Dari sosok pelanggar HAM, agamis, hingga ‘gemoy’ – cara Prabowo merekonstruksi citra politiknya untuk raih kekuasaan
- Written by Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro
Presiden Prabowo Subianto merupakan contoh sosok politik yang sebenarnya memiliki kemampuan adaptasi dan transformasi strategis. Sepanjang karier politiknya, Prabowo menunjukkan kemampuan luar biasa dalam merekonstruksi citra dirinya sesuai dengan kondisi politik yang berlaku.
Ini tampak pada bagaimana ia berhasil merekonstruksi citranya yang kerap dianggap pelanggar HAM berat masa lalu menjadi sosok “gemoy"–yang lekat dengan citra ramah.
Prabowo berhasil mengokohkan posisinya di kancah politik nasional hingga meraih kesuksesan politik. Ia menunjukkan kelihaian dalam menyesuaikan diri dengan perubahan konstelasi politik. Kelihaian Prabowo menyesuaikan diri dengan perubahan konstelasi politik mencerminkan perpaduan unik antara ambisi pribadi, keluwesan strategis, dan realitas politik kontemporer Indonesia.
Dari populis ke progresif
Pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 dan 2019, Prabowo tampil sebagai populis sayap kanan yang memiliki hubungan dekat dengan gerakan-gerakan Islamis serta kelompok konservatif.
Pada Pilpres 2014, Prabowo yang saat itu maju bersama Hatta Rajasa mendapat dukungan besar dari kelompok ulama[1], bahkan sering disebut-sebut oleh pendukungnya bahwa memilih Prabowo-Hatta merupakan jihad terhadap agama[2]. Sementara rivalnya, Joko "Jokowi” Widodo-Jusuf Kalla, yang kemudian mengalahkannya, didukung oleh mayoritas kelompok nasionalis progresif dan kalangan Islam moderat[3].
Pada Pilpres 2019, Prabowo semakin kuat didukung oleh kelompok sayap kanan dan lebih menunjukkan aspek religiusitas[4] dalam kampanyenya. Kala itu, politik elektoral Pilpres 2019 diwarnai oleh politik identitas yang membenturkan radikalisme Islam dengan moderatisme Islam[5]. Prabowo yang saat itu maju dengan Sandiaga Uno didukung oleh kelompok yang disebut representasi dari Islam radikal, seperti GNPF-MUI yang menaungi ormas Islam seperti FPI, FUI dan Laskar Jihad.
Sementara Jokowi, yang kembali mengalahkannya, didukung oleh Islam moderat seperti ormas Nahdlatul Ulama (NU), sebagian Muhammadiyah dan ormas moderat lainnya. Saat itu, kelompok Islam konservatif menyelipkan agenda “Islam politik”[6] melalui kubu Prabowo-Sandi.
Representasi ini cukup unik. Sebab, Prabowo tidak punya rekam jejak menjadi figur agama. Partai yang dipimpinnya pun, yakni Partai Gerindra, merupakan partai berhaluan nasionalis. Namun, ia berhasil membangun citra agamis[7] dengan tujuan meraih suara penduduk Indonesia yang sebagian besar adalah pemeluk Islam.
Namun, menjelang Pilpres 2024, ia menampilkan diri sebagai figur yang lebih moderat dan progresif. Dengan meredupnya isu politik identitas berbau agama, tantangan Prabowo dalam Pilpres kali ini adalah “menghapus” citranya sebagai pelanggar HAM masa lalu.
Pada masa pemerintahan Orde Baru di bawah Suharto, Prabowo diyakini terlibat dalam pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1998[8]. Ia disebut mendalangi penculikan dan penyiksaan terhadap aktivis 1998 pro-demokrasi.
Pada Pilpres 2024, beberapa aktivis 1998 ditarik oleh Prabowo ke dalam kubunya, bahkan diberi posisi penting di pemerintahan. Ambil contoh Mugiyanto Sapin[9], yang sekarang menjadi Wakil Menteri Hak Asasi Manusia (HAM). Ia dulu memulai karier sebagai aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID) dan pernah diculik oleh Tim Mawar Komando Pasukan Khusus (Kopassus), satuan elite TNI yang saat itu dipimpin oleh Prabowo sebagai Komandan Jenderal.
Ada beberapa aktivis lain yang sekarang duduk di posisi penting di kabinet Prabowo. Sebut saja Fahri Hamzah yang sekarang menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Agus Jabo Priyono yang kini jadi Wakil Menteri Sosial.[10]
Walaupun Prabowo Subianto pernah menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa 1998[11], termasuk tuduhan pelanggaran HAM berat yang kerap diarahkan kepadanya, permintaan maaf tersebut disampaikan dalam konteks politik, khususnya menjelang pemilu, terutama ketika citra dan elektabilitas menjadi faktor krusial.
Ini menjadi suatu fenomena yang mencerminkan kompleksitas dinamika politik Indonesia sekaligus memperlihatkan kemampuan Prabowo dalam merekonsiliasi konflik masa lalu untuk meraih kekuasaan.
Publik dipaksa ‘move on’
Naiknya Prabowo sebagai Presiden dengan raihan suara 58,59%[12] dari total suara sah nasional, dan dukungan koalisi gemuk dari sembilan partai politik[13], serta kontruksi citra “gemoy” selama masa kampanye membuat sejarah kelamnya sebagai perwira militer pelanggar HAM seolah makin terlupakan.
