Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Agar tak jadi biang emisi, pemulihan lahan gambut tidak bisa setengah-setengah

  • Written by Eli Nur Nirmala Sari, Peatland Restoration Technical Expert, World Resources Institute
Agar tak jadi biang emisi, pemulihan lahan gambut tidak bisa setengah-setengah

Sejak 2016, Pemerintah membentuk Badan Restorasi Gambut guna mengoordinasikan seluruh upaya pemulihan dua juta hektare lahan gambut hingga 2030 mendatang. Salah satu langkah vitalnya adalah melalui pembasahan kembali (rewetting) lahan gambut yang terdegradasi menjadi kering.

Lahan gambut yang mengering akan beralih fungsi dari penyimpanan karbon menjadi pelepasan karbon. Selain itu karena tingginya kandungan organik, material gambut yang kering juga menjadi rentan terbakar.

Secara teknis, pemerintah menerapkan kebijakan pembasahan kembali[1] melalui penetapan tinggi muka air (TMA) paling rendah 40 cm di bawah permukaan lahan gambut.

TMA dapat menjadi salah satu indikator risiko pelepasan emisi.[2] Semakin rendah TMA – di mana muka air tanah semakin jauh dari permukaan gambut – maka makin besar emisi karbon yang dihasilkan.

Sebaliknya, semakin tinggi TMA – yang berarti muka air tanah semakin mendekati permukaan lahan gambut[3] – maka semakin kecil emisi karbon yang dihasilkan.

Tinggi muka air (TMA) 40 cm pada lahan gambut. PRIMS

Pemerintah menganggap[4] penetapan TMA 40 cm dapat mencegah atau mengurangi terjadinya kebakaran di lahan gambut.

Sementara, kami menganggap penerapan itu akan dihadapkan pada sejumlah tantangan. Di antaranya:

  • Studi menunjukkan pembatasan TMA 40 cm tidak menjamin permukaan lahan gambut menjadi basah atau lembap. Upaya pembatasan TMA 40 cm baru optimal mengurangi emisi apabila rata-rata TMA sebelumnya lebih dari 40 cm (>40 cm). Jika TMA lebih tinggi dari angka tersebut, maka suatu kawasan gambut masih masuk dalam kategori kering[5] sehingga tidak akan menghentikan pelepasan emisi karbon melalui oksidasi gambut dan penurunan muka lahan.

  • Kami menghitung pembatasan TMA 40 cm atau pembatasan drainase 40 cm, akan tetap menghasilkan emisi sebesar 9,8 ton karbon (tC) per hektare per tahun. Perhitungan ini berdasarkan hasil penelitian yang menyatakan, setiap penurunan 10 cm tinggi muka air pada lahan gambut akan melepaskan emisi sebesar 2,45 tC/ha/tahun.[6]

  • Pembatasan TMA 40 cm mungkin dapat berkontribusi pada penurunan kejadian kebakaran lahan gambut. Namun, kebakaran itu tak dapat dihindari sepenuhnya. Sebagai contoh, di Kalimantan Tengah,[7] kebakaran di lahan gambut masih terjadi di wilayah dengan TMA 20 cm. Untuk menghindari kebakaran, kawasan ini kemungkinan membutuhkan pembasahan[8] agar TMA dapat naik hingga 5 cm di bawah permukaan lahan gambut.

  • Jika diterapkan secara merata, penerapan tinggi muka air 40 cm akan menghasilkan efektivitas pembasahan yang berbeda-beda. Kondisi ini dipengaruhi[9] oleh karakteristik gambut, jenis tutupan lahan, tingkat kerusakan lahan gambut, dan ada atau tidak adanya kanal.

  • Pemantauan kawasan gambut dengan angka TMA mencapai 40 cm sulit dilakukan dengan teknologi penginderaan jauh. Pemantauan gambut dengan TMA 40 cm membutuhkan alat pengukur TMA dengan sistem real time maupun manual pada semua wilayah yang akan dipantau.

Pelepasan emisi dari kawasan gambut sulit diredam jika upaya pembasahan tak optimal. Karena itu, upaya restorasi lahan gambut melalui pendekatan pembasahan lahan selayaknya dilakukan secara penuh, mendekati kondisi alaminya.

