Asian Spectator

Main api perpanjangan PLTU ASEAN dengan penangkapan karbon

  • Written by Lay Monica, Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Main api perpanjangan PLTU ASEAN dengan penangkapan karbon

ASEAN Centre for Energy (ACE) merilis laporan[1] yang menekankan agar negara ASEAN tidak perlu buru-buru mengakhiri pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) untuk memerangi perubahan iklim. Mereka berencana memertahankan PLTU dalam porsi yang signifikan dalam rencana transisi energi ASEAN.

Laporan itu juga menyarankan pemberian tambahan waktu transisi energi kepada negara ASEAN untuk meningkatkan kapasitas jaringan listrik. Harapannya, transisi energi bisa semakin mulus karena ada jaringan bisa mengakomodasi pasokan setrum dari sumber energi terbarukan.

Untuk mengurangi dampak negatif batu bara, ACE mendesak negara-negara ASEAN mengganti teknologi PLTU kuno dengan teknologi ‘efisiensi tinggi dan rendah emisi’ (high efficiency-low emission atau HELE) yang dianggap lebih ramah lingkungan.

PLTU, menurut ACE, juga perlu memasang teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (carbon capture and storage/CCS) hingga penggunaannya (CCUS).

Menariknya, pandangan serupa[2] juga dipromosikan oleh World Coal Association (saat ini bernama Future Coal), pelobi internasional untuk kebijakan pendukung batu bara.

Sekilas, pandangan ACE dan Future Coal mungkin menjanjikan. Namun, artikel kami justru membuktikan ada risiko berbahaya dalam perpanjangan operasi PLTU versi ACE.

Risiko ini perlu dipertimbangkan secara saksama agar tidak menjadi perkara yang lebih besar di masa depan.

Solusi semu teknologi efisien

Secara teknis, PLTU efisien dan rendah emisi dalam bayangan ACE[3] adalah pembangkit teknologi ultra superkritikal. Sejumlah pihak[4] menganggap teknologi ini lebih ramah lingkungan dibandingkan teknologi pembangkit biasa karena menghasilkan energi lebih banyak, tapi dengan membakar batu bara yang lebih sedikit.

Kendati demikian, anggapan tersebut meragukan karena teknologi ultra superkritikal justru menciptakan masalah baru. Studi kasus di Australia[5] justru menunjukkan pembangkit listrik dengan teknologi ini lebih sering rusak dan memerlukan lebih banyak perbaikan.

Pembangkit yang byar-pet justru berujung ke lonjakan tarif listrik di tahun 2018-2019, atau 10 tahun sejak teknologi ini beroperasi di Negeri Kangguru pada 2007[6].

Kegagalan pembangkit listrik ultra superkritikal untuk menyuplai listrik secara stabil bertentangan dengan tujuan ACE untuk mencegah kelangkaan listrik dan memersiapkan transisi yang lebih lancar menuju energi bersih dan terbarukan.

Risiko penyimpanan dan pemakaian karbon

Teknologi lain yang diadvokasi ACE adalah penangkapan dan penyimpanan karbon: berfungsi menangkap dan menyimpan emisi karbon PLTU di dalam tanah. Banyak penyedia teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon yang mengklaim mereka berhasil mengurangi emisi PLTU hingga 95%[7].

Sayangnya, performa teknologi ini tidak pernah sebaik yang digembar-gemborkan banyak kelompok[8].

Laporan dari organisasi think-tank global, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA)[9], menunjukkan tak satupun teknologi tersebut yang bisa memerangkap karbon di atas 80%. Bahkan, ada produk yang hanya memerangkap emisi karbon sebesar 15%.

Risiko besar lainnya adalah kebocoran karbon yang disimpan ke dalam tanah. Kebocoran ini bukan hanya bisa memangkas keberhasilan pengurangan emisi, tetapi juga mencemari air tanah[10] sehingga membahayakan komunitas setempat.

