Warga memaknai dan menaati pembatasan sosial pandemi secara 'berbeda': temuan dari Malang
- Written by Abdul Hair, Lecturer at Department of Communication, Universitas Brawijaya
Pembatasan[1] pergerakan[2] selama pandemi di Kota Malang, Jawa Timur, menyebabkan permasalahan tersendiri bagi Aji, seorang pengemudi ojek online.
Berbagai penyekatan di jalan raya selama masa pembatasan memaksa Aji mencari jalan pintas untuk sampai ke tujuan. Bukan karena dia ingin melanggar aturan, tapi karena tuntutan pekerjaan.
Cerita lain datang dari Arif, seorang pemilik toko kelontong di Kota Batu. Di kampungnya, warga melakukan karantina wilayah secara lokal saat angka penularan COVID-19 sedang tinggi.
Tujuannya bukan untuk membatasi interaksi antarwarga, tapi justru agar warga setempat tetap bisa berinteraksi, misalnya melaksanakan pengajian rutin. Dengan melarang orang lain masuk kampung mereka, mereka berharap tetap terhindar dari COVID-19.
Dua contoh di atas memperlihatkan bagaimana masyarakat memaknai ruang sosial saat pandemi COVID-19 secara berbeda dengan maksud pemerintah.
Mereka tidak serta merta menerima pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah. Namun, mereka melakukan negosiasi atas aturan tersebut.
Sayangnya, hampir tidak ada diskusi tentang ruang sosial itu sendiri, khususnya bagaimana masyarakat memaknai sekaligus berusaha menciptakan dan mengkonstruksi ruang sosial pandemi[3]. Padahal, esensi dari Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Pemberlakukan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) adalah produksi dan negosiasi ruang sosial.
Kami meneliti bagaimana warga Malang Raya, Jawa Timur, menegosiasikan ruang sosial selama pandemi. Kami menemukan bahwa warga menaati kebijakan pembatasan dalam level berbeda-beda bahkan kadang bertentangan dengan maksud pemerintah.
Pemaknaan dan negosiasi kreatif
Ruang sosial[4] bukanlah sesuatu yang terbentuk secara alamiah, melainkan diproduksi dan dikonstruksikan secara sosial.
Karena sifatnya yang sosial inilah, maka ruang sosial senantiasa berubah melalui proses negosiasi antara berbagai pihak. Dalam kasus pembatasan ruang saat pandemi, negosiasi itu berlangsung antara pemerintah dengan warga.
Kami melakukan penelitian di Malang Raya karena wilayah ini pernah melaksanakan semua jenis pembatasan ruang yang ditetapkan pemerintah.
Malang Raya juga pernah menempati posisi pertama sebagai wilayah dengan rasio kematian COVID-19 tertinggi di Indonesia[5]. Artinya, ada masalah terkait penanganan COVID-19 di sana.
Kami mewawancarai enam informan dari berbagai latar belakang. Mereka adalah Ana (digital entrepreneur), Bagus (pemilik toko musik, penyintas COVID-19), Doni (pengelola warung kopi), Putri (pemilik cafe, mahasiswi), serta Aji dan Arif.
Salah satu temuan utama kami adalah masyarakat memaknai sekaligus menegosiasikan pembatasan ruang sosial akibat kebijakan PSBB dan PPKM dengan cara-cara yang kreatif.
Dengan kata lain, masyarakat memaknai pembatasan ruang sosial secara berbeda dengan maksud pemerintah.
Masyarakat memang tidak sepenuhnya menaati aturan pembatasan ruang dari pemerintah. Namun, bukan berarti masyarakat abai dengan kesehatan mereka sendiri.
Dua ilustrasi di awal tulisan adalah contoh dari negosiasi kreatif tersebut.
Dalam kasus Arif, karantina kampung secara lokal dapat dimaknai sebagai bentuk negosiasi kreatif warga terhadap kebijakan pemerintah. Karena masyarakat Indonesia berkarakter kolektif, warga lalu mencari cara untuk aman dari wabah, namun tetap dapat berinteraksi.
Sementara itu, kasus Aji yang “melanggar” aturan pembatasan sosial mencerminkan apa disebut sebagai ekspresi kapitalisme[6]. Usaha Aji dengan mencari jalan pintas agar tetap dapat mengantar penumpang dan pesanan makanan, merupakan aktivitas yang bertujuan agar roda perekonomian yang tunduk pada logika kapitalisme dapat terus berputar.
Lain lagi dengan Bagus, sembari melakukan ekspresi kapitalisme, dia juga menerapkan aturan pembatasan sosial yang ketat di tokonya. Misalnya, ia melarang calon pembeli yang tidak menggunakan masker untuk masuk ke dalam tokonya. Pembeli tak bermasker harus menunggu di luar dan Bagus akan mengambilkan barang yang ingin dibeli.
