3 alasan mengapa tes kehamilan pada remaja di sekolah harus dilarang
- Written by Andhika Ajie Baskoro, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Awal tahun 2025, kebijakan salah satu SMA di Cianjur, Jawa Barat, menggemparkan publik karena mewajibkan siswa menjalani tes kehamilan[1] selepas libur semester. Pihak sekolah mengeklaim kebijakan yang telah berjalan selama dua tahun ini bertujuan mencegah pergaulan bebas di kalangan siswa.
Kebijakan ini menuai kecaman publik. Kementerian Kesehatan[2] (Kemenkes) menilai kebijakan ini berpotensi menimbulkan permasalahan kesehatan mental siswa, terlebih bagi mereka yang hasil tesnya positif. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI)[3] juga menyayangkan karena kebijakan ini justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.
Tes kehamilan semacam ini sangat tidak dianjurkan untuk dilakukan, terlebih oleh institusi pendidikan. Dampaknya cukup besar bagi kesehatan mental dan psikososial para siswa, terutama jika dilakukan tanpa persetujuan mereka.
Alasan tes kehamilan siswa harus dilarang
Setidaknya terdapat tiga alasan mengapa pemaksaan tes kehamilan di sekolah bukanlah solusi, dan sebaiknya dilarang. Pendekatan ini menciptakan ketakutan, tekanan psikologis, dan diskriminasi, yang berujung pada semakin sulitnya remaja perempuan mengakses pendidikan.
1. Melanggar privasi
Kewajiban tes kehamilan di sekolah menimbulkan kekhawatiran terkait pelanggaran privasi dan hak asasi remaja perempuan. Pemeriksaan ini tidak hanya melanggar hak individu atas tubuh mereka, tetapi juga menciptakan atmosfer ketidakpercayaan dalam lingkungan pendidikan.
Remaja seyogianya berhak atas ruang aman untuk belajar, tanpa tekanan dan intervensi yang merendahkan martabat mereka. Oleh karena itu, kebijakan tes kehamilan ini dinilai bertentangan dengan prinsip dasar perlindungan privasi dan hak atas kesehatan reproduksi[4] yang seharusnya mengedepankan edukasi, bukan pengawasan yang bersifat pemaksaan.
2. Mengekang kontrol tubuh individu
Kebijakan tes kehamilan di sekolah mencerminkan bentuk represifitas institusi pendidikan yang mengontrol tubuh dan moral siswa, alih-alih memberikan solusi berbasis hak dan kesehatan. Pendekatan ini tidak hanya mengabaikan akar permasalahan—seperti kurangnya akses terhadap pendidikan seksualitas komprehensif dan layanan kesehatan reproduksi ramah remaja—tetapi juga memperkuat stigma terhadap kehamilan remaja.
Penelitian[5] menunjukkan bahwa pengetahuan remaja tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi masih rendah, yang berkontribusi pada tingginya angka kehamilan tidak diinginkan. Dengan menempatkan siswa sebagai objek pengawasan pemerintah, kebijakan ini justru memperdalam ketimpangan gender dan menormalisasi kontrol negara terhadap tubuh perempuan sejak usia muda.
3. Merusak mental siswa
Kewajiban tes kehamilan juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental[6] siswa karena berisiko menimbulkan rasa malu, cemas, hingga depresi yang dapat membebani kesehatan mental mereka.
Selain itu, siswa terancam menerima diskriminasi, dipermalukan, dan memperoleh stigma negatif dari sekitarnya—terutama ketika identitas mereka terbuka ke publik.
Meskipun sekolah memiliki otoritas terkait pencegahan kehamilan di lingkungan pendidikan, berbagai pakar psikologi menyatakan bahwa pelaksanaan tes tetap harus dilakukan atas persetujuan siswa.
Untuk menghindari dampak negatif[7], cara paling sederhana dan efektif adalah memastikan remaja memiliki kesempatan untuk berdiskusi secara pribadi. Hal ini dilakukan dengan menyertakan izin orang tua dalam format persetujuan siswa.
Pasalnya, pengujian kehamilan pada anak perempuan berusia 13-15 tahun memerlukan persetujuan orang tua dan keterlibatan aktif anak dalam proses pengambilan keputusan (persetujuan). Sebab, orang tua dan anak perlu berdiskusi mengenai tindakan yang akan diambil apabila hasil tes positif.
Fokus pada pendidikan seksualitas komprehensif
Alih-alih memberikan pengawasan represif yang mempermalukan siswa, sekolah seharusnya berperan sebagai tempat yang mendukung perkembangan remaja, termasuk dalam menghadapi tantangan seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Salah satu solusi yang harus dipertimbangkan pemerintah bukanlah tes kehamilan wajib, melainkan pendidikan seksualitas yang komprehensif.
Pendidikan seksualitas komprehensif berbeda dengan pendekatan kebijakan yang hanya berfokus pada anatomi, fungsi anggota tubuh, ataupun kesehatan reproduksi. Pendidikan seksualitas komprehensif memberikan perspektif yang lebih luas dengan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran mengenai seksualitas berdasarkan tahapan usia, nilai agama, dan budaya.
Secara spesifik, pendidikan seksual komprehensif memperkenalkan kesadaran tentang gender dan hak-hak individu untuk meningkatkan peran masing-masing dalam upaya pencegahan perilaku seksual berisiko dan kekerasan seksual.
Selain itu, pendidikan seksual komprehensif[8] ditujukan untuk meningkatkan keterampilan remaja maupun anak-anak dalam berkomunikasi dan membangun hubungan yang sehat, baik dengan teman sebayanya, orang tua, dan keluarga. Hal ini melatih anak dan remaja dalam mengekspresikan dirinya dengan cara yang baik, di samping menumbuhkan rasa aman dan percaya diri.
Pendidikan ini juga memungkinkan remaja menentukan pilihan yang bertanggung jawab, termasuk dengan siapa dan bagaimana mereka bergaul dan menjalin hubungan.
Jika tujuan utamanya adalah mewujudkan generasi yang lebih sadar dan bertanggung jawab, maka pendekatan yang diskriminatif dan represif harus ditinggalkan dan digantikan dengan strategi yang berorientasi pada pemberdayaan dan perlindungan hak.
Pendekatan berbasis edukasi melalui pendidikan seksual komprehensif menjadi cara yang jauh lebih efektif untuk membekali remaja dengan pemahaman yang benar mengenai seksualitas, kesehatan reproduksi, dan tanggung jawab sosial.
References
- ^ tes kehamilan (www.cnnindonesia.com)
- ^ Kementerian Kesehatan (www.cnnindonesia.com)
- ^ Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (www.detik.com)
- ^ hak atas kesehatan reproduksi (www.hrw.org)
- ^ Penelitian (prosiding.respati.ac.id)
- ^ kesehatan mental (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ menghindari dampak negatif (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ pendidikan seksual komprehensif (www.unfpa.org)
Authors: Andhika Ajie Baskoro, Researcher, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)