Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Hidup di luar negeri penuh tantangan, ini 3 hal yang perlu kamu tahu sebelum #KaburAjaDulu

  • Written by Januari Pratama Nurratri Trisnaningtyas, Dosen, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur
Hidup di luar negeri penuh tantangan, ini 3 hal yang perlu kamu tahu sebelum #KaburAjaDulu

Dalam 14 tahun terakhir, jumlah diaspora Indonesia di luar negeri meningkat hampir 40%, dari 3,35 juta pada 2010[1] menjadi 4,69 juta pada 2024[2].

Tren migrasi semakin beragam, didorong oleh banyaknya jalur yang bisa ditempuh untuk menetap di luar negeri. Ada yang memilih “kabur” lewat jalur pendidikan, baik menggunakan beasiswa maupun biaya sendiri. Beberapa lainnya menetap permanen di luar negeri setelah menikah dengan warga negara asing (WNA).

Program visa liburan kerja[3] juga menjadi pilihan populer bagi kaum muda sebagai batu loncatan meniti karier di negara maju seperti Australia, Jepang, Selandia Baru, dan Eropa. Sementara itu, menjadi pekerja migran informal juga jadi pilihan bagi kelas menengah ke bawah untuk mencari penghidupan yang lebih layak, dengan bekerja di sektor jasa seperti perhotelan, perkapalan, dan pekerjaan domestik.

Belakangan, fenomena pindah dan menetap di luar negeri ini ramai diperbincangkan di media sosial lewat #kaburajadulu. Tagar ini adalah respons publik atas berbagai ketidakpastian di dalam negeri.

Bagi sebagian orang, migrasi bukan hanya sekadar mencari kesempatan atau peluang baru, tetapi juga bentuk keputusasaan terhadap kondisi dalam negeri yang dianggap tidak menjanjikan buat masa depan. Narasi #kaburajadulu menunjukkan bahwa migrasi kini bukan hanya pilihan elite, tetapi menjadi opsi realistis bagi lebih banyak orang untuk mencari kesejahteraan.

Namun, sebelum benar-benar memilih jalan #kaburajadulu, ada baiknya kita memahami berbagai konsekuensi dari tinggal dan menetap di luar negeri.

Tantangan dan konsekuensi

Dibalik optimisme migrasi, ada tantangan besar yang kerap luput dari pertimbangan.

1. Modal awal yang besar

Salah satu hambatan terbesar bagi mereka yang pindah ke luar negeri adalah modal awal yang tidak sedikit. Ini karena beberapa negara mengharuskan pelamar visa memiliki tabungan minimum.

Australia[4], misalnya, mensyaratkan minimal $5000 AUD atau setara dengan Rp52 juta sebagai bukti keuangan. Sementara untuk Eropa (Schengen)[5], pelamar visa wajib memiliki dana mengendap selama 28 hari sebesar 450 euro atau setara Rp7,5 juta rupiah.

Selain biaya visa, ada pula asuransi kesehatan yang wajib dibayar, serta pengeluaran lain seperti tiket pesawat, akomodasi, dan biaya hidup sehari-hari yang bisa sangat mahal, terutama di negara-negara maju seperti Kanada, Singapura, atau Inggris.

2. Kepastian karier

Selain masalah finansial, tantangan lain adalah ijazah dan kualifikasi akademik yang tidak selalu diakui di luar negeri. Beberapa profesi seperti dokter, psikolog, dan insinyur[6] membutuhkan sertifikasi tambahan, yang tentu biayanya tidak murah. Hal ini membuat sebagian orang terpaksa mengawali karier di sektor blue collar[7] (informal atau pekerja kasar).

Bagi mereka yang datang dengan visa nonpermanen atau tanpa keahlian khusus, pekerjaan yang tersedia sering kali rentan terhadap eksploitasi, seperti jam kerja yang panjang, gaji rendah, atau kondisi kerja yang berat. Bahkan, dalam beberapa kasus, pekerja migran berisiko tinggi mengalami ancaman keamanan personal, penipuan kerja, hingga perdagangan manusia.

3. ‘Culture shock’

Perbedaan bahasa dan budaya juga sering menjadi kendala besar bagi mereka yang tidak fasih berbahasa asing. Di negara seperti Jepang, Taiwan, atau Jerman, rata-rata pekerjaan profesional membutuhkan sertifikasi bahasa resmi untuk bisa bekerja.

Adaptasi terhadap budaya kerja dan potensi diskriminasi juga menjadi tantangan tersendiri. Di Jepang, misalnya, terkenal dengan struktur hierarki dan kedisiplinan yang ketat, yang tentunya sangat berbeda dari Indonesia.

Selain itu, di kawasan yang skeptis terhadap migran seperti Uni Eropa atau Amerika Serikat (AS)[8], diskriminasi berbasis ras, warna kulit, dan agama masih kerap terjadi. Hal ini seringkali menyulitkan pendatang dalam mencari pekerjaan.

Jangan sampai ada ‘brain drain’

Terlepas dari berbagai tantangan yang harus dihadapi untuk #kaburajadulu, kondisi Indonesia saat ini memang tengah berada di persimpangan jalan.

Saat ini, semakin banyak tenaga terampil yang mulai berpikir untuk meninggalkan negara karena ketidakpastian ekonomi dan kurangnya penghargaan terhadap profesional.