Ada lima alasan utama mengapa pembasahan penuh sangat penting untuk dilakukan.

Pertama, emisi karbon dapat dihindarkan apabila lahan gambut selalu dalam keadaan basah.[10] Pembasahan penuh merupakan upaya untuk benar-benar membasahkan lahan gambut mendekati kondisi alaminya, yakni kondisi selalu basah sepanjang tahun.

Kedua, target capaian pembasahan penuh adalah basahnya lahan gambut. Indikator gambut basah sebagai hasil dari kegiatan pembasahan dapat diberlakukan pada semua jenis gambut dengan karakteristik yang berbeda-beda di berbagai wilayah.

Ketiga, praktik pembasahan penuh akan dapat mencegah terjadinya kebakaran gambut atau mengurangi potensi terjadinya kebakaran secara signifikan dibandingkan dengan pembasahan sebagian atau pembasahan dengan drainase pada TMA tertentu. Pembasahan dengan drainase pada TMA tertentu, misalnya pembasahan dengan membolehkan drainase dengan TMA 40 cm akan tetap memberikan peluang terhadap terjadinya kebakaran lahan gambut.

Keempat, penerapan pembasahan penuh tidak memerlukan batasan TMA tertentu, hanya indikator ‘basah’ sebagai tolok ukurnya. Dengan demikian, kerancuan dalam pengukuran tinggi muka air di lapangan dapat dihindari.

Kelima, pemantauan sangat penting dilakukan untuk mengukur keberhasilan kegiatan pembasahan. Parameter ‘gambut basah’ akan lebih mudah dipantau[11] menggunakan penginderaan jauh dibandingkan dengan parameter tinggi muka air tertentu.

Pembasahan penuh perlu diupayakan untuk memulihkan ekosistem gambut terdegradasi dan mitigasi perubahan iklim. Namun tentu saja kegiatan ini memerlukan dukungan dari semua pihak terkait.

References

  1. ^ kebijakan pembasahan kembali (peraturan.bpk.go.id)
  2. ^ indikator risiko pelepasan emisi. (www.researchgate.net)
  3. ^ semakin mendekati permukaan lahan gambut (www.fao.org)
  4. ^ menganggap (peraturan.bpk.go.id)
  5. ^ kawasan gambut masih masuk dalam kategori kering (www.researchgate.net)
  6. ^ akan melepaskan emisi sebesar 2,45 tC/ha/tahun. (circabc.europa.eu)
  7. ^ di Kalimantan Tengah, (www.researchgate.net)
  8. ^ kemungkinan membutuhkan pembasahan (www.researchgate.net)
  9. ^ dipengaruhi (media.neliti.com)
  10. ^ apabila lahan gambut selalu dalam keadaan basah. (www.fao.org)
  11. ^ akan lebih mudah dipantau (peatlands.org)

Authors: Eli Nur Nirmala Sari, Peatland Restoration Technical Expert, World Resources Institute

Read more https://theconversation.com/agar-tak-jadi-biang-emisi-pemulihan-lahan-gambut-tidak-bisa-setengah-setengah-172523

Magazine

From pop songs to baby names: How Simeulue Island’s ‘smong’ narrative evolves post-tsunami

Simelulue men gather to perform 'nandong,' a traditional local song.(Jihad fii Sabilillah/Youtube), CC BY20 years have passed since the Aceh tsunami, leaving deep scars on Indonesia, especially for th...

Tak hanya swasembada energi, Sumatra bisa ekspor listrik bersih ke Singapura

PLTS di Singapura.(Kandl Stock/Shutterstock)Sumatra, salah satu pulau terbesar di Indonesia, memiliki potensi energi terbarukan yang besar. Sinar matahari yang menyinari pulau ini, misalnya, bisa meng...

Indonesia’s BRICS agenda: 2 reasons Prabowo’s foreign policy contrasts with Jokowi’s

Ilustrasi-ilustrasi bendera negara anggota BRICS dan mitra.justit/ShutterstockIndonesia’s decision to pursue membership in BRICS – an emerging economy bloc comprising Brazil, Russia, India...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion