Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis

  • Written by Yohanes Widodo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, peminat media dan jurnalisme, Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis

Demonstrasi mahasiswa yang kerap mewarnai lanskap politik Indonesia bukan sekadar ekspresi aspirasi publik, tetapi juga ujian bagi kemampuan pemerintah dalam mengelola krisis dan komunikasi publik.

Aksi “Indonesia Gelap”[1] bisa dikatakan menjadi yang terbesar sejak Agustus 2024, sebelum Prabowo resmi menjabat. Ini jelas mencerminkan kekecewaan bahkan ketidakpercayaan publik pada rezim kali ini.

Satu aspek yang perlu disoroti dalam konteks ini adalah pola komunikasi pemerintah. Media sosial, yang seharusnya menjadi alat strategis[2] untuk membangun kepercayaan publik dan memastikan transparansi kebijakan, tampaknya belum dimanfaatkan maksimal[3] oleh pemerintah.

Sebaliknya, pemerintah justru merespons dengan pernyataan-pernyataan yang kian memperkeruh ketegangan, menyudutkan pengkritik, dan cenderung represif, yang berpotensi menyulut gerakan perlawanan dan demonstrasi yang lebih besar.

Sudah saatnya pemerintah memperbaiki cara berkomunikasi guna membangun kembali kepercayaan publik, stabilitas politik, dan citra di mata rakyat. Dalam konteks ini, peran government public relations[4] (GPR) menjadi krusial untuk membangun komunikasi di masa krisis.

GPR redam eskalasi

GPR bukan sekadar instrumen penyampaian informasi, tetapi juga alat strategis dalam membentuk opini publik dan meredam eskalasi konflik.

Pemerintah yang efektif dalam mengelola krisis cenderung memiliki strategi komunikasi yang terencana, transparan, dan empatik.[5]

Salah satu pendekatan penting dalam GPR adalah komunikasi prakrisis. Sebelum krisis terjadi, pemerintah harus membangun narasi yang jelas mengenai kebijakan yang berpotensi menuai polemik. Misalnya, ketika mahasiswa mulai menunjukkan keresahan terhadap kebijakan tertentu, pemerintah bisa lebih proaktif dengan menjelaskan secara terbuka alasan dan implikasi kebijakan tersebut.

Gagalnya komunikasi prakrisis sering kali menjadi penyebab utama ketidakpuasan publik[6] yang kemudian berujung pada demonstrasi besar-besaran.

Saat krisis terjadi, manajemen informasi[7] menjadi aspek yang tak kalah krusial. Kecepatan dan akurasi informasi yang disampaikan pemerintah menentukan apakah situasi bisa diredam atau justru semakin memanas. Keterlambatan dalam mengelola informasi hanya akan memperburuk situasi dan menurunkan kepercayaan publik.

Di era digital, media sosial menjadi arena utama dalam pertempuran opini publik. Pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan media konvensional untuk merespons krisis, tetapi harus aktif dalam memantau dan merespons perbincangan di media sosial.

Utamakan dialog, bukan represi

Demonstrasi mahasiswa, sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, seharusnya dihadapi dengan pendekatan dialog dan komunikasi terbuka, bukan represi. Sejarah telah membuktikan bahwa penggunaan kekuatan berlebihan terhadap demonstran hanya akan memperparah ketegangan[8] dan memperpanjang konflik politik.

Dalam banyak kasus, respons represif terhadap demonstrasi justru menimbulkan efek jangka panjang berupa menurunnya legitimasi pemerintah.

Penanganan yang kurang bijak—seperti tindakan represif terhadap demonstrasi mahasiswa di berbagai negara[9]—menunjukkan bahwa kekerasan aparat sering kali justru memperburuk citra pemerintah.

Studi tentang respons pemerintah terhadap demonstrasi[10] di berbagai negara menunjukkan bahwa represi yang berlebihan dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap institusi pemerintah, bahkan dalam sistem demokratis sekali pun.

Sebaliknya, pendekatan berbasis komunikasi yang lebih terbuka, seperti model komunikasi berbasi dialog[11] di Inggris, menunjukkan bahwa komunikasi langsung antara aparat dan demonstran bisa meredakan ketegangan. Model komunikasi semacam inimengedepankan interaksi aktif antara kepolisian dan masyarakat dalam mengelola aksi protes.

Strategi ini melibatkan petugas kepolisian yang terlatih secara khusus untuk menjalin komunikasi yang kooperatif dengan para demonstran, sehingga eskalasi konflik dapat dicegah sejak dini. Dengan membangun saluran komunikasi yang transparan dan terbuka, petugas kepolisian dapat memahami tuntutan demonstran dan menegosiasikan solusi yang lebih konstruktif.

Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi[12] sudah mengambil langkah yang seharusnya dengan menemui massa mahasiswa yang melakukan demonstrasi di kawasan Patung Kuda Arjuna Wijaya, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, pada 20 Februari lalu.

Pendekatan ini tidak hanya mengurangi kemungkinan bentrokan fisik tetapi juga memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum. Selain itu, pendekatan berbasis dialog juga mencakup penggunaan mediator independen dan pengamat untuk memastikan bahwa proses komunikasi berjalan secara adil dan tidak berpihak.

Perlu respons yang empatik, bukan elitis

Hal lain yang perlu menjadi catatan adalah bagaimana agar respons pemerintah terhadap kritik publik tidak bersifat elitis dan kurang empatik.

Dalam teori komunikasi krisis[13], pemerintah seharusnya mengadopsi strategi yang dapat meredam kepanikan publik dan membangun kembali kepercayaan.

Namun, pola komunikasi pemerintah di Indonesia—yang memperlihatkan pola komunikasi yang elitis, tidak empatik, dan defensif terhadap kritik publik—justru sering memprovokasi reaksi lebih luas.

Dalam fenomena tagar viral #KaburAjaDulu, misalnya, Wakil Menteri Ketenagakerjaan Immanuel Ebenezer justru merespons dengan pernyataan “Mau pergi, ya silakan saja. Kalau memang tidak ingin kembali, juga tidak masalah.” Ini jelas bentuk pernyataan pejabat publik yang sangat tidak peka terhadap keresahan rakyat.

Sementara terhadap tagar #IndonesiaGelap yang digunakan masyarakat di media sosial untuk memprotes pemerintah, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan[14] menepisnya dan justru menyatakan “Jadi kalau ada yang bilang itu Indonesia gelap, yang gelap kau, bukan Indonesia. Jadi kita jangan terus mengklaim sana-sini.” Respons Luhut ini terkesan menyalahkan rakyat dan mengabaikan keresahan masyarakat.

Sudahlah gagal mengantisipasi dampak sosial yang timbul, pemerintah juga gagal mengomunikasikan kebijakan secara efektif kepada publik.

Tantangan untuk mengembalikan kepercayaan publik

Tantangan terbesar dalam komunikasi krisis pemerintah bukan hanya bagaimana meredam demonstrasi, tetapi juga bagaimana mengembalikan kepercayaan publik pascakrisis.

Transparansi dan empati harus menjadi prinsip utama dalam komunikasi publik pemerintah. Komunikasi krisis bukan sekadar menjelaskan kebijakan, tetapi juga menunjukkan bahwa pemerintah mendengar dan memahami kegelisahan rakyat.

Dengan strategi GPR berbasis transparansi, partisipasi, dan komunikasi yang responsif, demonstrasi bukan lagi menjadi ancaman bagi stabilitas negara[15], melainkan kesempatan untuk memperkuat demokrasi melalui dialog yang konstruktif.

References

  1. ^ “Indonesia Gelap” (www.reuters.com)
  2. ^ alat strategis (www.irje.org)
  3. ^ belum dimanfaatkan maksimal (ojs.unikom.ac.id)
  4. ^ government public relations (www.tandfonline.com)
  5. ^ strategi komunikasi yang terencana, transparan, dan empatik. (www.degruyter.com)
  6. ^ penyebab utama ketidakpuasan publik (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
  7. ^ manajemen informasi (galacticamedia.com)
  8. ^ memperparah ketegangan (ejournal.unsrat.ac.id)
  9. ^ seperti tindakan represif terhadap demonstrasi mahasiswa di berbagai negara (link.springer.com)
  10. ^ respons pemerintah terhadap demonstrasi (www.cambridge.org)
  11. ^ komunikasi berbasi dialog (onlinelibrary.wiley.com)
  12. ^ Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi (www.kompas.id)
  13. ^ teori komunikasi krisis (link.springer.com)
  14. ^ Luhut Binsar Pandjaitan (www.cnnindonesia.com)
  15. ^ demonstrasi bukan lagi menjadi ancaman bagi stabilitas negara (www.tandfonline.com)

Authors: Yohanes Widodo, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi, peminat media dan jurnalisme, Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/kegagalan-komunikasi-pemerintah-rakyat-butuh-dialog-empatik-bukan-represi-elitis-250655

Magazine

Kegagalan komunikasi pemerintah: Rakyat butuh dialog empatik, bukan represi elitis

Aksi demo #IndonesiaGelap oleh ribuan mahasiswa di Jakarta pada 21 Februari 2025.Bagus Adi Susilo/ShutterstockDemonstrasi mahasiswa yang kerap mewarnai lanskap politik Indonesia bukan sekadar ekspresi...

Wacana Danantara mendanai proyek batu bara dibayangi besarnya risiko keuangan dan lingkungan

Presiden Prabowo Subianto berencana menggenjot proyek pengolahan batu bara senilai US$11 miliar (setara Rp179 triliun) menjadi salah satu prioritas nasional. Danantara, Badan Pengelola Investasi yang ...

Bagaimana kenaikan dan penurunan berat badan sama-sama memengaruhi menstruasi?

Terkadang, mungkin kita menyadari bahwa perubahan berat badan sering kali diiringi dengan perubahan siklus haid.Lalu, apa hubungan antara berat badan dan menstruasi?Menjaga berat badan tetap seimbang ...