Demam ‘thrifting’ kalangan Gen Z: Sekadar trendi atau benar-benar berkelanjutan?
- Written by Puty Febriasari, Dosen Program Studi Manajemen FEB UPB, Universitas Panca Bhakti

● Gen Z di Indonesia melakukan ‘thrifting’ karena harga murah dan tren, bukan kesadaran lingkungan.
● Pilihan belanja anak muda masih dipengaruhi oleh kenyamanan, gaya, dan tekanan sosial.
● Fesyen berkelanjutan membutuhkan edukasi, perubahan pola pikir, serta dukungan industri dan komunitas.
Pascapandemi COVID-19, tren thrifting (membeli pakaian bekas) semakin populer di kalangan Gen Z di Indonesia[1]. Kaum muda memilih pakaian bekas bukan hanya karena harganya lebih terjangkau, tetapi juga karena alasan lingkungan dan gaya unik yang ditawarkan oleh produk second-hand.
Namun, apakah thrifting benar-benar mencerminkan kesadaran atas fesyen berkelanjutan, atau sekadar tren sesaat?
Sebagai peneliti di bidang perilaku konsumen, kami melakukan penelitian pada tahun 2024[2] terhadap 345 responden berusia 18-25 tahun dari berbagai kota besar di Indonesia, seperti Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Jakarta. Kami ingin memahami bagaimana Gen Z memandang dan mempraktikkan fesyen berkelanjutan.
Hasilnya, meskipun ada kesadaran lingkungan yang meningkat, faktor utama yang mendorong Gen Z untuk memilih thrifting masih berkaitan dengan harga dan tren.
Kesadaran lingkungan vs gaya hidup
Industri fesyen, terutama fast fashion, telah lama dikritik karena dampaknya terhadap lingkungan. Beberapa merek fashion global seperti H&M, Zara, dan Uniqlo[3] bahkan diduga mengeksploitasi pekerja dan melakukan greenwashing—membuat pernyataan palsu yang menyesatkan tentang manfaat lingkungan dari suatu produk.
Untuk mengatasi persoalan limbah tekstil dan konsumsi berlebihan, thrifting sering dianggap sebagai solusi[4]. Dengan membeli pakaian bekas, konsumen dapat memperpanjang umur pakaian dan mengurangi permintaan produksi baru.
Namun, penelitian kami[5] menunjukkan bahwa tidak semua pembeli pakaian bekas benar-benar memahami dan memedulikan aspek keberlanjutan ini.
Sebagian besar kaum muda, khususnya Gen Z, membeli pakaian bekas bukan semata-mata karena peduli lingkungan, melainkan karena pertimbangan estetika—seperti mencari busana vintage—dan harga yang terjangkau.
Artinya, meskipun praktik ini berdampak positif terhadap keberlanjutan lingkungan, motivasi utamanya cenderung karena gaya hidup, bukan kesadaran ekologis.
Menariknya, hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa meskipun thrifting dianggap sebagai pilihan sadar dalam berbelanja, banyak responden masih terbawa pola konsumsi impulsif—membeli barang karena tergoda, bukan karena kebutuhan.
Ini seperti yang disampaikan Dina (21 tahun),
“Saya sering belanja ‘thrift’ karena harganya murah, tapi kadang saya beli terlalu banyak hanya karena barangnya lucu. Padahal, saya belum tentu memakainya.”
Artinya, meskipun thrifting dapat menjadi alternatif konsumsi yang ramah lingkungan, aktivitas ini belum dapat sepenuhnya lepas dari tantangan perilaku konsumtif.
Ketika kebiasaan membeli barang secara impulsif tetap terjadi—bahkan dalam konsep ‘thrifting'—manfaat lingkungan yang diharapkan dapat berkurang atau bahkan tertutupi oleh pola konsumsi yang berlebihan.
Konsumsi fesyen yang bertanggung jawab
Meski thrifting semakin populer, perubahan nyata menuju konsumsi fesyen yang berkelanjutan masih menghadapi banyak tantangan. Penting bagi Gen Z untuk tidak sekadar melihat thrifting sebagai tren estetik saja tetapi juga sebagai langkah nyata mengurangi dampak lingkungan. Ini tentu saja membutuhkan edukasi yang berkelanjutan dan kampanye yang kuat.
Pengusaha fesyen—baik merek internasional maupun lokal—perlu lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menjalankan bisnisnya, mulai dari pemilihan bahan hingga proses produksi. Menawarkan pakaian dari material daur ulang atau material yang tahan lama bisa menjadi salah satu solusi.
Salah satu pemanfaatan material daur ulang menjadi produk fashion dapat ditemukan di Recycling Village yang diinisiasi oleh warga Desa Air Nanginan, Provinsi Lampung[7]. Beberapa merek fesyen lokal, seperti Pijak Bumi, Sejauh Mata Memandang, dan Imaji Studio[8], juga sudah menerapkan konsep berkelanjutan pada produknya.
Aktivitas berkelanjutan tersebut tidak hanya bermanfaat langsung terhadap kondisi lingkungan, tetapi juga memberikan nilai tambah pada produk-produk yang dipasarkan.
Lebih jauh lagi, konsumen dapat berkontribusi dengan membeli lebih sedikit, memilih bahan yang tahan lama, serta mendukung aktivitas fesyen berkelanjutan.
Pada akhirnya, fesyen berkelanjutan tidak hanya terkait dengan pilihan belanja, tetapi juga menyangkut cara pandang terhadap pakaian yang dimiliki. Jika Gen Z ingin menjadi agen perubahan, mereka perlu melampaui tren sesaat dan mulai menjadikan fesyen sebagai upaya sadar untuk menciptakan dampak positif jangka panjang bagi lingkungan.
References
- ^ semakin populer di kalangan Gen Z di Indonesia (www.kompas.id)
- ^ penelitian pada tahun 2024 (dinastirev.org)
- ^ H&M, Zara, dan Uniqlo (earth.org)
- ^ solusi (www.colorado.edu)
- ^ penelitian kami (dinastirev.org)
- ^ Penelitian kami (dinastirev.org)
- ^ Recycling Village yang diinisiasi oleh warga Desa Air Nanginan, Provinsi Lampung (plasticsmartcities.wwf.id)
- ^ Pijak Bumi, Sejauh Mata Memandang, dan Imaji Studio (hypeabis.id)
Authors: Puty Febriasari, Dosen Program Studi Manajemen FEB UPB, Universitas Panca Bhakti