Pilkada 2024: Kemenangan rakyat atau Jokowi-Prabowo?
- Written by Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Pilkada Serentak 2024 menjadi momentum penting yang mencerminkan dinamika politik nasional dan perubahan perilaku pemilih di Indonesia. Pemilihan yang diikuti lebih dari 1.553 pasangan calon (paslon) kepala darah[1] ini tidak hanya menjadi ajang perebutan kursi kepemimpinan lokal, tetapi juga cerminan lanskap politik yang dipengaruhi oleh Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Salah satu yang tampak mencolok dari momen Pilkada 2024 adalah dominasi kemenangan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus[2] di daerah. KIM merupakan koalisi partai politik yang mengusung Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Partai yang tergabung dalam KIM di antaranya Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrat, Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Partai Gelombang Rakyat Indonesia (Gelora), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Garda Perubahan Indonesia (Garuda).
Pasca-Pilpres dan kemenangan Prabowo-Gibran, KIM berkembang menjadi KIM Plus dengan bergabungnya partai-partai yang tidak mengusung Prabowo dalam Pilpres, yakni Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Persatuan Indonesia (Perindo), dan Partai Buruh.
Secara nasional, Prabowo kini memegang koalisi gemuk. Oposisi yang tersisa, setidaknya di parlemen, hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).
Dominasi KIM Plus rupanya menyebar hingga ke tingkat daerah, terutama di wilayah besar seperti Jakarta dan provinsi-provinsi di Pulau Jawa. Hasilnya, seperti yang telah diprediksi, mayoritas kandidat yang diusung KIM Plus berhasil memenangkan kontes regional ini.
Pilkada kali ini tidak hanya mencerminkan dinamika perebutan kekuasaan lokal, tetapi juga menjadi gambaran dari kekuatan politik nasional. Penguatan basis oligarki akan memengaruhi arah strategi politik dan pembangunan daerah.
Kemenangan KIM Plus dan ‘endorsement’ Jokowi-Prabowo
Koalisi KIM Plus berhasil memenangkan Pilkada 2024 di sejumlah wilayah besar, seperti Jawa Barat dan Jawa Timur dan Sumatra Utara. Terkecuali di Jakarta, di mana pasangan Ridwan Kamil-Suswono yang diusung KIM Plus kalah dari pasangan Pramono Anung-Rano Karno yang didukung PDIP.
KIM Plus bahkan memenangkan Pilkada di basis pendukung PDIP seperti Jawa Tengah dan Sumatra Utara.
Menurut berbagai analisis, kemenangan KIM Plus ini tak lepas dari hasil “endorsement” mantan Presiden Joko “Jokowi” Widodo, dan pastinya Presiden Prabowo. Di Pilgub Jawa Tengah, misalnya, Jokowi terang-terangan menyatakan dukungan terhadap paslon Ahmad Luthfi-Taj Yasin.
Meskipun saat Pilkada berlangsung Jokowi masih kader PDIP, popularitasnya ternyata bisa berdiri sendiri, dan bahkan “mengalahkan” PDIP yang merupakan partai terbesar di Indonesia saat ini.
Kemenangan koalisi Prabowo, dengan demikian bisa dikatakan sebagai kemenangan Jokowi. Kekalahan Ridwan-Suswono di Pilgub Jakarta pun bisa dikatakan kekalahan Jokowi dan Prabowo dalam melawan PDIP.
Dengan ominasi KIM Plus yang diiringi kekalahan PDIP di banyak daerah strategis, patut kita pertanyakan kembali keberlanjutan demokrasi yang sehat dan representatif.
Dengan dukungan finansial besar dan jaringan elite politik yang solid, kemenangan Jokowi-Prabowo dalam Pilkada 2024 tidak bisa lepas dari sorotan akan risiko konsentrasi kekuasaan yang dapat memperkuat oligarki di Indonesia.
Bahaya oligarki
Keberadaan koalisi KIM Plus dan kemenangannya di berbagai daerah sebenarnya tidak mengejutkan, mengingat struktur koalisi Prabowo yang sangat gemuk. Besarnya koalisi partai politik di sekeliling Prabowo membawa dukungan elite yang besar ke daerah-daerah.
Dengan mayoritas kandidat dari KIM Plus mendominasi provinsi-provinsi strategis, kecuali Jakarta, pertanyaan besar yang patut dimunculkan adalah bagaimana hal ini akan memengaruhi demokrasi Indonesia ke depan. Satu hal yang pasti, situasi ini akan semakin memperkuat oligarki.
Dengan mayoritas kepala daerah berasal dari koalisi yang sama, terdapat risiko konsentrasi kekuasaan[3] yang semakin besar pada satu kelompok politik tertentu. Kondisi ini dapat membatasi keberagaman dalam pengambilan keputusan publik[4] dan melemahkan prinsip checks and balances[5] yang menjadi inti demokrasi. Kepala daerah dari KIM Plus akan cenderung lebih loyal kepada partai atau koalisinya daripada kepada rakyat yang mereka wakili, sehingga potensi representasi rakyat dapat terabaikan.
Selain itu, keberhasilan KIM Plus juga berpotensi memperkuat oligarki politik. Kandidat-kandidat dari koalisi besar[6] seperti ini sering kali bergantung pada dukungan finansial dari oligarki[7], menciptakan hubungan erat antara modal dan politik. Ketergantungan ini berujung pada siklus kebijakan yang lebih menguntungkan kelompok elite ekonomi[8] dibandingkan masyarakat luas, sehingga memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi[9] dalam jangka panjang.
Ketergantungan pada koalisi besar juga dapat merusak kepercayaan publik[10] terhadap sistem politik. Pasalnya, pemilih merasa partisipasi mereka tidak signifikan karena hasil pemilu seolah sudah didikte oleh kekuatan elite dan modal besar.
Erosi kepercayaan ini berisiko menurunkan partisipasi pemilih pada pemilu berikutnya, sehingga akan melemahkan legitimasi demokrasi secara keseluruhan.
Lebih jauh, dominasi KIM Plus di banyak daerah menciptakan potensi monopoli kebijakan yang seragam tanpa mempertimbangkan kebutuhan lokal yang unik. Kepala daerah yang memprioritaskan agenda koalisi besar di atas kebutuhan spesifik masyarakat dapat mengurangi inovasi dan relevansi pemerintahan daerah, sehingga merugikan pembangunan yang berbasis komunitas.
Berharap pada perlawanan PDIP
Meski saat ini dominasi KIM Plus terlihat kokoh[11], beberapa skenario masa depan dapat mengubah dinamika politik di Indonesia. Salah satu kemungkinan adalah munculnya perlawanan yang lebih kuat dari partai oposisi seperti PDIP.
Kekalahan mereka di banyak provinsi tidak berarti kehilangan pengaruh sepenuhnya, mengingat partai ini memiliki jaringan yang solid[12] dan sejarah panjang[13] dalam politik nasional. Jika PDIP mampu membuktikan bahwa kebijakan kepala daerah dari KIM Plus tidak memberikan manfaat nyata bagi rakyat, narasi oposisi yang kuat dapat dikembangkan, memungkinkan mereka kembali merebut kepercayaan publik menjelang Pemilu 2029.
Selain itu, risiko fragmentasi internal dalam KIM Plus juga menjadi faktor penting. Koalisi yang terlalu besar seperti KIM Plus kerap menghadapi konflik internal[14] karena kepentingan partai-partai anggota yang beragam. Ketidakpuasan terhadap pembagian kekuasaan atau hasil kebijakan dapat memicu perpecahan, yang pada gilirannya membuka peluang bagi partai oposisi untuk kembali bersaing.
Di sisi lain, kekuatan kandidat independen juga berpotensi meningkat. Meskipun belum meraih kemenangan signifikan pada Pilkada 2024, keberhasilan pasangan Dharma Pongrekun-Kun Wardana di Pilgub Jakarta dalam meraih 10% suara menunjukkan adanya pemilih yang menginginkan alternatif di luar partai besar. Dengan strategi kampanye yang lebih efektif dan dukungan dari masyarakat sipil, kandidat independen bisa menjadi kekuatan baru yang signifikan di masa depan.
Pengaruh pemilih perkotaan juga menjadi faktor yang patut diperhitungkan. Jakarta sebagai anomali dalam Pilkada 2024, dengan PDIP tetap dominan, menunjukkan bahwa pemilih perkotaan memiliki pola pikir yang berbeda dari daerah lain.
Tingkat pendidikan yang lebih tinggi dan akses informasi yang luas membuat mereka cenderung lebih kritis terhadap elite politik, sehingga memilih berdasarkan rekam jejak dan kebijakan yang ditawarkan.
Jika pola ini menyebar ke daerah lain, dominasi koalisi besar seperti KIM Plus dapat terancam, memberikan ruang bagi perubahan yang lebih beragam dalam lanskap politik Indonesia.
References
- ^ 1.553 pasangan calon (paslon) kepala darah (nasional.kompas.com)
- ^ dominasi kemenangan Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus (ejournal.warunayama.org)
- ^ risiko konsentrasi kekuasaan (jurnal.stikes-ibnusina.ac.id)
- ^ membatasi keberagaman dalam pengambilan keputusan publik (journal.uii.ac.id)
- ^ melemahkan prinsip checks and balances (journal.undiknas.ac.id)
- ^ koalisi besar (journal.uii.ac.id)
- ^ dukungan finansial dari oligarki (ojs.bdproject.id)
- ^ menguntungkan kelompok elite ekonomi (www.j-las.lemkomindo.org)
- ^ memperburuk ketimpangan sosial dan ekonomi (jurnal.balitbangda.lampungprov.go.id)
- ^ merusak kepercayaan publik (repository.penerbiteureka.com)
- ^ terlihat kokoh (www.cnnindonesia.com)
- ^ jaringan yang solid (journal.atvi.ac.id)
- ^ sejarah panjang (ojs.unigal.ac.id)
- ^ konflik internal (ejournal.kopertais4.or.id)
Authors: Wawan Kurniawan, Peneliti di Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia, Universitas Indonesia
Read more https://theconversation.com/pilkada-2024-kemenangan-rakyat-atau-jokowi-prabowo-246138