Riset: angka kebakaran hutan 2019 jauh lebih besar dibanding data pemerintah
- Written by David Gaveau, Scientist, member of the IUCN Oil Palm Task Force, International Union for the Conservation of Nature
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) adalah isu yang sensitif bagi pemerintah Indonesia.
Selain berkontribusi pada pelepasan emisi skala besar, polusi udara dari asap kebakaran juga berisiko menyebabkan berbagai masalah kesehatan.[1][2]
Meski belakangan ada penurunan laju karhutla di hutan yang masih alami, api masih sering melalap hutan dan kawasan gambut Indonesia yang sudah rusak[3].
Pada Januari 2020, saya dideportasi[4] dari Indonesia karena menerbitkan studi pendahuluan terkait angka karhutla tahun 2019 di 7 provinsi. Angka itu melebihi data resmi pemerintah.
Padahal, riset tersebut seluruhnya berbasis data satelit yang terpublikasi dan tak membutuhkan verifikasi lapangan. Studi tersebut pun masih terkait dengan izin bekerja yang saya punya.
Namun tetap saja, pemerintah mengklaim riset saya tak berizin. Klaim itu berbasis[5] Undang Undang Nomor 11 Tahun 2019 tentang Sistem Nasional Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Sisnas Iptek) yang memperketat kegiatan riset kolaboratif, terutama bagi peneliti dari luar negeri.
Pemerintah juga menganggap riset kami tidak valid[6] karena belum melalui proses peer-review (telaah sejawat) dan belum melalui verifikasi di lapangan.
Kejadian itu sangat disayangkan. Ketimbang menanggapi riset kami dengan diskusi ilmiah, hanya karena temuan yang berlawanan, pemerintah justru langsung mengeluarkan saya dari Indonesia.
Dua tahun kemudian, riset kami sudah melalui tahap peer-review dan terbit[7] di jurnal Earth System Science Data.
Ternyata hasilnya, ada lebih dari 3,11 juta hektare (ha) lahan yang terbakar di seluruh Indonesia pada 2019.
Angka itu dua kali lipat lebih besar dibanding data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebesar 1,64 juta ha[8].
Perbandingan data estimasi area terbakar per provinsi dapat dilihat di bawah ini.
Kami memvalidasi peta area terbakar dan serangkaian data resmi KLHK secara ketat dengan membandingkannya dengan dataset (kumpulan data) acuan yang telah dirancang secara cermat. Sepengetahuan kami, belum ada satu pun penelitian dengan analisis data seketat ini di Indonesia.
Dalam riset ini, kami tidak melakukan verifikasi lapangan karena pendekatan tersebut tak cocok digunakan dalam asesmen akurasi data. Verifikasi langsung hanya diperlukan untuk kebutuhan analisis forensik di suatu lahan yang terbakar.
Untuk memperkirakan tingkat eror dalam peta, kami membutuhkan data referensi lokasi yang tersebar secara acak di seluruh Indonesia dan dilengkapi dengan karakter-karakter khusus. Kami kemudian membuat dataset acuan dari 1.298 lokasi berdasarkan pengamatan visual citra satelit Sentinel-2[9]. Satelit itu melakukan proses pencitraan ulang (revisit) yang cepat, yakni setiap lima hari.
Proses pembuatan dataset acuan lokasi tersebut tak bisa dilakukan secara langsung di lapangan lantaran membutuhkan begitu banyak sumber daya manusia.
Seluruh data termasuk gambar pra dan pasca-kebakaran, lahan yang terbakar, dan titik-titik referensi yang dilengkapi dengan screenshots (tangkapan layar) dapat diakses melalui apilikasi ini[10].
Kami juga mengukur tingkat kesalahan dari peta kami maupun pemerintah. Hasilnya, dibanding peta karhutla pemerintah, peta versi kami memiliki tingkat kesalahan yang jauh lebih rendah. Artinya, peta pemerintah melewatkan jauh lebih banyak area terbakar dibandingkan peta versi kami.
Kami berhasil menemukan area terbakar yang lebih besar (3,11 juta ha) berkat teknologi mutakhir yang dapat mendeteksi lebih banyak area terbakar kecil maupun besar dan menganalisisnya secara otomatis. Kami menggunakan data satelit yang lebih canggih, dilengkapi dengan machine learning (pembelajaran mesin) dan perangkat superkomputer Google.