Read more: Jika diterapkan dengan baik, penutupan sekolah dan tempat kerja selama setahun pandemi di Jakarta bisa hemat hingga Rp 480 triliun[7]
Penyatuan ruang
Kami juga mengamati terjadinya penyatuan (konvergensi) ruang.
Informan kami Ana, sebagai orang yang paham bagaimana logika digital bekerja, memaknai ruang fisik dan virtual selama pandemi sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan.
Menurut Henri Lefebvre, filsuf dan sosiolog asal Prancis, ruang tidak terpisahkan dari hubungan-hubungan sosial. Baginya, ruang dibentuk oleh kapitalisme dan neo-kapitalisme[8] yang terefleksikan dalam dunia bisnis.
Misalnya dalam dunia bisnis saat ini, kita bisa jumpai pada fenomena coworking space[9], tempat orang dapat bersantai layaknya di cafe, sekaligus bekerja layaknya di kantor.
Christian Fuchs, ilmuwan sosial asal Austria, menyebut fenomena ini sebagai kapitalisme menciptakan konvergensi ruang[10]. Pandemi, menurut Fuchs, telah mendorong konvergensi ruang sampai pada titik ekstrem.
Kita bisa lihat bagaimana fungsi rumah sekarang ini. Rumah dulunya hanya sebagai tempat untuk tinggal dan beristirahat; kini, fungsi rumah mengalami konvergensi menjadi tempat untuk bekerja, bersekolah, bersantai, sekaligus beristirahat.
Konvergensi ruang ini juga terjadi pada usaha rintisan milik Ana. Semenjak pandemi, Ana melakukan semua aktivitas kantor secara daring dari rumah. Komputer kantor bahkan sampai dipindahkan ke rumah pegawai.
Uniknya, konvergensi yang terjadi di kantornya tidak hanya pada ruang-ruang fisik seperti yang dimaksud Fuchs, tapi juga konvergensi antara ruang fisik dan virtual.
Misalnya, selama bekerja dari rumah, Ana menerapkan satu aturan unik bagi pegawainya: setiap pegawai harus berjemur minimal 15 menit setiap pagi dan melaporkannya melalui ruang virtual.
Read more: Survei: pengetahuan dan partisipasi masyarakat selama PSBB masih rendah. Perlu ada perbaikan selama memulai pelonggaran[11]
Saran bagi pemerintah
Berdasarkan riset kami, hampir semua informan mengaku tidak mengetahui secara detail perbedaan antara pembatasan ruang (PSBB atau PPKM) yang satu dengan lainnya. Selain karena secara teknis memang terlalu rumit, sosialisasi yang dilakukan pun tidak maksimal.
Menjelang libur Natal dan Tahun Baru, ada wacana memperketat pembatasan ruang secara nasional[12].
Menurut kami, pemerintah bisa melakukan dua hal. Pertama, menyederhanakan aturan-aturan terkait pembatasan ruang. Kedua, meningkatkan keterlibatan pemimpin lokal dalam pembatasan ruang.
Pembatasan ruang yang paling efektif justru bukan yang didesain pemerintah pusat atau daerah, melainkan yang dilakukan secara lokal, baik yang dilakukan di kampung-kampung, maupun yang dilakukan secara personal oleh warga.
Dicky Wahyudi dan Salma Salima Hariza Nihru (mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya), serta Septamares Dwi Santosa (alumnus Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Brawijaya), ikut berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
References
- ^ Pembatasan (www.kemenkopmk.go.id)
- ^ pergerakan (money.kompas.com)
- ^ bagaimana masyarakat memaknai sekaligus berusaha menciptakan dan mengkonstruksi ruang sosial pandemi (scholar.google.com)
- ^ Ruang sosial (www.wiley.com)
- ^ posisi pertama sebagai wilayah dengan rasio kematian COVID-19 tertinggi di Indonesia (news.detik.com)
- ^ ekspresi kapitalisme (books.google.co.id)
- ^ Jika diterapkan dengan baik, penutupan sekolah dan tempat kerja selama setahun pandemi di Jakarta bisa hemat hingga Rp 480 triliun (theconversation.com)
- ^ ruang dibentuk oleh kapitalisme dan neo-kapitalisme (www.jstor.org)
- ^ coworking space (voffice.co.id)
- ^ kapitalisme menciptakan konvergensi ruang (www.triple-c.at)
- ^ Survei: pengetahuan dan partisipasi masyarakat selama PSBB masih rendah. Perlu ada perbaikan selama memulai pelonggaran (theconversation.com)
- ^ ada wacana memperketat pembatasan ruang secara nasional (news.detik.com)
Authors: Abdul Hair, Lecturer at Department of Communication, Universitas Brawijaya