Pendukung teknologi penangkapan karbon mengklaim bahwa kemungkinan kebocoran sangat kecil. Sekalipun terjadi, dampaknya tidak akan menjadi bencana[11].

Namun sayangnya, klaim tersebut masih bersyarat: “apabila hasil tangkapan karbon disimpan dengan benar.”[12]

Masalahnya, kebocoran 1% setiap 10 tahun sudah cukup untuk menciptakan dampak signifikan[13] bagi kenaikan temperatur bumi. Menjaga tingkat kebocoran karbon pada level yang aman membutuhkan pengawasan dan penegakan aturan yang ketat[14].

Pengawasan penangkapan karbon, untuk mencegah kebocoran juga akan menambah pekerjaan rumah di tengah lemahnya penegakan aturan di negara berkembang, terutama Indonesia[15].

Masalah lainnya terkait dengan efisiensi penangkapan karbon. Secara teknis, teknologi ini dianggap berhasil apabila mampu menangkap 90% karbon yang keluar dari cerobong asap PLTU[16]. Artinya, masih ada 10% emisi PLTU yang terlepas ke atmosfer.

Kemampuan tersebut di atas bisa saja ditingkatkan, tapi biaya dan energi yang kita butuhkan sangatlah besar[17].

Di sisi lain, menghamburkan uang melalui penangkapan dan penyimpanan karbon yang harganya semakin mahal hanya akan memperpanjang keberadaan PLTU batubara yang merusak lingkungan.

Penggunaan karbon yang disimpan (carbon utilisation) juga tak kalah kontroversial. Secara teori[18], karbon ini bisa dimanfaatkan untuk ekstraksi minyak sampai pengawetan makanan.

Kendati demikian, secara praktik pemanfaatan karbon di pasaran masih sangat sedikit. Jumlahnya kurang dari 1%[19] dari emisi CO2 PLTU batubara.

Pengolahan CO2 menjadi bahan bakar minyak juga sangat boros karena memerlukan energi tambahan[20]. Apalagi, ada kehilangan energi rata- sebesar 25-35%[21] dari proses konversi.

Riset peningkatan efisiensi konversi CO2 ke BBM[22] memang masih berjalan. Namun, sejauh ini belum ada solusi untuk meningkatkan efisiensinya.

Mengapa setengah hati?

ACE semestinya tidak bisa mengandalkan solusi berbasis teknologi yang belum matang dan beresiko tinggi. ACE perlu lebih mengedepankan solusi yang tidak berisiko, hemat modal, dan berdampak positif seperti energi bersih terbarukan berbasis komunitas[23] atau pemulihan hutan secara agresif[24].

Energi bersih terbarukan berbasis komunitas membuka kesempatan[25] bagi masyarakat yang terisolasi secara geografis maupun termarginalkan secara sosial dan ekonomi untuk memanfaatkan energi secara mandiri.

Energi terbarukan berbasis komunitas juga bisa lebih menghemat penggunaan lahan. Ini dapat meminimalkan konflik agraria dan konflik sosial yang sering terjadi di area proyek pembangkit listrik.

Sementara itu, pemulihan hutan besar-besaran tidak memerlukan teknologi yang rumit agar bisa lebih banyak menangkap emisi karbon. Soalnya, hutan mampu menangkap 30% dari seluruh emisi karbon di atsmosfer[26], tidak terbatas[27] bukan cuma dari cerobong PLTU.

Penelitian terkini turut menunjukkan bahwa penghijauan tidak harus dilakukan dalam sebuah proyek skala besar dan terpusat di kawasan hutan. Penanaman tanaman hutan di daerah pinggiran kota atau desa, bahkan sekadar taman kota yang tersebar di jutaan titik, tetap berpeluang menurunkan emisi karbon[28].

ACE juga perlu mempertimbangkan solusi penggantian langsung PLTU batubara kuno dengan pembangkit listrik energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. Biaya pembangkit ramah lingkungan ini semakin menurun secara signifikan[29] dalam beberapa tahun terakhir.

