Bagaimana kenaikan dan penurunan berat badan sama-sama memengaruhi menstruasi?
- Written by Mia Schaumberg, Associate Professor in Physiology, School of Health, University of the Sunshine Coast

Terkadang, mungkin kita menyadari bahwa perubahan berat badan sering kali diiringi dengan perubahan siklus haid.
Lalu, apa hubungan antara berat badan dan menstruasi?
Menjaga berat badan tetap seimbang menjadi kunci siklus menstruasi yang teratur. Berikut alasannya, beserta ciri penting yang jadi pertanda kalau kamu harus ke dokter.
Peran hormon
Siklus menstruasi—termasuk ketika masa pendarahan dan ovulasi—diatur oleh keseimbangan hormon, khususnya estrogen[1].
Ovarium sebagai alat reproduksi perempuan terhubung ke otak melalui sistem sinyal hormonal[2]. Sistem ini menjadi pengendali hormon yang mengatur siklus menstruasi.
Otak bertugas memproduksi hormon penting bernama hormon pelepas gonadotropin atau gonadotropin releasing hormone[3] (GnRH) di hipotalamus (salah satu bagian otak). Hormon tersebut mendorong pelepasan hormon-hormon lain yang menginstruksikan ovarium untuk memproduksi estrogen dan melepaskan sel telur yang matang (ovulasi).
Namun, pelepasan GnRH bergantung pada[4] level estrogen dan energi tubuh. Dua hal ini sangat berkaitan dengan berat badan.
Estrogen utamanya diproduksi di ovarium, tetapi sel lemak juga memproduksi estrogen. Inilah mengapa berat badan—dalam hal ini lemak tubuh—dapat memengaruhi menstruasi.
Apakah kekurangan berat badan berpengaruh ke menstruasi?
Tubuh kita memprioritaskan penyimpanan energi. Ketika cadangan energi rendah[6], tubuh akan menghentikan proses yang tak esensial, salah satunya reproduksi.
Kondisi ini dapat terjadi ketika kita kekurangan berat badan atau mengalami penurunan berat badan secara drastis. Kondisi ini juga dapat terjadi pada pelaku olahraga intens[7] atau saat nutrisi tubuh seseorang tidak memadai.
Kondisi stres pada tubuh tersebut membuat hipotalamus memasuki mode bertahan hidup. Hasilnya, tubuh menurunkan produksi hormon penting terkait ovulasi, termasuk estrogen, dan menghentikan menstruasi.
Kekurangan berat badan[8] secara kronis membuat tubuh tidak memiliki cukup energi untuk menopang fungsi reproduksi sehingga dapat menyebabkan gangguan menstruasi[9] termasuk amenorea (tidak terjadinya menstruasi).
Hal ini menyebabkan tubuh memiliki kadar estrogen yang sangat rendah. Ini dapat menimbulkan risiko kesehatan serius, termasuk infertilitas dan pengeroposan tulang.
Absennya menstruasi tidak selalu perlu dikhawatirkan. Yang perlu kita waspadai adalah kondisi tak bertenaga yang kronis. Kedua hal tersebut memiliki hubungan.
Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperhatikan siklus haid dan perubahan berkepanjangan yang terjadi dalam tubuh.
Bagaimana kelebihan berat badan memengaruhi menstruasi?
Tingginya lemak tubuh dapat meningkatkan level estrogen.
Saat berat badan berlebih, tubuh kita menyimpan energi ekstra dalam sel lemak. Ini memicu produksi estrogen dan hormon lain[10] yang dapat menimbulkan peradangan pada tubuh.
Jika kita memiliki banyak sel lemak, tubuh kita memproduksi hormon-hormon tersebut secara berlebihan. Kondisi ini dapat memengaruhi fungsi normal lapisan rahim (endometrium).
Estrogen berlebih dan peradangan dapat mengganggu sistem arus balik ke otak dan menghentikan proses ovulasi[11]. Kondisi ini bisa membuat menstruasi tidak teratur[12] atau haid yang terlewat.
Selain itu, keadaan tadi juga dapat menyebabkan[13] rasa sakit saat haid (dismenore) dan pendarahan yang berlebihan (menoragia).
Terkadang, memiliki berat badan berlebih juga bisa memperburuk sindrom pramenstruasi atau PMS (pre-menstrual syndrome). Salah satu penelitian menemukan[14] bahwa setiap kenaikan 1 kg (m²) pada BMI (body mass index), risiko PMS naik sebesar 3%. Perempuan dengan BMI melebihi 27.5 kg/m² memiliki risiko jauh lebih tinggi dibanding perempuan dengan BMI di bawah 20 kg/m².
Hal lain yang mungkin dapat terjadi
Perubahan berat badan kadang kala berkaitan dengan keseimbangan hormon yang melatarbelakangi kondisi tertentu.
Contohnya, individu dengan sindrom polikistik ovarium atau polycystic ovarian syndrome[15] (PCOS) dapat mengalami kenaikan berat badan atau sulit menurunkan berat badan. Sebab, mereka memiliki hormon yang tidak seimbang, termasuk hormon testosteron yang lebih tinggi.
Sindrom tersebut juga berkaitan degan siklus haid yang tidak teratur dan pendarahan yang lebih berat. Maka dari itu, jika mengalami gejala ini, ada baiknya kamu berkonsultasi dengan dokter.
Serupa tapi tak sama, perubahan berat badan dan siklus menstruasi tak teratur di usia paruh baya dapat menjadi tanda perimenopause[16]—periode sebelum menopause (saat kita benar-benar berhenti menstruasi).
Kapan harus waswas?
Perubahan kecil pada jadwal atau lamanya menstruasi umumnya tak perlu dikhawatirkan.
Sama halnya terkait perubahan kecil pada berat badan, perubahan ini umumnya tidak akan signifikan memengaruhi menstruasi. Bisa juga perubahannya tak kentara sehingga kita tak menyadarinya.
Namun, perlu diingat bahwa menstruasi yang teratur merupakan aspek penting bagi kesehatan perempuan. Terkadang perubahan di jadwal, intensitas pendarahan, ataupun rasa sakit dapat menjadi pertanda kondisi kesehatan lainnya.
Jika terdapat perubahan yang dirasa mengganggu, berkonsultasilah dengan penyedia layanan kesehatan.
References
- ^ estrogen (www.healthdirect.gov.au)
- ^ sistem sinyal hormonal (link.springer.com)
- ^ gonadotropin releasing hormone (www.sciencedirect.com)
- ^ bergantung pada (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Halfpoint/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ cadangan energi rendah (link.springer.com)
- ^ pelaku olahraga intens (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Kekurangan berat badan (www.healthdirect.gov.au)
- ^ menyebabkan gangguan menstruasi (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ estrogen dan hormon lain (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ menghentikan proses ovulasi (www.sciencedirect.com)
- ^ tidak teratur (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ dapat menyebabkan (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ Salah satu penelitian menemukan (pubmed.ncbi.nlm.nih.gov)
- ^ polycystic ovarian syndrome (www.nichd.nih.gov)
- ^ perimenopause (www.jeanhailes.org.au)
- ^ Sabrina Bracher/Shutterstock (www.shutterstock.com)
Authors: Mia Schaumberg, Associate Professor in Physiology, School of Health, University of the Sunshine Coast