Sementara, data pemerintah hanya berbasis interpretasi visual dari citra satelit melalui delineasi atau penggambaran batas-batas area terbakar yang dilakukan sejumlah petugas secara manual.
Proses entri manual dengan komputer memang bisa menciptakan data yang akurat. Namun, jika skalanya adalah suatu negara, maka proses ini amat memakan waktu.
Selain itu, proses delineasi manual suatu area terbakar yang kecil juga berisiko melewatkan banyak detil.
Patut dicatat bahwa pencitraan ulang (revisit) satelit Landsat[11] – yang digunakan KLHK – berlangsung setiap 16 hari. Sedangkan data visual dari satelit Sentinel-2 yang kami lakukan adalah hasil revisit setiap lima hari.
Pengambilan gambar yang lebih sering meningkatkan peluang satelit untuk menangkap lebih banyak gambar suatu lokasi yang lebih jelas, bebas dari awan maupun asap. Karena itu, satelit dapat ‘melihat’ lebih banyak area terbakar.
Di tahap akhir, berkat aplikasi Google Earth, kami menganalisis arsip gambar seluruh daerah Indonesia dari citra satelit Sentinel-2. Totalnya, ada sekitar 47 ribu gambar.
Sedangkan KLHK paling banter menginterpretasikan ratusan gambar saja.
Indonesia, bersama lebih dari 130 negara, menyepakati komitmen global[12] untuk meredam dan membalikkan angka deforestasi pada 2030.
Upaya pemenuhan komitmen tersebut membutuhkan data kebakaran yang akurat. Data tersebut dapat digunakan para ilmuwan dan pemerintah untuk menyusun kebijakan pengurangan emisi karbon di atmosfer, dan perbaikan kualitas udara di suatu daerah.
Pemerintah Indonesia memang berhasil mengurangi laju deforestasi. Tapi, kebakaran tahun 2019 menunjukkan bahwa upaya pengurangan laju karhutla masih belum optimal.
Perbaikan kapasitas negara dalam mengukur emisi karbon juga semestinya dibekali dengan data yang paling akurat. Harapannya, upaya pengurangan emisi, maupun tujuan lainnya yang relevan, dapat sejalan dengan komitmen iklim nasional.[13]
Dalam konferensi iklim dunia tahun lalu (COP26), belasan negara berkomitmen[14] mengucurkan pendanaan hingga US$ 12 miliar (Rp 172 triliun) mulai 2021 hingga 2025. Pendanaan ini bakal digunakan untuk menangani karhutla, restorasi kawasan, dan mendukung pemenuhan hak-hak kaum adat.
Selain negara, komitmen tersebut juga diteken oleh sektor swasta yang akan menyalurkan dana US$ 7.2 miliar (Rp 103 triliun) sekaligus menekan pendanaan kegiatan yang terkait dengan deforestasi.
Adanya perbedaan data kebakaran tahun 2019 menunjukkan bahwa proses audit terhadap pendanaan ataupun hibah internasional sangatlah penting. Jika kita betul-betul menginginkan perbaikan kondisi bumi ini, maka transparansi mesti menjadi hal yang vital.
References
- ^ emisi skala besar, (www.carbonbrief.org)
- ^ masalah kesehatan. (theconversation.com)
- ^ rusak (theconversation.com)
- ^ dideportasi (www.science.org)
- ^ berbasis (science.sciencemag.org)
- ^ tidak valid (foresthints.news)
- ^ terbit (essd.copernicus.org)
- ^ 1,64 juta ha (www.greenpeace.org)
- ^ Sentinel-2 (sentinel.esa.int)
- ^ apilikasi ini (thetreemap.users.earthengine.app)
- ^ Landsat (www.sciencedirect.com)
- ^ komitmen global (ukcop26.org)
- ^ komitmen iklim nasional. (drive.google.com)
- ^ berkomitmen (ukcop26.org)
Authors: David Gaveau, Scientist, member of the IUCN Oil Palm Task Force, International Union for the Conservation of Nature