Sebagian besar anggota ASEAN adalah negara berkembang. Mereka tidak memiliki kapasitas fiskal besar. Oleh karena itu, mereka perlu berhati-hati dalam mengadopsi teknologi—apalagi jika keandalannya meragukan dan mahal[30].

Sungguh mengherankan mengapa kita harus menggantikan PLTU batubara dengan PLTU batubara lainnya. Ibaratnya, kita masih ingin mengganti ponsel monofonik ke ponsel polifonik yang sama jadulnya. Mengapa tidak sekalian beli smartphone saja?

References

  1. ^ laporan (aseanenergy.org)
  2. ^ pandangan serupa (www.futurecoal.org)
  3. ^ ACE (aseanenergy.org)
  4. ^ Sejumlah pihak (www.jawapos.com)
  5. ^ Australia (australiainstitute.org.au)
  6. ^ 2007 (www.csenergy.com.au)
  7. ^ hingga 95% (calpinecarboncapture.com)
  8. ^ banyak kelompok (industri.kontan.co.id)
  9. ^ Laporan dari organisasi think-tank global, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) (ieefa.org)
  10. ^ mencemari air tanah (scijournals.onlinelibrary.wiley.com)
  11. ^ menjadi bencana (mitpress.mit.edu)
  12. ^ “apabila hasil tangkapan karbon disimpan dengan benar.” (www.nature.com)
  13. ^ dampak signifikan (www.scientificamerican.com)
  14. ^ penegakan aturan yang ketat (www.nature.com)
  15. ^ Indonesia (www.sciencedirect.com)
  16. ^ cerobong asap PLTU (www.sciencedirect.com)
  17. ^ sangatlah besar (climate.mit.edu)
  18. ^ Secara teori (theconversation.com)
  19. ^ kurang dari 1% (mitpress.mit.edu)
  20. ^ memerlukan energi tambahan (mitpress.mit.edu)
  21. ^ 25-35% (mitpress.mit.edu)
  22. ^ Riset peningkatan efisiensi konversi CO2 ke BBM (news.mit.edu)
  23. ^ energi bersih terbarukan berbasis komunitas (celios.co.id)
  24. ^ pemulihan hutan secara agresif (research.american.edu)
  25. ^ membuka kesempatan (celios.co.id)
  26. ^ menangkap 30% dari seluruh emisi karbon di atsmosfer (www.wri.org)
  27. ^ terbatas (www.iea.org)
  28. ^ tetap berpeluang menurunkan emisi karbon (www.bu.edu)
  29. ^ semakin menurun secara signifikan (www.irena.org)
  30. ^ meragukan dan mahal (www.wri.org)

Authors: Lay Monica, Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Read more https://theconversation.com/main-api-perpanjangan-pltu-asean-dengan-penangkapan-karbon-235969

Magazine

Bisnis antariksa ‘booming’ meski berisiko, akankah tamasya ruang angkasa semakin murah?

Kegiatan berjalan di luar angkasa termasuk salah satu aktivitas paling berbahaya bagi manusia. Ignatiev/E+ via Getty ImagesRuang angkasa bukanlah tempat yang ramah bagi manusia. Tanpa perlindungan y...

Jilbab dan Pancasila: kapan negara akan berhenti mengatur tubuh perempuan?

Penggunaan jilbab kini tengah menjadi polemik di Indonesia. Baru-baru ini, sebuah rumah sakit di Jakarta diduga membatasi pekerjanya dalam penggunaan jilbab.Sebelumnya, tepat menjelang peringatan Hari...

Apakah kucing bisa berduka?

Alexander DubrovskySaat kehilangan hewan peliharaan, mungkin bukan hanya kita yang merasa sedih. Penelitian menunjukkan bahwa kucing peliharaan yang tinggal bersama kita juga bisa merasakan duka yang ...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion