Kalap saat berbuka puasa tak hanya menguras dompetmu, tapi juga memicu bencana
- Written by Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland

Fenomena sampah makanan saat Ramadan menjadi masalah tahunan di Indonesia[1], terutama akibat kebiasaan kalap makan dan hungry buying[2] setelah seharian berpuasa. Rasa lapar yang menumpuk selama puasa sering kali membuat kita membeli atau mengambil makanan secara berlebihan tanpa mempertimbangkan kapasitas perut.
Kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada pemborosan uang dan gangguan kesehatan[3], tetapi juga meningkatkan beban sampah yang dapat merusak lingkungan.
Saat Ramadan, jumlah sampah organik yang berasal dari sisa makanan di Indonesia naik rata-rata 20%[4]. Hal ini tentu menimbulkan beban bagi lingkungan, mengingat Indonesia merupakan salah satu penghasil sampah makanan terbesar[5] di dunia.
Ke mana sampah pergi?
Setelah makanan terbuang dan menjadi food waste, pertanyaannya adalah, “Ke mana akhirnya sampah ini berlabuh?”
Dari rumah tangga, restoran, atau tempat berbuka puasa, sampah organik biasanya dikumpulkan di tempat sampah, lalu diangkut oleh petugas kebersihan ke tempat pembuangan sementara (TPS) sebelum akhirnya dibawa ke landfill alias tempat pembuangan akhir (TPA).
Sayangnya, di Indonesia, sistem pengolahan sampah masih menghadapi berbagai tantangan[6]. Sebagian besar sampah makanan langsung dibuang begitu saja ke TPA, tanpa proses pemilahan[7] atau pengolahan lebih lanjut, sehingga menambah beban pada landfill yang sudah hampir penuh.
Ledakan gas sampah makanan dan longsor
Sampah makanan menimbulkan dampak lingkungan yang luas, terutama dalam pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir, di antaranya:
1. Cemari sumber air sekitar
Sampah organik yang tidak terkelola dengan baik akan menghasilkan leachate (lindi)[8], yaitu limbah cair yang meresap ke dalam tanah dan mencemari sumber air di sekitarnya.
Lindi dapat memperburuk kualitas air tanah[9], merusak tanah di kawasan pertanian[10], serta berpotensi menyebarkan bibit penyakit[11] pada manusia.
2. Perburuk kondisi iklim
Selain itu, sampah makanan yang membusuk[12] di tempat pembuangan juga menghasilkan gas metana (CH₄)[13]. Gas ini memiliki efek pemanasan global 28 kali lebih kuat[14] dari karbon dioksida (CO₂), sehingga berkontribusi terhadap perubahan iklim.
3. Picu ledakan, kebakaran, dan longsor
Gas metana yang terperangkap di tumpukan sampah juga dapat terkumpul dan menciptakan tekanan tinggi[15]. Jika tidak dikelola dengan baik, gas tersebut berisiko meledak sehingga dapat memicu kebakaran besar[16].
Ketika ledakan terjadi, api yang menyala akan sulit dipadamkan karena sampah organik terus menghasilkan gas metana baru. Kebakaran di landfill sering berlangsung selama berhari-hari hingga berpekan-pekan[17], mengeluarkan asap beracun[18] yang mencemari udara dan membahayakan kesehatan warga sekitar.
Akumulasi sampah yang terus bertambah juga menyebabkan overload di TPA, yang dapat meningkatkan tekanan pada struktur landfill[19].
Apabila kelebihan beban, bencana bisa terjadi, seperti Tragedi Ledakan Leuwigajah 2005[20] di Jawa Barat yang menyebabkan banyak korban jiwa, hingga longsor di TPA Cipeucang[21].
Menekan food waste: bijak berbuka puasa
Saat Ramadan, kita perlu lebih bijak saat berbuka puasa untuk mengurangi sampah makanan langsung dari sumbernya (manusia).
Dengan mengambil makanan secukupnya, merencanakan konsumsi dengan baik, serta menghindari pembelian impulsif hanya karena promo atau porsi besar, kita bisa mengurangi limbah makanan yang tidak perlu.
Apakah mengurangi konsumsi cukup untuk mencegah bencana? Sayangnya tidak. Pengelolaan sampah organik yang sudah terlanjur ada juga harus diperhatikan.
Sebelum sampai ke tempat pembuangan akhir, sampah makanan bisa kita manfaatkan kembali, misalnya sebagai kompos untuk pertanian[22] atau pakan ternak[23]. Ada juga teknologi biodigester[24] untuk mengelola sampah menjadi energi.
Pemerintah juga harus memerbaiki pengelolaan sampah di tempat pembuangan akhir. Harus ada pemantauan kualitas lindi[25] untuk mencegah pencemaran air tanah dan penyebaran penyakit di sekitar TPA.
Gas metana yang dihasilkan dari sampah organik juga sebaiknya tidak dibiarkan begitu saja, melainkan dimanfaatkan sebagai energi alternatif[26] untuk menyalakan kompor ataupun pembangkit listrik.
Terakhir, pemerintah juga perlu mendesain area penumpukan sampah[27] yang lebih aman dan stabil untuk mencegah bencana longsor seperti yang pernah terjadi di berbagai TPA.
Dengan kombinasi konsumsi bijak saat berbuka dan pengelolaan sampah yang lebih baik, kita dampak meredam dampak negatif sampah makanan, baik dari segi lingkungan maupun kesehatan masyarakat.
References
- ^ di Indonesia (en.antaranews.com)
- ^ hungry buying (phys.org)
- ^ gangguan kesehatan (www.frontiersin.org)
- ^ rata-rata 20% (en.antaranews.com)
- ^ penghasil sampah makanan terbesar (journal.poltekparmakassar.ac.id)
- ^ masih menghadapi berbagai tantangan (unair.ac.id)
- ^ tanpa proses pemilahan (data.goodstats.id)
- ^ leachate (lindi) (www.sciencedirect.com)
- ^ memperburuk kualitas air tanah (www.sciencedirect.com)
- ^ pertanian (www.sciencedirect.com)
- ^ menyebarkan bibit penyakit (www.sciencedirect.com)
- ^ membusuk (www.epa.nsw.gov.au)
- ^ gas metana (CH₄) (www.tritechsolutions.nl)
- ^ 28 kali lebih kuat (www.epa.gov)
- ^ tekanan tinggi (www.health.wa.gov.au)
- ^ kebakaran besar (www.dcceew.gov.au)
- ^ berpekan-pekan (www.sciencedirect.com)
- ^ asap beracun (opus.lib.uts.edu.au)
- ^ tekanan pada struktur landfill (neptjournal.com)
- ^ Tragedi Ledakan Leuwigajah 2005 (www.tempo.co)
- ^ longsor di TPA Cipeucang (waste4change.com)
- ^ kompos untuk pertanian (www.sustainableagriculture.eco)
- ^ pakan ternak (fst.unair.ac.id)
- ^ teknologi biodigester (ftmm.unair.ac.id)
- ^ pemantauan kualitas lindi (www.rawearthenvironmental.com.au)
- ^ energi alternatif (www.sciencedirect.com)
- ^ mendesain area penumpukan sampah (archive.epa.gov)
Authors: Rian Mantasa Salve Prastica, PhD student studying urban stormwater management, Environmental Engineering research group, School of Civil Engineering, The University of Queensland