Tidak ‘pelototin’ pelanggan ketika memberi tip efektif tumbuhkan loyalitas
- Written by Sara Hanson, Associate Professor of Marketing, University of Richmond
Pernahkah kamu merasa risih ketika ingin memberi tip di kasir karena pegawai toko berdiri tepat di depanmu, seperti sedang mengawasi? Kamu tidak sendirian. Banyak orang yang merasakan situasi serupa.
Namun, kemajuan sistem pemberian tip digital yang pesat telah mengubah dinamika sosial ini, mengurangi stigma kecemasan yang muncul akibat rasa diawasi ketika memberi tip.
Perangkat tip digital kini bisa ditemukan mulai dari sistem point-of-sale[1] yang dipegang karyawan hingga layar pada meja kasir yang menampilkan pilihan tip dengan jelas secara mandiri.
Sebagai profesor[2] di bidang marketing[3], kami ingin memahami fakta akademis bagaimana pelanggan menanggapi fenomena sosial “tip yang diawasi” ini. Kami melakukan studi lapangan yang menganalisis 36.000 transaksi dan melakukan empat eksperimen terencana yang melibatkan lebih dari 1.100 peserta.
Kami membandingkan dua metode pemberian tip: metode dengan tingkat privasi rendah dan metode dengan tingkat privasi tinggi. Metode tingkat privasi rendah antara lain perangkat sistem pembayaran mobile seperti EDC (Electronic Data Capture). Sementara pengaturan dengan privasi yang lebih tinggi seperti sistem pembayaran di meja kasir, tanpa interaksi langsung dengan karyawan atau aplikasi yang menampilkan jumlah tip setelah layanan selesai.
Hasil penelitian kami dengan jelas memperlihatkan[4]: Pengawasan tingkat tinggi berdampak buruk bagi bisnis. Pelanggan yang merasa diawasi saat memberi tip cenderung tidak akan kembali berkunjung atau enggan merekomendasikan tempat tersebut. Meskipun privasi sering kali meningkatkan rasa murah hati dan kendali pelanggan atas keputusan mereka, perasaan diawasi menyebabkan rasa tidak nyaman dan berujung pada berkurangnya loyalitas.
Menariknya, riset kami tersebut mengungkapkan bahwa orang lebih cenderung lebih senang diawasi[5] ketika mereka melakukan kegiatan amal. Jadi, mengapa pemberian tip terasa berbeda? Mungkin karena memberi tip tidak sepenuhnya sukarela — sering kali dianggap sebagai suatu kewajiban. Ketika pelanggan merasa tertekan, mereka kehilangan rasa nyaman yang membuat pemberian tip menjadi pengalaman yang positif.
Selamat datang di lingkaran setan
Meskipun sistem pemberian tip digital terlihat praktis[6], teknologi ini juga memunculkan fenomena “tipflasi” — sentimen[7] ekspekatasi[8] yang berlebihan[9]. Jika perusahaan ingin memastikan pelanggan terus datang kembali, penelitian kami menunjukkan bahwa mereka sebaiknya memberi privasi saat pelanggan memberikan tip.
Masalahnya, sebagian karyawan mungkin berpikir bahwa ‘memelototi’ pelanggan dengan saksama ketika membayar barang belanjaan bisa mendorong mereka memberi tip dengan murah hati[10]. Namun, penelitian kami tidak menemukan hubungan langsung antara privasi pemberian tip dengan jumlah tip yang diberikan.
Walaupun privasi memungkinkan pelanggan memberi tip lebih kecil jika mereka menginginkannya, tapi kami juga menemukan bahwa pemberian privasi mendorong mereka menjadi lebih tulus. Efek ini menunjukkan bahwa pelanggan memberikan jumlah tip yang cenderung sama, terlepas dari ada atau tidaknya privasi.
Bagi perusahaan, mencapai titik keseimbangan antara privasi dan kemudahan pemberian tip dengan mendorong kemurahan hati pelanggan sangatlah penting. Pelaku usaha yang melatih karyawannya untuk menghormati privasi pelanggan — dan memastikan tetap memberi upah karyawan tersebut secara adil, sehingga mereka tidak perlu menekan pelanggan sejak awal —kemungkinan akan mendapatkan reputasi yang lebih baik dan menciptakan basis pelanggan yang lebih loyal.
Tip di masa depan
Memberikan tip bisa menjadi pengalaman yang menyenangkan, meningkatkan perasaan murah hati[11], dan status sosial[12]. Namun hal ini juga dapat menjadi sumber kecemasan[13].
Dan baik atau buruknya, teknologi digital mengubah cara kita memberi tip[14]. Saat ini, orang memberi tip lebih banyak[15], untuk lebih banyak layanan, dan di lebih banyak tempat[16] dibanding sebelumnya.
Saat pebisnis, pelanggan, dan bahkan politisi[17] berdebat tentang cara terbaik untuk mengintegrasikan pemberian tip digital ke dunia kita, penelitian kami menunjukkan pentingnya berpikir secara holistik.
Menurut pandangan kami, fokusnya tidak boleh hanya pada meningkatkan pendapatan tip bagi karyawan[18] tetapi juga pada menciptakan pengalaman positif bagi pelanggan[19].
Secara lebih luas, pelanggan, pekerja, pebisnis, dan masyarakat perlu memikirkan cara menciptakan sistem pemberian tip yang melindungi hak dan martabat pekerja sekaligus menjamin upah yang layak, serta sistem yang memungkinkan pelanggan dan pemilik bisnis dapat memberi penghargaan kepada karyawan yang berkontribusi[20] atas layanan yang baik.
References
- ^ point-of-sale (www.ocbc.id)
- ^ profesor (www.bi.edu)
- ^ bidang marketing (doi.org)
- ^ Hasil penelitian kami dengan jelas memperlihatkan (doi.org)
- ^ senang diawasi (doi.org)
- ^ terlihat praktis (doi.org)
- ^ sentimen (www.wsj.com)
- ^ ekspekatasi (www.forbes.com)
- ^ yang berlebihan (doi.org)
- ^ mendorong mereka memberi tip dengan murah hati (doi.org)
- ^ perasaan murah hati (doi.org)
- ^ status sosial (doi.org)
- ^ kecemasan (www.marketwatch.com)
- ^ mengubah cara kita memberi tip (doi.org)
- ^ lebih banyak (doi.org)
- ^ di lebih banyak tempat (doi.org)
- ^ bahkan politisi (www.cnn.com)
- ^ meningkatkan pendapatan tip bagi karyawan (doi.org)
- ^ menciptakan pengalaman positif bagi pelanggan (doi.org)
- ^ yang berkontribusi (doi.org)
Authors: Sara Hanson, Associate Professor of Marketing, University of Richmond