Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Nobel ekonomi 2024: warisan kolonial dan pesan antikorupsi untuk pemerintah mendatang

  • Written by Muhamad Iksan, Peneliti, Paramadina University
Nobel ekonomi 2024: warisan kolonial dan pesan antikorupsi untuk pemerintah mendatang
Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024. Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya. Tiga pemenang penghargaan Nobel Ekonomi 2024 secara pribadi cukup sentimental bagi saya yang berkecimpung sebagai peneliti ekonomi. Sebab saya teringat pada senior, guru, sekaligus salah satu ekonom favorit saya almarhum ‘bang’ Faisal Basri[2]. Beliaulah yang merekomendasikan saya untuk mempelajari dengan baik ketiga guru besar ilmu ekonomi dari kampus di Amerika Serikat (AS) tersebut untuk mendapat pemahaman mendalam tentang ekonomi makro. Trio pemenang Nobel ekonomi 2024 tersebut terdiri dari Daron Acemoglu[3] (Turki-AS), Profesor Ekonomi Departemen Ilmu Ekonomi, Massachusetts Institute of Technology[4]. Kedua, Simon Johnson[5], Profesor Ekonomi Sekolah Manajemen Sloan, Massachusetts Institute of Technology[6]. Ketiga, James Alan Robinson[7](Inggris-AS), Guru Besar Ilmu Ekonomi Sekolah Kebijakan Publik Harris, University of Chicago[8]. Trio yang kemudian dikenal dengan sebutan AJR tersebut mendapat pengakuan atas penelurusan mendalam dan studi berwawasan luas tentang bagaimana institusi (lembaga) terbentuk dan memengaruhi kemakmuran dalam karya-karyanya. Sebagaimana dijelaskan oleh Akademi Sains Swedia[9], 50% penduduk termiskin dunia berpenghasilan kurang dari sepersepuluh dari total pendapatan dan hanya memiliki 2% dari total kekayaan bersih global. Ketimpangan ini terutama disebabkan oleh kesenjangan antar negara, yang berkontribusi terhadap sekitar dua pertiga ketimpangan pendapatan global[10] (global income inequality). Kemudian muncul pertanyaan, mengapa negara-negara miskin tidak meniru saja apa yang telah dilakukan oleh negara-negara kaya dan mengejar ketertinggalan seiring berjalannya waktu? Buah pikir AJR telah membantu menjawab pertanyaan penting tersebut. Secara umum, prinsip utama penelitian mereka menyatakan bahwa kekayaan negara pada dasarnya dibentuk oleh institusi politik[11] yang juga bisa diartikan sebagai negara[12]. Hubungan erat di antara institusi politik dan ekonomi mengikuti suatu hierarki: institusi politik mempengaruhi institusi ekonomi, dan institusi ekonomi kemudian mempengaruhi hasil ekonomi (economic outcomes). Tulisan ini menjelaskan tiga bahasan utama–berdasarkan karya ketiganya dan refleksi kontribusi AJR bagi Indonesia terutama dalam kaitannya dengan kelembagaan anti korupsi–Komisi Pemberantasan Korupsi–sebagai produk dan legasi dari hasil reformasi politik akhir abad 20 lalu. Institusi dan kemakmuran Demikian pentingnya peranan institusi guna menghasilkan kemakmuran telah lama disadari ekonom. Dalam konteks ini, definisi institusi tidak lain dari kendala yang diciptakan manusia (devised constraints), baik formal maupun informal, yang membentuk interaksi dalam bidang ekonomi dan politik–sebagaimana peraih Nobel Ekonomi 1993 Douglass North uraikan pada Pidato Nobel Ekonomi mengenai kinerja ekonomi dari waktu ke waktu[13]. Tantangan bagi ilmu ekonomi untuk kemudian menjelaskan hubungan sebab-akibat antara institusi ekonomi dan kemakmuran, menempuh jalan yang tidak mudah. Bagaimanapun, meskipun struktur lembaga pada waktu dan tempat tertentu dibentuk oleh perkembangan sejarah yang kompleks, struktur tersebut juga mencerminkan pilihan yang disengaja oleh mereka yang berkuasa untuk mencapai hasil ekonomi tertentu. Artinya, institusi bersifat endogen atau berasal dari kekuatan internal. Dalam dua makalah penting The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation - American Economic Association[14] (2002) dan Reversal of Fortune: Geography and Institutions in the Making of the Modern World Income Distribution[15], AJR memperdalam studi tentang dampak lembaga ekonomi terhadap kemakmuran ekonomi. Secara khusus, mereka menggunakan penelitian berbasis desain–atau kuasi-eksperimental–dengan menggunakan pengalaman kolonialisme Eropa sebagai “eksperimen alami”. Secara empiris, studi ketiganya menelusuri secara empiris pentingnya dan bertahannya warisan kolonial[16] bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Desain penelitian ketiganya berpusat pada hipotesis berbasis sejarah masa lalu bahwa lembaga yang didirikan atau dikelola secara selektif oleh kekuatan kolonial telah memberikan dampak yang berkelanjutan pada lembaga politik dan ekonomi hingga saat ini[17]. Riset-risetnya menunjukkan bahwa pengalaman kolonial memiliki dampak besar pada kemakmuran jangka panjang. Jenis lembaga yang diterapkan oleh kolonial merupakan mekanisme utama[18], meskipun dampak pasti dari kualitas institusi terhadap pendapatan tidak mudah untuk dikuantifikasikan. Antara inklusif atau ekstraktif Ketiga ekonom ini juga telah mengembangkan kerangka teori inovatif abad ini yang menjelaskan penyebab beberapa kalangan masyarakat terjebak dalam perangkap dengan apa yang disebut sebagai institusi ekstraktif (extractive institution), dan mengapa melepaskan diri dari perangkap ini tampaknya begitu sulit[19]. Namun, mereka juga memaparkan jika peluang perubahan tidak absolut tertutup. Bahkan ada situasi yang bisa mendorong berdirinya institusi baru[20]. Dalam beberapa situasi, suatu negara dapat melepaskan diri dari lembaga-lembaga yang diwariskannya untuk menegakkan demokrasi dan supremasi hukum. Dalam jangka panjang, perubahan-perubahan institusi (negara) inilah juga akan mengurangi kemiskinan. Karakteristik sebuah institusi suatu negara bisa sama ataupun bertolak belakang. Misalnya, ada negara yang memberi menjamin partisipasi politik dan hak milik pribadi secara merata bagi warganya (inklusif)[21]. Ada juga negara yang menutup partisipasi politik dan hak milik pribadi hanya untuk segelintir golongan saja (ekstraktif)[22]. AlessandroBiascioli/ shutterstock. Khususnya di bidang ekonomi, studi AJR[23] menjadi rujukan kerangka kerja dasar (framework thinking) untuk menentukan parameter institusi ekonomi di sebuah negara sebagai penentu kemakmuran seluruh aktor di dalam suatu negara. Cita-cita luhur dalam memakmurkan masyarakat luas kerap dihadang oleh institusi politik yang bersifat ekstraktif. Godaan dari kalangan yang berkapasitas ekonomi lebih besar, yang memiliki kekuatan dan bisa memengaruhi arah politik sesuai kepentingannya, menjadi salah satu sebab yang paling umum mengapa kemakmuran di suatu negara sulit dirasakan secara menyeluruh. Hal ini dapat diperjelas dengan contoh liberalisasi perundang-undangan melalui UU Cipta Kerja yang justru memperkuat oligarki[24]. Para oligarki tidak lain dari penguasa kekuatan-kekuatan politik, utamanya partai politik. Hal ini menjadi citra dari institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Relevansi dulu dan kini terhadap Indonesia Pemerintahan baru Presiden Prabowo telah mencanangkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8%[25]. Suatu target yang cukup muluk di tengah situasi geopolitik dunia dan kawasan yang sedang bergejolak. Tanpa pertumbuhan ekonomi yang inklusif serta pembangunan politik yang demokratis maka sebagaimana ditunjukkan oleh Acemoglu dan Robinson dalam dalam salah satu karya masterpiece-nya Why Nations Fail[26] target 8% tersebut hanyalah isapan jempol semata. hamdi bendali/shutterstock. Acemoglu dan Robinson, dengan luwesnya, merefleksikan kembali sejarah perdagangan di kawasan Asia Tenggara era 1600-an melalui perdagangan rempah-rempah dari Kepulauan Ambon dan Banda[27]. Pendirian VOC[28], perusahaan multinasional pertama di dunia yang memiliki wewenang nyaris serupa negara, semakin mengukuhkan cengkeraman penjajahan Belanda melalui bala tentara serta armada berkekuatan besar. Menariknya, VOC pada akhirnya bangkrut karena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan korporasi karena maraknya praktik korupsi yang jadi salah satu rujukan utama akibat dari institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Tantangan terbesar yang belum bisa diselesaikan oleh Indonesia adalah tingginya korupsi[29] yang menggrogoti setiap sektor dan sendi pemerintahan. KPK sebagai lembaga berkekuasaan besar telah dipotong kewenangan maupun dukungan sumber dayanya. Sebuah saran bagi pemerintahan baru yang akan dilantik pada Minggu ini, ujian kesungguhan pemerintah mencapai pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, berawal dari kemauan politik menghadirkan kembali KPK yang kuat, akuntabel, dan berorientasi kinerja pencegahan dan pemberantasan korupsi sekaligus. References^ #PantauPrabowo (theconversation.com)^ Faisal Basri (feb.ui.ac.id)^ Daron Acemoglu (economics.mit.edu)^ Massachusetts Institute of Technology (economics.mit.edu)^ Simon Johnson (mitsloan.mit.edu)^ Massachusetts Institute of Technology (economics.mit.edu)^ James Alan Robinson (harris.uchicago.edu)^ University of Chicago (www.uchicago.edu)^ Akademi Sains Swedia (www.kva.se)^ ketimpangan pendapatan global (ourworldindata.org)^ institusi politik (fisipol.ugm.ac.id)^ negara (djpb.kemenkeu.go.id)^ kinerja ekonomi dari waktu ke waktu (www.nobelprize.org)^ The Colonial Origins of Comparative Development: An Empirical Investigation - American Economic Association (www.aeaweb.org)^ Reversal of Fortune: Geography and Institutions in the Making of the Modern World Income Distribution (www.jstor.org)^ warisan kolonial (www.aeaweb.org)^ lembaga politik dan ekonomi hingga saat ini (www.jstor.org)^ Jenis lembaga yang diterapkan oleh kolonial merupakan mekanisme utama (theconversation.com)^ perangkap ini tampaknya begitu sulit (theconversation.com)^ institusi baru (theconversation.com)^ (inklusif) (ir.binus.ac.id)^ (ekstraktif) (ir.binus.ac.id)^ studi AJR (www.sciencedirect.com)^ UU Cipta Kerja yang justru memperkuat oligarki (theconversation.com)^ 8% (www.cnnindonesia.com)^ Why Nations Fail (www.penguinrandomhouse.com)^ Kepulauan Ambon dan Banda (www.penguinrandomhouse.com)^ VOC (www.britannica.com)^ tingginya korupsi (theconversation.com)Authors: Muhamad Iksan, Peneliti, Paramadina University

Read more https://theconversation.com/nobel-ekonomi-2024-warisan-kolonial-dan-pesan-antikorupsi-untuk-pemerintah-mendatang-241570

Magazine

From pop songs to baby names: How Simeulue Island’s ‘smong’ narrative evolves post-tsunami

Simelulue men gather to perform 'nandong,' a traditional local song.(Jihad fii Sabilillah/Youtube), CC BY20 years have passed since the Aceh tsunami, leaving deep scars on Indonesia, especially for th...

Tak hanya swasembada energi, Sumatra bisa ekspor listrik bersih ke Singapura

PLTS di Singapura.(Kandl Stock/Shutterstock)Sumatra, salah satu pulau terbesar di Indonesia, memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Sinar matahari yang menyinari pulau ini, misalnya, bisa meng...

Indonesia’s BRICS agenda: 2 reasons Prabowo’s foreign policy contrasts with Jokowi’s

Ilustrasi-ilustrasi bendera negara anggota BRICS dan mitra.justit/ShutterstockIndonesia’s decision to pursue membership in BRICS – an emerging economy bloc comprising Brazil, Russia, India...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion