Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi

  • Written by Lalu Ary Kurniawan Hardi, Lecturer, Universitas Airlangga
Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi

● Presiden Prabowo Subianto menerapkan sejumlah kebijakan populisme yang kerap menuai kontroversi di tengah publik.

● Populisme dapat memantik polarisasi, karena dapat membelah pandangan masyarakat.

● Rezim populis dapat juga melemahkan kehadiran oposisi.

Belum ada setengah tahun menjabat, Presiden Prabowo Subianto telah mewarnai negara dengan nuansa populisme yang cukup “merepotkan” publik.

Mulai dari pembentukan kabinet gemuk, pemangkasan anggaran dan realokasi belanja negara termasuk untuk pendidikan dan riset—guna membiayai program populis Makan Bergizi Gratis (MBG)—hingga meloloskan revisi Undang-Undang (UU) TNI yang memberikan militer lebih banyak ruang di jabatan sipil. Kesehatan dan pendidikan tidak dijadikan prioritas. Pemutusan hubungan kerja (PHK) dibiarkan. Namun, militer justru diberi “lowongan kerja” tambahan.

Pengambilan kebijakan dan koordinasi antarlembaga di tingkat pusat masih serampangan[1], jauh dari kata musyawarah[2], hanya mengandalkan sentimen publik[3] sebagai legitimasinya.

Kecenderungan ini memungkinkan meluasnya polarisasi masyarakat sekaligus meningkatnya pengawasan kepada mereka yang berseberangan suara. Dalam skala yang lebih luas, ini dapat mendorong bangkitnya kembali era otoritarianisme di Indonesia.

Praktik populisme: Baik atau buruk?

Cas Mudde, ilmuwan politik asal Belanda,[4] mendefinisikan populisme sebagai sebuah ideologi yang membelah masyarakat menjadi dua kubu, yakni “rakyat murni” yang melawan “elite korup.” Menurut Chantal Mouffe, ahli teori politik asal Belgia,[5] populisme kiri merupakan alat demokratisasi yang menantang dominasi elite demi keadilan sosial. Sementara itu, menurut filsuf Inggris Margaret Canovan[6], populisme kanan cenderung mengusung nasionalisme yang bersifat eksklusif dan anti-imigran.

Kebijakan populisme memang bisa menawarkan solusi cepat atas ketidakpuasan rakyat, namun seringkali berdampak buruk pada perekonomian negara. Di Venezuela, misalnya, mantan Presiden Hugo Chávez membangun [program sosial ambisius](https://www.cfr.org/timeline/venezuelas-chavez-era), tetapi kemudian ekonomi negara tersebut ambruk[7] akibat ketergantungan pada ekspor minyak dan utang luar negeri. Contoh lainnya adalah Argentina[8] yang berulang kali mengalami inflasi tinggi akibat kebijakan populis yang mengabaikan keberlanjutan fiskal.

Siswa sekolah dasar tengah mencicipi makan siang sebagai simulasi program Makan Bergizi Gratis di sekolah pada 1 Agustus 2024 di Tangerang. Wulandari Wulandari/Shutterstock[9]

Di Indonesia, populisme hadir dalam berbagai kebijakan yang populer seperti subsidi besar-besaran atau proyek infrastruktur di daerah. Program tersebut dapat menarik dukungan masyarakat terhadap pemerintah, namun membawa risiko besar karena berdampak pada ketahanan ekonomi jangka panjang[10]. Populisme lebih sering menjadi bom waktu[11] yang meninggalkan beban ekonomi dan politik bagi generasi berikutnya.

Paradoks populisme era Prabowo

Sejak awal, Prabowo telah melakukan kesalahan orientasi dalam penentuan arah kebijakan. Ia lebih memilih menerapkan program kerja jangka pendek yang memikat segmen masyarakat tertentu saja. Ini termasuk program MBG[12] dan bantuan sosial bansos[13].

Populisme semacam ini dapat memantik polarisasi, karena dapat membelah pandangan masyarakat. Ada yang loyalis, ada pula yang apatis, bahkan skeptis dan sinis. Polarisasi ini meluas ketika pemerintah memulai agenda efisiensi anggaran dan strategi realokasi sumber daya. Padahal dari awal saja Prabowo membentuk struktur kabinet gemuk, yang sangat bertolak belakang dengan urgensi efisiensi anggaran.

Lucunya, pemerintah kemudian memandang fragmentasi ini sebagai sesuatu yang lazim, dengan mengklaim secara subjektif bahwa tidak semua hal harus memuaskan semua pihak. Kritik dan aspirasi publik seringkali dibingkai sebagai gangguan[14], seakan publik enggan untuk berkolaborasi dengan pemerintah. Padahal, kritik harusnya menjadi masukan strategis bagi pembuat kebijakan.

Berbagai studi komparatif politik[15] telah membuktikan bahwa populisme justru menjadi penyebab lahirnya perpecahan di masyarakat.

Dalam konsep good populism (populisme baik)[16], proses konsolidasi partai-partai politik cenderung lebih cair, sehingga proses pembuatan kebijakan lebih berorientasi pada mekanisme check and balance ketimbang acceptance and rejection. Namun, di Indonesia, konsep populisme yang terlihat adalah ketika partai politik berkonsolidasi dan hanya demi memenangkan pemilu[17]. Setelah menang, mereka kemudian hanya mementingkan bagi-bagi jabatan.

Hilangnya oposisi

Konsekuensi logis dari berjayanya rezim populis Prabowo tidak hanya menguatnya polarisasi masyarakat, tetapi juga melemahnya kehadiran oposisi.

Prabowo tampak menempatkan mereka yang berseberangan paham sebagai musuh, ketimbang oposisi dan agen kontrol kebijakan. Contohnya adalah “…yang tidak mendukung hal ini (program MBG) silakan keluar dari pemerintahan yang saya pimpin” yang ia lontarkan pada sidang kabinet paripurna Oktober lalu[18].

Prabowo pernah merespons kritik dengan ujaran “ndasmu”. Ini mencerminkan sikap antikritik yang mengikis peran oposisi dalam demokrasi. Pernyataan itu bukan sekadar ekspresi emosional, tetapi sinyal bahwa kritik maupun pendapat yang bersebrangan dianggap tidak relevan dalam lanskap politik yang ia bangun. Alih-alih membiarkan oposisi tumbuh, ia justru menciptakan politik akomodasi yang menutup ruang bagi perbedaan.

Aspirasi publik melalui kekuatan oposisi pun mulai redup. Carut marut problem internal PDIP[19] sebagai partai oposisi terbesar saat ini hingga kemelut kasus korupsi[20] yang menjerat kadernya, memaksa PDIP untuk bermain aman dan minim konfrontasi sebagaimana biasanya.

Personel TNI sedang membantu menyiapkan makanan gratis di sebuah sekolah negeri di Makassar. Amri Syam/Shutterstock[21]

Jangankan menunjukkan sikap prorakyat, petinggi PDIP Puan Maharani[22] yang kini menjabat sebagai Ketua DPR RI pun ikut serta meloloskan revisi UU TNI yang kontroversial.

Pelemahan institusi demokratis seperti parlemen pun kian terlihat. Kontrol terhadap kebijakan pemerintah melemah dan terbias oleh ramainya anggota parlemen berlatar selebritas[23] yang pemenangannya juga didukung oleh basis massa populis.

Saat eksistensi oposisi melemah, maka rezim populis akan makin memiliki kontrol dominan terhadap proses pengambilan kebijakan yang mementingkan elite. Ini akan mengikis kebebasan di ruang sipil serta memperluas potensi konflik sosial.

Populisme yang mengancam demokrasi

Menurut sebuah studi filsafat politik,[24] dalam skema negara populis, identitas rakyat seakan menjadi “penanda kosong”, bukan sebuah unit sosial yang konstan dan stabil. Artinya, rakyat hanya menjadi alat untuk mendulang suara dalam pemilu, lalu kondisi rakyat hanya mengikuti proses politik yang dijalankan oleh elite pemerintah saja. Dalam konteks ini, rakyat tidak dianggap eksis sebagai pilar utama di dalam negara demokrasi sehingga suara maupun kritiknya tidak perlu didengar.

Konsep seperti inilah yang menjadi cikal bakal pola otoritarianisme–hanya saja dikemas dalam strategi populis. Program ketahanan pangan, misalnya, terlihat sebagai kebijakan prorakyat. padahal kebijakan ini dapat melanggengkan monopoli sektoral. Lahirnya lembaga yang imun terhadap mekanisme pemantauan publik seperti Danantara juga menjadi kontrol elite yang dibungkus seakan menjadi kebijakan prorakyat.

Masyarakat harus melawan

Strategi “pecah belah, lalu kuasai” merupakan strategi utama yang memungkinkan seorang pemimpin populis mendominasi negara. Pemimpin populis yang paling sukses adalah mereka yang berhasil melanggengkan perpecahan dan konflik sebagai sarana untuk meraih kuasa.

Maka dari itu, masyarakat harus mulai menyadari fenomena ini sebagai tantangan bersama dan menyikapi perbedaan yang ada untuk membulatkan suara dan bersatu dalam menolak pemisahan sosial.

References

  1. ^ masih serampangan (celios.co.id)
  2. ^ jauh dari kata musyawarah (ylbhi.or.id)
  3. ^ mengandalkan sentimen publik (katadata.co.id)
  4. ^ Cas Mudde, ilmuwan politik asal Belanda, (amc.sas.upenn.edu)
  5. ^ Chantal Mouffe, ahli teori politik asal Belgia, (www.theguardian.com)
  6. ^ Margaret Canovan (journals.sagepub.com)
  7. ^ ekonomi negara tersebut ambruk (www.economicsobservatory.com)
  8. ^ Argentina (www.redalyc.org)
  9. ^ Wulandari Wulandari/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  10. ^ berdampak pada ketahanan ekonomi jangka panjang (mpr.go.id)
  11. ^ menjadi bom waktu (www.atlantis-press.com)
  12. ^ MBG (www.tempo.co)
  13. ^ bantuan sosial bansos (www.tempo.co)
  14. ^ dibingkai sebagai gangguan (theconversation.com)
  15. ^ Berbagai studi komparatif politik (www.tandfonline.com)
  16. ^ good populism (populisme baik) (diamond-democracy.stanford.edu)
  17. ^ demi memenangkan pemilu (scholar.archive.org)
  18. ^ sidang kabinet paripurna Oktober lalu (youtu.be)
  19. ^ Carut marut problem internal PDIP (www.tempo.co)
  20. ^ kasus korupsi (www.cnbcindonesia.com)
  21. ^ Amri Syam/Shutterstock (www.shutterstock.com)
  22. ^ Puan Maharani (www.youtube.com)
  23. ^ selebritas (www.cnnindonesia.com)
  24. ^ studi filsafat politik, (www.tandfonline.com)

Authors: Lalu Ary Kurniawan Hardi, Lecturer, Universitas Airlangga

Read more https://theconversation.com/tipu-daya-populisme-prabowo-memperkuat-polarisasi-menghilangkan-oposisi-249746

Magazine

Sadarkah kita bahwa program makanan gratis adalah alat kontrol pemerintah terhadap rakyat?

Tumpukan nasi box untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk disalurkan ke sekolah-sekolah di Pekalongan, Jawa tengah.onyengradar/Shutterstock● Alih-alih menyejahterakan rakyat, program Maka...

Tipu daya populisme Prabowo: Memperkuat polarisasi, menghilangkan oposisi

Presiden Prabowo Subianto saat Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 sebagai kandidat calon presiden.BahbahAconk/Shutterstock● Presiden Prabowo Subianto menerapkan sejumlah kebijakan populisme yang kerap...

Apa dinosaurus terbesar yang pernah ada?

Getty ImagesSebenarnya, apa dinosaurus terbesar?– Zavier, 14, Tauranga, Selandia Baru.Pertanyaan bagus Zavier. Topik ini juga menarik bagi para paleontolog (ilmuwan yang mempelajari fosil hewan...