‘Negara +62’: Kode telepon global yang kini jadi narasi kritik sosial
- Written by Randy Ridwansyah, Dosen, Universitas Padjadjaran

Istilah “+62” awalnya dikenal sebagai kode telepon internasional Indonesia, tetapi kini telah berevolusi menjadi meme nasional[1], penanda identitas digital yang unik.
Dalam dialektika media sosial, istilah “negara +62” sering digunakan dalam konteks humor politik dan kritik sosial, bahkan sering disandingkan dengan istilah lain seperti “negara ber-flower” (berkembang), atau referensi budaya populer[2] seperti negeri Afro-futuristik “Wakanda” dari Black Panther atau desa ninja fiktif “Konoha” dari anime Naruto.
Meski berkonotasi humoris, ini menunjukkan bagaimana ruang digital telah menjadi arena performatif dari identitas nasional dan praktik kewargaan digital. Ini termasuk dalam nasionalisme banal[3], yaitu upaya reproduksi nasionalisme yang sering kali tidak disadari, seperti halnya menyanyikan lagu kebangsaan pada pembukaan acara resmi atau adanya gambar pahlawan nasional di uang kertas.
Melalui humor yang seolah mencela diri sendiri, warganet Indonesia sebenarnya secara kolektif mengungkapkan rasa frustrasi, terkadang aspirasi, dan seringkali mengisyaratkan inferioritas terhadap negara-negara lain[4] yang kedudukannya dipandang lebih tinggi dalam stratifikasi global.
Pelabelan “negara +62” bukan sekadar kelakar, tetapi narasi kolektif dalam merespons tegangan sosial. Ia juga adalah upaya untuk memahami dan menegosiasikan nasionalisme terhadap narasi global.
Kode +62 dan geopolitik global
Kode awalan +62 ditetapkan untuk Indonesia pada tahun 1960-an oleh International Telecommunication Union[5] (ITU), di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai bagian dari alokasi kode telepon internasional.
Dalam sistem ini, ITU membagi dunia menjadi sembilan zona wilayah. Zona 1 diperuntukkan bagi Amerika Serikat (AS) dan Kanada, yang diberi kode +1, Afrika +2, Eropa +3 dan +4. Sementara negara Asia Tenggara dan Pasifik, termasuk Indonesia, mendapatkan kode +6, dan seterusnya hingga Zona 9.
Keputusan historis ITU ini mencerminkan pemetaan dunia pasca-Perang Dunia II[6]. Saat itu, kawasan Asia Tenggara dikelompokkan terpisah dari orbit ekonomi Asia Timur (Zona 8) yang didominasi kekuatan seperti Jepang dan Cina.
Dalam sejarahnya, sistem alokasi telepon internasional tidak hanya didasarkan pada pembagian wilayah geografis dan kebutuhan teknis, tetapi juga mencerminkan jejak kolonialisme dan sejarah dinamika geopolitik[7] dalam sistem telekomunikasi global. Misalnya, Zona 1, yang dikenal sebagai North American Numbering Plan[8] (NANP), awalnya hanya mencakup AS dan Kanada.
Namun, pada 1958, beberapa wilayah yang berada di Samudra Hindia Britania Raya, seperti Bahama dan Barbados, masuk ke dalam Zona 1 atas permintaan British Colonial Office[9]. Keputusan ini didasari fakta bahwa infrastruktur telekomunikasi negara-negara tersebut dikelola oleh Kanada, yang saat itu masih menjadi bagian dari Imperium Britania melalui sistem telegraf All Red Line[10], yang kemudian berlanjut ke era telepon.
Juga di bawah ITU, dengan kuasa segelintir perusahaan teknologi global, internet mewarisi struktur dan pola kolonial serupa[11]. Ia berpotensi mereproduksi ketimpangan yang sudah ada, atau membuka kemungkinan baru untuk memahami dan menegosiasikan posisi Indonesia di dunia.
Media sosial dan dinamika digital
Pada tahun 2024, Indonesia memiliki sekitar 185,3 juta pengguna internet dan 167 juta pengguna media sosial aktif[12]. Platform seperti Instagram dan TikTok menjadi ruang penting untuk kewargaan digital, dengan 66,2% generasi muda[13] memilih Instagram sebagai sumber informasi politik dan TikTok menjadi platform berpengaruh dalam pemilihan presiden tahun 2024.
Media sosial sering disebut sebagai ruang publik yang mendukung kebebasan berekspresi atau “digital town square”[14] sebagaimana dibayangkan Elon Musk.
Namun, kenyataannya lebih kompleks. Platform media sosial dimiliki oleh korporasi yang tentunya berorientasi komersial. Algoritme dan kebijakan operasional mereka tidaklah netral[15], sebaliknya, dirancang memprioritaskan keterlibatan (engagement) dibandingkan keragaman perspektif, yang memengaruhi bagaimana informasi disebarluaskan dan diterima.
Di X, misalnya, cuitan yang bernada agonistik[16] (perilaku yang meliputi sikap untuk berkelahi, melarikan diri, atau menyerang) atau konfrontatif cenderung mendapatkan lebih banyak engagement, baik dalam bentuk reply, like, atau repost. Mekanisme ini berkontribusi terhadap pembentukan suatu wacana, termasuk pelabelan “negara +62” atau penyandingan Indonesia dengan “Wakanda” dan “Konoha.”
Cuitan ini lebih sering muncul dalam bentuk kritik tajam terhadap pemerintah.
Atau humor sarkastik dan sentimen pesimistis tentang kondisi negara.
Ada pula perbandingan hiperbolis antara Indonesia dengan negara lain.
