Asian Spectator

Riset menunjukkan susahnya melacak misinformasi dan disinformasi politik di Tiktok

  • Written by Nuurrianti Jalli, Assistant Professor of Communication Studies College of Arts and Sciences Department of Languages, Literature, and Communication Studies, Northern State University
Riset menunjukkan susahnya melacak misinformasi dan disinformasi politik di Tiktok

TikTok adalah satu dari [lima media sosial terpopuler di dunia] tahun ini.

Tahun lalu, di Asia Tenggara, [198 juta orang], atau sekitar 29% dari total penduduk, menggunakan TikTok. Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa platform tersebut telah menjadi salah satu, jika tidak bisa disebutkan sebagai pasar utama, bagi masyarakat mengutarakan ide dan opini mereka di wilayah tersebut.

Seperti akademisi lain, tim peneliti saya juga tertarik untuk mengenal TikTok lebih dalam. Kami ingin melihat bagaimana jalannya informasi, termasuk misinformasi dan disinformasi politik, tersebar di platform ini. Perbedaan antara misinformasi dan disinformasi adalah bahwa disinformasi dibuat secara sengaja.

Selama delapan bulan masa [riset] kami, kami menemukan bahwa pelacakan atas misinformasi dan disinformasi di TikTok cukup menantang. Tantangan ini masih ada meskipun platform ini telah meluncurkan [program pengecekan kebenaran] pada tahun 2020 dalam kemitraannya dengan [organisasi cek fakta independen] di seluruh dunia yang “membantu meninjau dan menilai keakuratan konten” di platform ini.

Di bawah program ini, TikTok menunjukkan[1] berbagai bentuk misinformasi pada partnernya. Hal ini termasuk video yang ditandai pengguna TikTok sebagai misinformasi, atau yang berkaitan dengan COVID-19 dan topik lainnya “ di mana informasi yang menyesatkan biasanya berasal[2]”.

Bagaimanapun, kami tetap menemukan kesulitan-kesulitan dalam melacak misinformasi dan disinformasi pada platform ini.

Pengecekan kebenaran konten audiovisual

Sulit untuk [mengecek kebenaran pada konten audiovisual] di TikTok.

Untuk melacak mis/disinformasi secara efektif, semua konten harus ditonton dengan cermat dan dipahami berdasarkan konteks lokal. Untuk memastikan penilaian yang benar, upaya ini membutuhkan pengamatan langsung oleh manusia dan analisis video selama berjam-jam, untuk mengamati bahasa, isyarat nonverbal, istilah, gambar, teks, dan keterangan.

Inilah sebabnya mengapa pemeriksa fakta secara global mengandalkan partisipasi publik untuk melaporkan konten yang menyesatkan, selain memiliki tim pemeriksa fakta yang fokus utamanya memverifikasi konten viral.

Teknologi kecerdasan buatan dapat membantu memverifikasi beberapa unggahan ini. Namun, pengecekan kebenaran konten audiovisual masih sangat bergantung pada penilaian manusia demi mendapatkan akurasi.

Hingga saat ini, konten audio visual menjadi[3] format paling menantang untuk dicek kebenarannya di seluruh dunia. Platform media sosial yang lain juga mengalaminya.

Dalam penelitian kami, kami menemukan banyak konten yang tidak mengandung klaim yang dapat diverifikasi. Ini berarti konten itu dinilai secara objektif, atau dibantah, dan ditandai sebagai informasi yang salah.

Untuk menentukan video atau komentar mana yang berisi klaim yang tidak akurat, kami mengembangkan panduan untuk menentukan pernyataan mana yang dapat diverifikasi, yang digunakan oleh [VERA Files] di Filipina dan [Tirto.id] di Indonesia. Kedua organisasi edia tersebut adalah penandatangan [Jaringan Pengecekan Fakta Internasional Poynter].

Kami juga memasukkan [10 tanda bahaya dan tips dalam mengidentifikasi misinformasi oleh Colleen Sinclair], seorang profesor psikologi klinis di Mississippi State University.

Kami mendasarkan kerangka misinformasi kami pada kriteria untuk menentukan pernyataan yang dapat diverifikasi, yang juga digunakan oleh VERA Files di Filipina dan Tirto.id di Indonesia. Nuurrianti Jalli (2021)

Dengan menggunakan panduan ini, kami mendapati, bahwa sebagian besar video dan komentar terkait yang dipantau sulit diverifikasi karena hanya berisi pernyataan subjektif (pendapat, ajakan bertindak, dan spekulasi) atau karena dianggap tidak layak.

Sebagai contoh adalah komentar-komentar tentang UU ketenagakerjaan baru yang kontroversial di Indonesia yang dikenal sebagai [Omnibus Law], perdebatan tentang kasus pemerkosaan di sekolah yang kemudian memprakarsai gerakan [#MakeSchoolASaferPlace] di Malaysia, argumen seputar kebijakan pemerintah yang buruk di Malaysia di tengah COVID-19 yang menyulut munculnya tagar [#kerajaangagal], dan [UU Anti-Terorisme Filipina].

Komentar-komenter ini dianggap tidak dapat diverifikasi, karena adanya faktor emosional dan pendapat pengguna tentang masalah tersebut. Oleh karena itu, mereka tidak dapat ditandai sebagai komentar yang mengandung mis/disinformasi.

Temuan ini bisa berbeda jika pembuat konten dan komentator video mengintegrasikan pernyataan fakta atau “klaim yang layak” yang dapat kami periksa silang dengan sumber yang kredibel.

Mengidentifikasi beragam bahasa umum, bahasa gaul, dan jargon di TikTok

Beberapa pemeriksa fakta dan peneliti sebelumnya telah mencatat bahwa keragaman bahasa dan dialek di suatu wilayah telah mempersulit proses cek fakta bagi media lokal[4].

Dalam penelitian ini, kami juga menemukan bahwa bahasa gaul mempersulit pelacakan mis/disinformasi politik di TikTok bahkan ketika kami menganalisis konten yang diunggah dalam bahasa ibu.

Faktor-faktor seperti kesenjangan generasi dan kurangnya kesadaran akan bahasa gaul dan jargon terkini yang digunakan oleh pembuat konten dan pengguna tidak boleh diremehkan dalam memeriksa fakta konten di platform. Tidak diragukan lagi, ini juga akan menjadi masalah bagi mekanisme pengecekan fakta yang digerakkan oleh kecerdasan buatan.

Sulit bagi semua orang

Selama penelitian ini, kami menyadari bahwa melacak misinformasi di platform dapat menjadi sedikit lebih menantang bagi tim peneliti dan orang-orang biasa.

Kalau Anda bukan seorang ilmuwan data dengan kemampuan membuat [kode Python API] untuk mengumpulkan data, maka mengenali data di TikTok akan membutuhkan kerja manual.

Untuk proyek ini, tim kami memilih pilihan kedua, mengingat sebagian besar anggota kami tidak dibekali dengan keterampilan ilmu data. Kami melacak informasi yang salah di platform dengan memetakan tagar yang relevan secara manual melalui fitur [pencarian] TikTok.

Semua video TikTok diekstraksi secara manual dan diatur untuk pengecekan fakta. Kerangka kerja pengecekan fakta untuk proyek ini dikembangkan berdasarkan framework yang digunakan oleh VERAfiles dan Tirto.id. Nuurrianti Jalli (2021)

Kelemahan yang kami amati dalam menggunakan strategi ini adalah bahwa proses ini dapat memakan waktu karena keterbatasan fitur pencarian.

Pertama, fitur Discover TikTok memungkinkan pengguna untuk mengurutkan hasil hanya berdasarkan relevansi dan/atau jumlah likes pada suatu unggahan. Mereka tidak dapat mengurutkan hasil berdasarkan jumlah total penayangan, pembagian, dan/atau komentar.

Ini juga memungkinkan seseorang untuk memfilter hasil berdasarkan tanggal pengunggahan, tetapi hanya untuk enam bulan terakhir. Ini membuat pencarian data menjadi lebih lama, dan seperti dalam kasus kami, menjadi sulit.

Karena itu, kami harus menyaring entri secara manual untuk menemukan video yang relevan dengan penayangan terbanyak atau jumlah keterlibatan tertinggi yang diunggah dalam periode pemantauan yang kami pilih.

Ini membuat proses penelitian ini menjadi cukup melelahkan, terutama untuk tagar yang menghasilkan ribuan (atau lebih) video TikTok.

TikTok harus mempertimbangkan untuk meningkatkan platformnya agar pengguna dapat memfilter dan menyortir video di hasil pencarian. Pengunan juga harus dapat mengurutkan berdasarkan jumlah penayangan dan/atau keterlibatan dan tanggal pengunggahan yang disesuaikan. Individu dan pemeriksa fakta yang tertarik kemudian akan dapat melacak mis/disinformasi politik secara lebih efisien.

Ini juga akan membantu TikTok mengurangi penyebaran hoaks karena lebih banyak orang akan memiliki sarana untuk memantau mis/disinformasi secara efisien. Itu semua dapat menyempurnakan upaya tim pemeriksa fakta TikTok.

Rachel Noorajavi menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris.

Authors: Nuurrianti Jalli, Assistant Professor of Communication Studies College of Arts and Sciences Department of Languages, Literature, and Communication Studies, Northern State University

Read more https://theconversation.com/riset-menunjukkan-susahnya-melacak-misinformasi-dan-disinformasi-politik-di-tiktok-173918

Magazine

Nobel ekonomi 2024: warisan kolonial dan pesan antikorupsi untuk pemerintah mendatang

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauP...

Kehilangan idola: respons penggemar atas kematian Liam Payne menyoroti kekuatan masa kanak-kanak dan musik

Media melaporkan bahwa mantan anggota band One Direction dan artis solo Liam Payne ditemukan tewas di luar sebuah hotel di Buenos Aires. Payne yang baru berusia 31 tahun merupakan seorang teman dan ay...

Serangan siber mengintai: peta ancaman yang harus diwaspadai Prabowo-Gibran

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauP...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion