Rahasia dapur pasukan siber: bagaimana 'buzzer' digerakkan untuk meneror iklim demokrasi
- Written by Luthfi T. Dzulfikar, Editor Pendidikan + Anak Muda
Dalam dua tahun terakhir, berkali-kali kita melihat bagaimana opini publik di media sosial banyak dimanipulasi oleh pasukan siber[1] – dari pendengung (‘buzzer’), influencer politik, hingga akun bot di Twitter.
Kita mengamati ini dalam berbagai peristiwa politik: saat pemilu 2019, demonstrasi #SaveKPK[2], sepanjang pandemi COVID-19, dan juga gerakan protes terhadap Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipker)[3].
Seperti apa cara kerja pasukan siber? Bagaimana mereka digerakkan untuk memanipulasi opini publik? Bagaimana dan oleh siapa mereka didanai?
Untuk menjawabnya, pada episode podcast SuarAkademia[4] kali ini, kami ngobrol dengan Wijayanto, peneliti media dan demokrasi di Universitas Diponegoro (UNDIP) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).
Wijayanto membedah riset terbaru[5] yang ia lakukan bersama tim peneliti Indonesia dan Belanda tentang rekam jejak dan cara kerja pasukan siber pada lima peristiwa politik di Indonesia.
Ia juga menceritakan peretasan terhadap grup WhatsApp aliansi akademisi saat terlibat dalam gerakan #SaveKPK, perang opini publik menggunakan buzzer saat konflik internal Partai Demokrat[6], dan jaringan pendanaan pasukan siber di Indonesia.
Dengarkan episode lengkapnya di SuarAkademia – ngobrol seru isu terkini, bareng akademisi.
References
- ^ dimanipulasi oleh pasukan siber (theconversation.com)
- ^ #SaveKPK (theconversation.com)
- ^ Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipker) (theconversation.com)
- ^ podcast SuarAkademia (open.spotify.com)
- ^ riset terbaru (www.insideindonesia.org)
- ^ konflik internal Partai Demokrat (theconversation.com)
Authors: Luthfi T. Dzulfikar, Editor Pendidikan + Anak Muda