Banyak dokter dan perawat Indonesia lebih memilih bekerja di Singapura[9] atau Timur Tengah[10] karena gaji dan fasilitas yang jauh lebih baik. Dosen dan peneliti juga banyak yang memilih menetap di luar negeri setelah menyelesaikan studi karena minimnya insentif akademik[11] di Indonesia.

Jika pemerintah gagal menciptakan lingkungan yang mendukung bagi pekerja profesional, Indonesia bisa mengalami brain drain, yakni kondisi ketika negara kehilangan tenaga terampil dalam jumlah masif. Hal ini tentu akan sangat merugikan.

Dampak negatifnya mulai dari krisis tenaga kerja terampil, pelambatan inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi, penurunan kualitas layanan publik, hingga ketergantungan pada tenaga asing, serta menurunnya tingkat kepercayaan kepada pemerintah.

Kita bisa berkaca pada India[12] yang kekurangan tenaga medis karena dua pertiga dokternya memilih berkarier di negara maju, atau Venezuela[13] yang 40% dosennya eksodus, membuat hampir seluruh perguruan tinggi terancam tutup.

Indonesia sendiri mengalami brain drain di sektor kedirgantaraan[14] pascareformasi, dengan banyaknya insinyur yang melanjutkan karier di luar negeri.

Ketidakstabilan politik yang berlanjut pascareformasi menyebabkan puncak brain drain pada 2007 hingga mencapai indeks 7,5. Pada 2024, Indonesia menempati peringkat 88[15] dari 175 negara dengan indeks 5,4. Meskipun sudah menurun secara signifikan sejak 2018, angka ini masih berada di atas indeks rata-rata dunia[16], yaitu 4,98.

Artinya, posisi Indonesia memang masih relatif aman, namun risiko kehilangan sumber daya manusia terampil cukup besar apabila kesejahteraan di dalam negeri tidak membaik. Kini terlihat dari maraknya #kaburajadulu.

Indonesia Human Flight and Brain Drain Index 2017-2024.

Pemerintah harus bertindak serius

Narasi #kaburajadulu seharusnya menjadi wake up call bagi pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah bijak dalam menghadapi potensi brain drain. Belajar dari negara-negara yang berhasil mengatasi seperti Korea Selatan[17] dan Taiwan[18], diperlukan strategi jitu untuk menarik diaspora kembali ke negara asal.

Korea Selatan[19], misalnya, berhasil membalikkan keadaan dalam tiga dekade dengan memberikan jaminan kesejahteraan serta pembangunan infrastruktur riset dan teknologi untuk memfasilitasi peneliti dan insinyur yang kembali ke negaranya.

Strategi serupa bisa dilakukan oleh pemerintah Indonesia, salah satunya dengan memprioritaskan pendidikan dan kesehatan, menjamin kesejahteraan dan peluang karier bagi tenaga terampil, serta merancang program repatriasi melalui industri-industri strategis.

References

  1. ^ 3,35 juta pada 2010 (e-journal.unair.ac.id)
  2. ^ 4,69 juta pada 2024 (www.kpu.go.id)
  3. ^ Program visa liburan kerja (www.australia.com)
  4. ^ Australia (indonesia.embassy.gov.au)
  5. ^ Eropa (Schengen) (jakarta.diplo.de)
  6. ^ dokter, psikolog, dan insinyur (www.abc.net.au)
  7. ^ blue collar (www.kitalulus.com)
  8. ^ Uni Eropa atau Amerika Serikat (AS) (onlinelibrary.wiley.com)
  9. ^ Singapura (www.kompas.com)
  10. ^ Timur Tengah (www.bp2mi.go.id)
  11. ^ minimnya insentif akademik (www.tempo.co)
  12. ^ India (www.statista.com)
  13. ^ Venezuela (ihe.bc.edu)
  14. ^ sektor kedirgantaraan (historia.id)
  15. ^ peringkat 88 (ugm.ac.id)
  16. ^ indeks rata-rata dunia (www.theglobaleconomy.com)
  17. ^ Korea Selatan (citeseerx.ist.psu.edu)
  18. ^ Taiwan (www.migrationpolicy.org)
  19. ^ Korea Selatan (horizon.documentation.ird.fr)

Authors: Januari Pratama Nurratri Trisnaningtyas, Dosen, Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Jawa Timur

Read more https://theconversation.com/hidup-di-luar-negeri-penuh-tantangan-ini-3-hal-yang-perlu-kamu-tahu-sebelum-kaburajadulu-250146

Magazine

Tren #KaburAjaDulu: Peringatan bagi pemerintah sebelum kehilangan generasi berkualitas

Dua perempuan membawa tas dan koper ketika berada di bandara untuk melakukan perjalanan.Shine Nucha/ShutterstockDalam beberapa hari terakhir, tagar #KaburAjaDulu meramaikan jagat media sosial Indonesi...

Riset baru: Laba-laba ternyata ‘mencium bau’ dengan kakinya

Laba-laba taman jantan, Araneus diadematus.Robert Adami/ShutterstockLaba-laba telah hidup berdampingan dengan manusia selama ribuan tahun, tapi masih banyak hal yang belum kita ketahui tentang mereka...

Hidup di luar negeri penuh tantangan, ini 3 hal yang perlu kamu tahu sebelum #KaburAjaDulu

Toga kelulusan pada model globe dunia sebagai ilustrasi pelajar yang menempuh pendidikan di luar negeri.smolaw/ShutterstockDalam 14 tahun terakhir, jumlah diaspora Indonesia di luar negeri meningkat h...