Pada gilirannya, secara tidak langsung praktik ini mengkonstruksi wacana ke-Indonesiaan di ruang digital, yang muncul dari tegangan sosiopolitik dan mekanisme algoritmik. Alhasil, perusahaan teknologi memegang peran dalam memoderasi arus wacana, yang dahulu identik dengan fungsi negara.
Dari narasi ‘mooi indie’ hingga maskulinitas Orde Baru
Pelabelan semacam ini sebenarnya sudah terjadi sejak era kolonial. Raffles, dalam bukunya The History of Java[17], menggambarkan masyarakat pribumi Hindia Belanda (sebelum menjadi Indonesia) yang berperilaku santai dan tidak tergesa-gesa. Raffles berteori bahwa ini ada kaitannya dengan iklim wilayah tropis, yang mengondisikan perilaku-perilaku semacam itu.
Sebaliknya, Multatuli dalam novelnya Max Havelaar[18] menyebutnya “untaian zamrud khatulistiwa—menggambarkan letak geografis Indonesia dan alam tropisnya yang berada di garis ekuator.
Kemudian, pada masa Orde Baru, Indonesia dijuluki sebagai salah satu macan Asia[19], mencerminkan pertumbuhan ekonominya, dengan Presiden Suharto sebagai "Bapak Pembangunan"—citraan yang sarat ideologi patriarki[20]. Gelar ini mengibaratkan negara sebagai rumah tangga, dengan presiden sebagai "bapak” atau kepala keluarga yang memiliki otoritas paternalistik atas rakyatnya.
Pencapaian teknologi pada masa itu juga dilingkupi citraan nasionalis dan maskulin. Contohnya adalah satelit domestik pertama Indonesia yang dinamai Palapa—mengacu pada sumpah patih Gajah Mada—yang melambangkan ambisi menyatukan nusantara.
Demikian pula, pesawat terbang pertama buatan IPTN, yaitu N-250 Gatotkaca, mengambil nama salah satu tokoh pewayangan dari epos Mahabharata—yang digambarkan sebagai kesatria sakti.
Citra maskulin menjadi bagian dari konstruksi nasionalisme Indonesia di masa Orde Baru. Sebab, nasionalisme bukanlah sesuatu yang ada secara inheren, melainkan dibangun melalui simbol-simbol dan narasi kolektif[21] yang menyatukan individu-individu yang tidak saling mengenal secara langsung.
Simbol-simbol seperti “Bapak Pembangunan,” satelit Palapa dan pesawat N-250 Gatotkaca merupakan alat ideologis yang membentuk bagaimana nasionalisme dipahami dalam imajinasi kolektif.
Berbeda dengan masa Orde Baru—ketika nasionalisme dikonstruksi secara top-down—kini nasionalisme dipraktikan dari akar rumput di media sosial. Meski demikian, rancang bangun ruang digital tidaklah bebas nilai[22]. Kepentingan perusahaan digital global menjadi perantara antara warga dan negara, dengan algoritme yang memediasi arus wacana publik, sehingga narasi yang berkembang di dalamnya tidak sepenuhnya netral dan representatif.
Namun, karena media sosial kerap dianggap sebagai cerminan jernih opini publik, pemerintah bisa keliru menafsirkannya sebagai representasi mayoritas, yang berujung pada kebijakan reaktif dan represif[23].
Terlepas dari realitas tersebut, penggunaan humor sarkastik seperti “Negara +62” memang bisa dilihat sebagai bentuk dari self-censorship[24] untuk menghindari risiko hukum, seperti penerapan UU ITE. Namun, lebih dari itu, ia adalah juga bagian dari narasi kolektif di ruang digital—cara warganet menegosiasikan nasionalisme, menyuarakan kritik terhadap negara, dan merawat harapan.
References
- ^ meme nasional (www.thejakartapost.com)
- ^ referensi budaya populer (www.kompasiana.com)
- ^ nasionalisme banal (blogs.lse.ac.uk)
- ^ inferioritas terhadap negara-negara lain (www.cnbcindonesia.com)
- ^ International Telecommunication Union (www.itu.int)
- ^ pemetaan dunia pasca-Perang Dunia II (www.tandfonline.com)
- ^ jejak kolonialisme dan sejarah dinamika geopolitik (academic.oup.com)
- ^ North American Numbering Plan (www.nanpa.com)
- ^ British Colonial Office (www.tate.org.uk)
- ^ All Red Line (blogs.mhs.ox.ac.uk)
- ^ struktur dan pola kolonial serupa (theconversation.com)
- ^ 185,3 juta pengguna internet dan 167 juta pengguna media sosial aktif (datareportal.com)
- ^ 66,2% generasi muda (databoks.katadata.co.id)
- ^ “digital town square” (www.npr.org)
- ^ tidaklah netral (www.bbc.com)
- ^ cuitan yang bernada agonistik (www.tandfonline.com)
- ^ The History of Java (www.gutenberg.org)
- ^ Max Havelaar (archive.org)
- ^ macan Asia (katadata.co.id)
- ^ sarat ideologi patriarki (www.taylorfrancis.com)
- ^ dibangun melalui simbol-simbol dan narasi kolektif (www.taylorfrancis.com)
- ^ tidaklah bebas nilai (www.siliconrepublic.com)
- ^ kebijakan reaktif dan represif (www.hukumonline.com)
- ^ self-censorship (works.swarthmore.edu)
Authors: Randy Ridwansyah, Dosen, Universitas Padjadjaran
Read more https://theconversation.com/negara-62-kode-telepon-global-yang-kini-jadi-narasi-kritik-sosial-247222