Riset temukan masyarakat cenderung toleran terhadap korupsi. Ini mempersulit pemberantasannya
- Written by Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga

Praktik korupsi terus-menerus terjadi hampir di seluruh lembaga negara, baik di ranah eksekutif[1], legislatif[2], maupun yudikatif[3].
Belakangan, kasus mega korupsi Pertamina[4] dan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI)[5] yang terekspos semakin mengungkap betapa masif dan terstrukturnya praktik korupsi di Indonesia.
Patut disadari bahwa korupsi dapat tumbuh subur bukan hanya disebabkan oleh kelemahan sistem hukum dan pengawasan, melainkan juga toleransi kita terhadap sikap koruptif, sebagaimana disampaikan pada rilis riset Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG) tahun 2025[6].
Riset pada tahun 2024[7] mengungkap, semakin sering masyarakat terpapar praktik korupsi dalam kehidupan sehari-hari, semakin besar kemungkinan mereka menganggapnya sebagai hal biasa yang dapat dimaklumi, hingga akhirnya menjadi bagian dari norma sosial. Bahkan, studi lainnya di tahun 2023 menemukan bahwa[8] warga negara Indonesia cenderung lebih menormalisasi perilaku korupsi daripada warga negara lain.
Tahun 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan survei Penilaian Integritas (SPI)[9] untuk melihat tanggapan masyarakat terhadap pemberian gratifikasi. Survei ini melibatkan[10] 641 instansi dan lebih dari 840 ribu responden yang tidak hanya berasal dari lembaga internal pemerintah, tetapi juga masyarakat umum dan penyedia barang dan jasa, serta akademisi di bidang antikorupsi. Dalam penyelenggaraan survei ini, KPK berkolaborasi dengan 41 Perguruan Tinggi Negeri (PTN), termasuk Universitas Airlangga.
Hasil SPI KPK 2024 tersebut menemukan bahwa masyarakat cenderung toleran terhadap tindakan koruptif. Ini menjadi salah satu tantangan utama pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tim kami dari Universitas Airlangga menyoroti temuan-temuan menarik yang dihasilkan dari kajian SPI tahun 2024 dari persepsi masyarakat dan penyedia barang dan jasa. Kami pun menemukan bahwa pemberian gratifikasi telah dianggap normal, bahkan menjadi “fungsional” guna melancarkan pekerjaan tertentu.
Toleran terhadap korupsi
Survei KPK mengungkap bahwa salah satu tantangan utama pencegahan dan pemberantasan korupsi adalah tingginya tingkat toleransi masyarakat terhadap tindakan korupsi.
Sembilan dari 10 orang mengaku pernah melakukan gratifikasi setidaknya sekali. Menariknya, 50,1% dari masyarakat melakukan hal tersebut atas inisiatif mereka sendiri, tanpa adanya kesepakatan dengan petugas terkait. Data ini menunjukkan bahwa gratifikasi tidak hanya meluas, tetapi tanpa disadari sudah membudaya karena sering kali muncul dari keinginan masyarakat sendiri.
Dari masyarakat yang mengaku pernah memberikan gratifikasi, sebanyak 52,6% melakukannya untuk urusan pekerjaan. Lebih jauh, pemberian gratifikasi untuk keperluan kantor lebih dominan di antara mereka yang mengaku telah melakukannya sebanyak lima kali atau lebih. Data ini mengungkap bahwa lingkungan profesional sering menjadi ruang yang memfasilitasi praktik gratifikasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Gratifikasi dianggap kebiasaan
Masyarakat Indonesia juga menganggap pemberian gratifikasi sudah menjadi bagian dari kebiasaan. Pemberian gratifikasi ini dianggap sebagai ekspresi ungkapan terima kasih (45%), rasa sungkan (13,4%), dan upaya untuk membangun relasi (14,6%) yang mungkin bisa berdampak pada pemberian perlindungan atau perlakuan khusus (17,4%). Di samping itu, uang tunai ternyata adalah medium yang paling sering digunakan untuk memberikan gratifikasi dengan persentase 74,2%.
Temuan-temuan di atas menunjukkan bahwa gratifikasi telah dianggap sebagai hal yang wajar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Alasan-alasan sosial mendominasi normalisasi perilaku tersebut.
Ini menekankan pentingnya upaya untuk mengubah persepsi dan kebiasaan masyarakat agar tidak lagi melihat gratifikasi sebagai sesuatu yang sah, melainkan sebagai tindakan yang dapat merugikan integritas dan membangun budaya korupsi jangka panjang. Jika gratifikasi terus dianggap wajar, tidak heran jika upaya pemberantasan korupsi sering kali menghadapi jalan terjal.
Sifat ‘fungsional’ korupsi
Selain menganalisis hasil kuisioner, Tim Universitas Airlangga juga menyelenggarakan focus group discussion (FGD) di tiga kota yakni Surabaya, Malang, dan Madiun yang dihadiri oleh informan internal, pakar, dan eksternal, termasuk penyedia barang dan jasa (vendor) dari 27 kota dan kabupaten untuk mendalami fenomena korupsi ini.
Dari hasil FGD, kami menemukan bahwa pengadaan barang dan jasa sering kali menjadi bagian tak terpisahkan dari rantai korupsi yang dimanfaatkan untuk mengakomodasi kebutuhan politik pengambil keputusan.
Dalam sistem yang tidak independen, penyedia tidak hanya menjadi korban, tetapi juga pelaku yang terlibat dalam praktik kolusi atau gratifikasi untuk memenangkan proyek. Ini menunjukkan bahwa korupsi memiliki sifat “fungsional” untuk memperlancar proses bisnis.
Tekanan dan persaingan dalam dunia penyedia jasa mendorong para vendor untuk terlibat dalam pusaran praktik korupsi, meskipun pada awalnya berniat bekerja secara profesional. Ketidakpastian masa depan proyek dan sistem yang tidak adil memaksa penyedia mengikuti “aturan main yang tidak tertulis” agar tetap bisa bertahan.
Sekalipun sudah ada sistem elektronik, informan kami mengaku masih ada celah di luar sistem untuk memenangkan pihak tertentu. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa reformasi sistem pengadaan, penyedia jasa mau tidak mau menjadi bagian dari rantai korupsi yang sistemis dan terus berulang.
Dalam sistem yang tidak akuntabel, korupsi menjadi cara untuk menciptakan “kepastian” di tengah ketidakpastian, baik bagi penyedia yang ingin mendapatkan proyek maupun bagi pejabat yang ingin memastikan loyalitas penyedia terhadap mereka.
Meskipun tampak menguntungkan pihak-pihak tertentu, mekanisme ini sebenarnya merugikan secara keseluruhan karena menghambat persaingan sehat, efisiensi, dan inovasi dalam pengadaan.
Studi tentang korupsi[11] menunjukkan praktik-praktik seperti manipulasi pengadaan barang dan jasa, mark-up harga dan pengaruh kelompok politik mengakibatkan proyek-proyek pengadaan barang jasa publik menjadi lebih mahal dan tidak efektif.
Pendekatan sistemis dan individual
Berdasarkan temuan SPI KPK dan analisis tim Universitas Airlangga, tampaknya korupsi telah menjadi budaya, bahkan dinormalisasi oleh sebagian besar masyarakat. Dalam pengadaan barang dan jasa, perilaku korupsi dianggap memiliki sifat “fungsional” untuk mempertahankan usaha.
Sebagai mitra KPK, kami menilai penegakan hukum itu penting, tetapi tidak cukup. Pencegahan harus dilakukan secara individual dan sistemis. Pendidikan antikorupsi serta penguatan integritas harus diinternalisasikan dalam kehidupan sehari-hari. Perlindungan bagi whistleblower juga perlu diperkuat agar pelaporan korupsi lebih efektif.
Dari segi sistem, kemauan politik harus diperkuat melalui keteladanan pemimpin dan reformasi hukum dengan sanksi tegas tanpa pandang bulu. Independensi lembaga pemberantasan korupsi harus dikembalikan sembari memperkuat kolaborasi lintas sektor agar pengawasan menjadi efektif dan berkelanjutan. Hal yang tidak kalah penting adalah bahwa selama masyarakat masih menormalisasi gratifikasi dan menjadi bagian dari korupsi, jangan berharap perubahan akan terjadi.
References
- ^ eksekutif (www.tempo.co)
- ^ legislatif (www.kpk.go.id)
- ^ yudikatif (www.tempo.co)
- ^ Pertamina (www.hukumonline.com)
- ^ Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) (www.tempo.co)
- ^ rilis riset Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG) tahun 2025 (ailg.unair.ac.id)
- ^ Riset pada tahun 2024 (academic.oup.com)
- ^ studi lainnya di tahun 2023 menemukan bahwa (jurnal.kpk.go.id)
- ^ survei Penilaian Integritas (SPI) (kpk.go.id)
- ^ melibatkan (jaga.id)
- ^ Studi tentang korupsi (www.imf.org)
Authors: Agie Nugroho Soegiono, Lecturer at Public Administration Department and Researcher at Airlangga Institute for Learning and Growth (AILG), Universitas Airlangga