Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Riset: Grup WhatsApp rentan jadi gudang sampah informasi dan penyebaran hoaks

  • Written by Abdullah Khusairi, Doktor Pengkajian Islam - Dakwah, Media dan Politik, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol
Riset: Grup WhatsApp rentan jadi gudang sampah informasi dan penyebaran hoaks

● Hampir seluruh informasi dan percakapan bisa berlangsung di ruang Grup WhatsApp (WAG)

● Menurut riset, WAG bisa jadi gudang sampah informasi

● Perlu admin WAG yang bisa memastikan informasi yang disebarkan valid dan tidak menimbulkan polarisasi

“Bangun tidur, buka WhatsApp Group (WAG)"—kebiasaan ini sepertinya sudah menjadi rutinitas yang lumrah bagi orang-orang di masa kini, terutama kaum muda yang akrab dengan teknologi. Coba sebutkan ada berapa banyak grup WAG yang kamu ikuti dalam satu akun WhatsApp? Mungkin sulit dihitung.

Hampir seluruh informasi dan percakapan kini bisa terjadi di ruang WAG. Mahasiswa di kampus dan siswa di sekolah pun kini tergabung di WAG yang berisi teman-teman sekelas dan dosen atau gurunya. Dosen atau guru pun kerap mengirimkan tugas melalui WAG. Ada pula WAG pengajian yang dipakai untuk berbagi jadwal kajian atau materi ceramah.

Salah satu grup yang paling umum diikuti semua orang adalah WAG keluarga. Di sana, beragam info berseliweran—mulai dari politik, tips keuangan, hingga kesehatan. Sayangnya, tak jarang pula menyebarkan kabar bohong atau hoaks, entah tanpa disadari pengirimnya atau tidak.

WAG memang sudah menjadi ruang percakapan digital yang riuh sejak dua dekade terakhir. Tak heran, karena WhatsApp adalah aplikasi paling populer dan paling banyak digunakan[1] di dunia.

Menurut riset[2] yang saya lakukan terhadap 112 pengguna WA, keberadaan aplikasi ini—khususnya WAG—telah menimbulkan ketergantungan[3] yang sangat tinggi.

WAG menjadi gudang sampah informasi bagi pengguna pasif dan tidak ikut dalam percakapan.

Sayangnya, WAG kini tidak hanya menjadi mesin reproduksi wacana, tetapi juga menjadi gudang sampah informasi, seumpama Tempat Pembuangan Akhir (TPA), yang salah satu sampahnya adalah disfinformasi. Konsekuensinya, ruang percakapan digital jadi timpang dan kurang sehat.

Gudang sampah informasi

Riset saya menunjukkan bahwa WAG menjadi wahana reproduksi wacana yang cukup intens. Diskusi yang terjadi di dalamnya sering kali merupakan refleksi dari debat di media sosial, televisi, hingga obrolan politik nasional.

Berbagai informasi—entah valid atau tidak—berseliweran tanpa kendali yang jelas, sehingga berpotensi menciptakan bias informasi serta memperkuat filter bubble dan echo chamber[4], di mana anggotanya hanya terpapar sudut pandang tertentu tanpa mendapatkan perspektif yang lebih luas.

Di setiap grup, biasanya ada jenis anggota aktif yang cepat merespons dan rajin mengirimkan informasi sepanjang waktu. Hal ini menyebabkan penumpukan pesan informasi.

Berdasarkan riset saya, responden mengaku kewalahan dengan banyaknya informasi yang masuk, yang sering kali tidak relevan dan sulit disaring. Fenomena ini disebut sebagai ”information overload[5]“ atau kelebihan informasi. Hal ini membuat individu mengalami kesulitan dalam memproses informasi yang terlalu banyak.

Ilustrasi seseorang sedang menggunakan aplikasi WhatsApp. Alex Photo Stock/Shutterstock[6]

Akibatnya, banyak anggota memilih untuk tidak membaca pesan yang masuk, mengabaikannya, atau sekadar menghapus pesan tanpa membukanya. Informasi tersebut cenderung diabaikan oleh anggota pasif.

Ini menunjukkan bahwa sebagian besar informasi dalam WAG tidak benar-benar sampai ke audiens yang dituju, melainkan hanya menjadi bagian dari akumulasi data yang tidak efektif. Komunikasi pun jadi tidak efektif, bahkan terhambat.

Hoaks dan disinformasi

Tingginya arus pesan membuat WAG menjadi ladang subur penyebaran hoaks dan disinformasi. Kurangnya mekanisme penyaring informasi membuat berita palsu mudah menyebar, terutama menjelang tahun politik.

WAG juga sering menjadi arena pertarungan ideologi dan politik. Perbedaan pandangan bisa berujung pada konflik yang berkepanjangan, jika anggota saling menyerang dengan narasi masing-masing. Menurut teori Critical Discourse Analysis (CDA)[7] oleh Ruth Wodak, setiap diskursus dalam ruang digital tidak bisa dilepaskan dari relasi kekuasaan dan ideologi yang melatarinya.

Dalam hal ini, perlu ada moderator admin setiap waktu dalam WAG yang berperan dalam menekan penyebaran hoaks dan menjaga diskusi tetap kondusif. Namun, penelitian saya menemukan bahwa sebagian besar WAG tidak memiliki mekanisme moderasi yang efektif. Tanpa adanya pengelolaan yang baik, WAG justru menjadi lahan subur bagi disinformasi.

Ketimpangan dalam ruang percakapan

Dari 112 responden yang saya wawancarai, mayoritas mengakui bahwa hanya segelintir anggota yang aktif berkontribusi dalam diskusi di satu WAG. Para anggota pasif lebih memilih diam dan membiarkan pesan menumpuk tanpa dibaca. Ini menunjukkan bahwa komunikasi dalam WAG tidak seimbang, dengan beberapa individu mendominasi percakapan sementara yang lain sekadar menjadi pengamat.

Ketimpangan ini berdampak pada efektivitas komunikasi dalam WAG. Alih-alih menjadi ruang berbagi gagasan yang sehat, WAG lebih sering menjadi ajang dominasi individu tertentu yang menyebarkan informasi tanpa ada mekanisme filter yang jelas.

Beberapa orang tengah berkumpul dan menggunakan ponsel genggam masing-masing. SUPAWADEE3625/Shutterstock[8]

Temuan penelitian menunjukkan jumlah anggota pasif lebih banyak dibandingkan anggota aktif. Dominasi anggota aktif dalam wacana di WAG menggambarkan komunikasi kelompok yang tidak seimbang antar anggota.

Mengatasi kekacauan informasi

Dalam riset tersebut, saya merekomendasikan peningkatan literasi digital sebagai langkah utama. Pengguna WAG perlu lebih kritis dalam menyaring informasi serta memahami cara kerja algoritme media sosial yang cenderung memperkuat gelembung informasi.

Selain itu, peran admin atau moderator harus lebih dioptimalkan. Admin WAG tidak hanya bertugas mengatur anggota, tetapi juga memastikan bahwa informasi yang disebarkan memiliki validitas dan tidak menimbulkan polarisasi yang buruk.

WhatsApp Group telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan digital kita. Tanpa pengelolaan yang baik, ia berisiko menjadi ruang yang tidak efektif, penuh dengan sampah informasi, dan berbahaya bagi demokrasi informasi.

Dibutuhkan kesadaran akan pentingnya literasi digital dan moderasi dalam WAG, ada harapan ruang percakapan digital ini dapat bertransformasi menjadi platform yang lebih sehat dan produktif. Pada akhirnya, bukan teknologi yang salah, tetapi bagaimana manusia menggunakannya yang menentukan apakah ia akan menjadi berkah atau bencana.

References

  1. ^ paling populer dan paling banyak digunakan (wearesocial.com)
  2. ^ riset (jurnal.uinsyahada.ac.id)
  3. ^ ketergantungan (www.google.com)
  4. ^ filter bubble dan echo chamber (link.springer.com)
  5. ^ information overload (commons.emich.edu)
  6. ^ Alex Photo Stock/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  7. ^ teori Critical Discourse Analysis (CDA) (www.researchgate.net)
  8. ^ SUPAWADEE3625/Shutterstock (www.shutterstock.com)

Authors: Abdullah Khusairi, Doktor Pengkajian Islam - Dakwah, Media dan Politik, Universitas Islam Negeri Imam Bonjol

Read more https://theconversation.com/riset-grup-whatsapp-rentan-jadi-gudang-sampah-informasi-dan-penyebaran-hoaks-251367

Magazine

Bukan solusi, evakuasi warga Gaza justru ancaman bagi masa depan Palestina

Pandangan udara kota Gaza melalui drone pada 20 Maret 2024. Wilayah Gaza, Palestina, sebagian besar telah hancur akibat serangan militer Israel.ImageBank4u/Shutterstock● Evakuasi warga Gaza dapa...

‘Frugal living’ jadi cara Zilenial bertahan: Apa gaya hidup ini sehat?

● Frugal living jadi cara anak muda bertahan di tengah krisis ekonomi. ● Gaya hidup ini bikin lebih bahagia karena berfokus ke kebutuhan, bukan gengsi. ● Tren ini selaras dengan ni...

Gaya bahasa Zilenial: Ancaman atau konsekuensi lazim zaman?

● Bahasa Indonesia terus berkembang seiring perubahan zaman dan pengaruh digital, terutama di kalangan Milenial dan Gen Z (Zilenial).● Kreativitas Zilenial membuat kosakata bahasa Indonesi...