Masa lalunya bahkan dianggap tidak relevan untuk diungkit kembali [14]. Publik dipaksa untuk move on[15]. Terlebih, para aktivis prodemokrasi kini menjadi bagian dari pemerintah. Dalam aspek ini, Prabowo dapat dikatakan telah berhasil mengubah citranya.
Strategi ini membuahkan hasil. Memori publik atas pelanggaran HAM perlahan terkikis[16], dan Prabowo berhasil mengukuhkan dirinya sebagai figur sentral di tengah bayangan tuduhan sejarah.
Citra Prabowo di ranah global
Di tingkat internasional, Prabowo telah meluncurkan sejumlah inisiatif yang bertujuan menampilkan dirinya sebagai pemimpin progresif yang peduli terhadap HAM dan isu-isu sosial.
Baru-baru ini, melalui Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, pemerintah Indonesia mengumumkan sebuah rencana amnesti yang mencakup pemberian grasi kepada sejumlah narapidana[17], termasuk mereka yang menderita penyakit kronis[18], penyandang disabilitas, pengguna narkotika yang semestinya menjalani rehabilitasi, serta individu yang terlibat dalam kasus separatisme nonkekerasan di Papua[19].
Inisiatif ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, mengurangi tekanan pada sistem peradilan dan pemasyarakatan. Kedua, membangun citra pemerintah sebagai pihak yang peduli terhadap kelompok rentan dan perlindungan HAM.
Pemberian amnesti kepada narapidana yang mengidap penyakit kronis dan pecandu narkotika menandai perubahan paradigma dibandingkan kebijakan Jokowi yang menerapkan pendekatan keras dengan mengeksekusi sejumlah terpidana mati.
Namun, yang patut diperhatikan adalah dimasukkannya narapidana kasus nonkekerasan terkait ujaran atau penghinaan dalam isu Papua ke dalam rencana amnesti ini. Kebijakan ini, bersama dengan keterbukaan terhadap kerja sama internasional dalam hal pemindahan narapidana, menunjukkan upaya Prabowo untuk mengadopsi pendekatan diplomatik dan damai dalam menangani salah satu isu paling sensitif terkait HAM di Indonesia.
Contoh konkret dari strategi ini adalah pemulangan lima warga negara Australia[20] yang terlibat dalam kasus penyelundupan narkoba Bali Nine.
Keputusan untuk memungkinkan mereka melanjutkan program rehabilitasi di Australia memperkuat hubungan bilateral kedua negara sekaligus menegaskan keinginan Prabowo untuk menjalankan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan berorientasi pada kerja sama. Mengingat pentingnya Australia sebagai mitra strategis kawasan, langkah ini memiliki nilai simbolis dan politis yang besar.
Kasus lain yang tak kalah penting adalah Mary Jane Veloso, warga negara Filipina yang dijatuhi hukuman mati karena kasus penyelundupan narkoba, yang telah lama menjadi pusat perdebatan diplomatik.
Kesepakatan terbaru antara Indonesia dan Filipina terkait pemulangannya merupakan keberhasilan diplomatik yang signifikan setelah bertahun-tahun negosiasi dan tekanan internasional. Keputusan ini tidak hanya memperbaiki hubungan bilateral tetapi juga memperkuat kohesi regional di ASEAN, tetapi juga menegaskan komitmen Indonesia dalam mematuhi perjanjian multilateral.
Secara keseluruhan, evolusi politik luar negeri Prabowo mencerminkan keseimbangan antara pragmatisme real politik dan kebutuhan untuk membangun kembali citra internasionalnya. Karena itu, masa depan politiknya akan sangat ditentukan oleh kemampuannya menjaga keseimbangan antara kepentingan domestik dan tuntutan dunia internasional yang semakin kompleks.
References
- ^ dukungan besar dari kelompok ulama (www.antaranews.com)
- ^ jihad terhadap agama (sultra.antaranews.com)
- ^ nasionalis progresif dan kalangan Islam moderat (dinastirev.org)
- ^ aspek religiusitas (ejournal2.undip.ac.id)
- ^ radikalisme Islam dengan moderatisme Islam (journal.iain-manado.ac.id)
- ^ “Islam politik” (journal.iain-manado.ac.id)
- ^ membangun citra agamis (digilib.uinkhas.ac.id)
- ^ dalam pelanggaran HAM yang terjadi pada tahun 1998 (www.amnestyusa.org)
- ^ Mugiyanto Sapin (www.tempo.co)
- ^ Fahri Hamzah yang sekarang menjabat Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman dan Agus Jabo Priyono yang kini jadi Wakil Menteri Sosial. (theconversation.com)
- ^ menyampaikan permintaan maaf terkait peristiwa 1998 (www.youtube.com)
- ^ suara 58,59% (nasional.kompas.com)
- ^ dari sembilan partai politik (www.kompas.com)
- ^ Masa lalunya bahkan dianggap tidak relevan untuk diungkit kembali (www.benarnews.org)
- ^ move on (theconversation.com)
- ^ pelanggaran HAM perlahan terkikis (theconversation.com)
- ^ sejumlah narapidana (www.kompas.id)
- ^ penyakit kronis (jakartaglobe.id)
- ^ separatisme nonkekerasan di Papua (jakartaglobe.id)
- ^ pemulangan lima warga negara Australia (nasional.kompas.com)
Authors: Aniello Iannone, Indonesianists | Research Fellow at the research centre Geopolitica.info | Lecturer, Universitas Diponegoro