Umum (mgesjournals.com)
- ^ Tati Meutia Asmara (www.instagram.com)
- ^ Devi Yunita (aceh.pks.id)
- ^ Syarifah Munirah (ceritawarga.com)
- ^ Kasumi Sulaiman (posaceh.com)
- ^ ketaatan pada suami (www.google.com)
- ^ cenderung menciptakan sebuah gagasan (www.tandfonline.com)
- ^ telah menjadi alternatif (www.tandfonline.com)
- ^ riset lain (www.tandfonline.com)
Authors: Haryanto, Dosen Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin