Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Tidak melulu soal metrik, menggaet ‘influencer’ perlu pendekatan personal, kebebasan, dan kepercayaan

  • Written by Zeynep Arsel, Professor, Management, University of Bath and Concordia University Chair in Consumption, Markets, and Society, Concordia University
A smartphone films a young woman unpacking a cardboard box

Influencer marketing kini sudah menjadi salah satu instrumen terpenting dalam strategi pengembangan bisnis[1]. Perusahaan-perusahaan di hampir semua sektor mengandalkan kanal media sosial untuk mempromosikan produk dan layanan mereka.

Meskipun penggunaannya kian marak dan berdampak besar, pemasaran dengan menggunakan jasa influencer masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk ketidakpastian dan ambiguitas. Mekanisme pemasaran semacam ini juga masih menjadi kontroversi, baik di kalangan praktisi maupun masyarakat umum.

Pertanyaan yang sering muncul adalah: Bagaimana cara mengukur efektivitas kampanye influencer? Bagaimana influencer memastikan bahwa kemitraan merek tidak memengaruhi hubungan mereka dengan audiens? Siapa yang mengendalikan proses pembuatan konten kreatif selama kampanye influencer?

Dalam artikel penelitian terbaru yang terbit di Journal of Marketing[2], kami membahas ambiguitas ini, dengan fokus pada dua area inti yang relevan bagi influencer dan merek: Cara menentukan nilai konten bersponsor dan cara memproduksi konten bersama.

Studi kami mengambil sampel dari berbagai sumber, termasuk wawancara dengan influencer dan perantara influencer, podcast, artikel media, serta ulasan platform pihak ketiga. Kami melakukan 21 wawancara utama dan menyalin 37 wawancara sekunder dari siniar. Sampel ini mencakup influencer dalam bidang mode, makanan, kosmetik, perjalanan, gaya hidup, kesehatan, dan seksualitas.

Ulasan CNBC Internasional tentang bagaimana influencer mengubah industri periklanan.

Kedua belah pihak saling memiliki keraguan

Salah satu tantangan utama yang menonjol dalam kerjasama antara merek dan influencer adalah merek sering kali kesulitan menentukan output nilai konten bersponsor. Mereka juga kesulitan mengukur laba atas investasi dari kampanye influencer[3].

Di sisi lain, para influencer yang kami wawancarai mengatakan bahwa mereka juga kerap bingung dalam menentukan biaya dan penagihan atas pekerjaan mereka.

Masalah umum lainnya adalah permasalahan klausul pembayaran[4]. Bagi merek, pembayaran di muka dapat berisiko jika influencer tidak mematuhi ketentuan kemitraan. Sementara di lain sisi, skema pembayaran berdasarkan konversi dapat merugikan influencer, karena hasil penjualan sering kali dipengaruhi faktor di luar kendali mereka, menjadikan metode ini tidak sepenuhnya adil.

Merek dan influencer juga perlu menyepakati ketentuan kemitraan dan memutuskan siapa yang akan bertanggung jawab atas setiap elemen kampanye, seperti:

Ketiga pertanyaan ini setidaknya harus bisa disepakati dengan sebaik-baiknya untuk memperoleh keuntungan bersama dan jalinan kerjasama yang efektif.

Kreativitas vs pembatasan

Untuk memetakan ketidakpastian influencer marketing, kedua belah pihak harus terlibat dalam apa yang oleh para akademisi disebut pekerjaan berbasis pengetahuan[5] — proses menciptakan dan menerapkan pengetahuan secara strategis berbasis landasan yang aktual dan akurat.

Dinamika ini juga mencakup entitas pihak ketiga yang bertindak sebagai mediator, membangun metrik, mencocokkan merek dengan influencer, dan mengukur hasil melalui penilaian ahli atau berbasis algoritma[6].

A smartphone films a young woman unpacking a cardboard box
Para influencers merasa banyaknya aturan dari merek membuat mereka melakukan pekerjaan setengah hati. (Shutterstock)

Penelitian kami menemukan bahwa semua pekerjaan berbasis pengetahuan ini menghasilkan perubahan signifikan di pasar dan menganggu hubungan antara merek dan influencer.

Contoh, ketika merek memberi batasan kepada influencer agar tidak terang-terangan dalam mempromosikan suatu produk, hal tersebut justru membatasi kreativitas influencer. Hal ini tidak hanya dapat memengaruhi originalitas pesan[7], tetapi juga menjauhkan influencer dari audiens mereka.

Influencer sering kali membangun hubungan parasosial[8] dengan pengikut mereka melalui konten yang menarik dan relevan. Oleh karena itu ketika originalitas konten dikompromikan, hubungan ini dapat rusak.

Read more: Bagaimana 'influencer' dan fenomena FOMO, YOLO, FOPO memicu kita kalap belanja lewat media sosial[9]

Para influencer yang kami wawancarai merasa bahwa limitasi berlebihan oleh merek terhadap pekerjaan mereka mengungkung kreativitas dan akhirnya membuat pekerjaan mereka kurang optimal.

Namum, karena kompensasi influencer bergantung pada metrik, konsensus ini kerap mendorong mereka untuk membeli pengikut palsu[10] atau memanipulasi metrik keterlibatan agar tampak lebih sukses.

Karena itulah, beberapa merek melirik layanan pihak ketiga untuk mengawasi influencer[11]. Sebab, praktik ini berisiko merusak kepercayaan yang diperlukan untuk kemitraan yang efektif dan manfaat yang muncul dari pengembangan hubungan jangka panjang, seperti sinergi yang lebih besar antara merek dan influencer.

Rekomendasi untuk para influencer dan merek

Upaya untuk mengurangi ambiguitas seputar konten bersponsor telah mengubah industri influencer. Inisiasi ini memunculkan cara baru dalam mengukur efektivitas kampanye seperti metrik kepemilikan, menciptakan entitas baru seperti agensi influencer[12], menghadirkan lapangan pekerjaan baru seperti direktur pemasaran influencer[13], dan terciptanya platform baru — 62 di antaranya ditinjau dalam studi kami — untuk menjawab tantangan ini.

Namun, temuan kami menunjukkan disrupsi yang terjadi ini tidak selalu menguntungkan pelaku industri. Sebaliknya, perubahan ini dapat memperbesar ketidakseimbangan antara merek dan kreator[14], seperti meningkatkan ketidakpercayaan, pengawasan, ketergantungan berlebihan pada metrik yang tidak lengkap, dan bahkan manipulasi metrik tersebut.

Untuk mengatasi tantangan ini, kami mengusulkan rekomendasi berikut:

Untuk influencers:

  1. Para influencer harus mempertimbangkan untuk melakukan alih daya tugas bisnis atau mempelajari keterampilan manajerial agar dapat mengendalikan kemitraan merek mereka dengan lebih baik.

  2. Para influencer harus mempertimbangkan untuk terlibat dalam tindakan kolektif guna mengadvokasi dan melindungi kepentingan mereka, mengatasi ketidakseimbangan kekuasaan, dan menciptakan praktik industri yang lebih adil.

Untuk para merek:

  1. Merek harus menyadari bahwa influencer memiliki banyak peran dan menangani banyak kemitraan dan audiens. Menekan influencer untuk mengubah gaya mereka dapat merusak keaslian dan mengikis hubungan mereka dengan pengikut dan kolaborator lainnya.

  2. Menekankan terlalu banyak hal pada metrik jangka pendek[15] atau menerapkan kontrol berlebihan atas konten bersponsor dapat merusak kualitas konten yang diproduksi serta keberlanjutan hubungan dengan influencer.

Rekomendasi ini diharapkan dapat membangun praktik yang lebih adil dan berkelanjutan dalam industri influencer marketing dan meluas ke industri berkembang lainnya, seperti metaverse[16], NFT[17] dan kecerdasan buatan generatif.

Sektor-sektor ini menghadapi tantangan serupa karena produk dan layanan mereka belum sepenuhnya dipahami oleh kreator atau konsumennya. Seperti halnya pemasaran influencer, mereka memerlukan penciptaan dan penerapan pengetahuan yang berkelanjutan agar dapat berfungsi secara efektif.

References

  1. ^ salah satu instrumen terpenting dalam strategi pengembangan bisnis (www.fastcompany.com)
  2. ^ artikel penelitian terbaru yang terbit di Journal of Marketing (doi.org)
  3. ^ mengukur laba atas investasi dari kampanye influencer (hbr.org)
  4. ^ permasalahan klausul pembayaran (digiday.com)
  5. ^ pekerjaan berbasis pengetahuan (www.forbes.com)
  6. ^ atau berbasis algoritma (doi.org)
  7. ^ originalitas pesan (business.leeds.ac.uk)
  8. ^ hubungan parasosial (theconversation.com)
  9. ^ Bagaimana 'influencer' dan fenomena FOMO, YOLO, FOPO memicu kita kalap belanja lewat media sosial (theconversation.com)
  10. ^ membeli pengikut palsu (www.forbes.com)
  11. ^ beberapa merek melirik layanan pihak ketiga untuk mengawasi influencer (digiday.com)
  12. ^ menciptakan entitas baru seperti agensi influencer (www.forbes.com)
  13. ^ menghadirkan lapangan pekerjaan baru seperti direktur pemasaran influencer (influencermarketinghub.com)
  14. ^ memperbesar ketidakseimbangan antara merek dan kreator (www.theatlantic.com)
  15. ^ terlalu banyak hal pada metrik jangka pendek (hbr.org)
  16. ^ metaverse (www.mckinsey.com)
  17. ^ NFT (www.forbes.com)

Authors: Zeynep Arsel, Professor, Management, University of Bath and Concordia University Chair in Consumption, Markets, and Society, Concordia University

Read more https://theconversation.com/tidak-melulu-soal-metrik-menggaet-influencer-perlu-pendekatan-personal-kebebasan-dan-kepercayaan-246156

Magazine

Tidak melulu soal metrik, menggaet ‘influencer’ perlu pendekatan personal, kebebasan, dan kepercayaan

Influencer marketing kini sudah menjadi salah satu instrumen terpenting dalam strategi pengembangan bisnis. Perusahaan-perusahaan di hampir semua sektor mengandalkan kanal media sosial untuk mempromos...

20 tahun pasca-tsunami Aceh, kontribusi perempuan tak diakui, kebijakan daerah masih diskriminatif

Seorang perempuan berdiri di depan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.Bithography/Shutterstock20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para p...

Riset: Anak pekerja migran yang ditinggalkan hadapi tantangan sosial dan psikologis

Ilustrasi anak-anak di Indonesia.our brain/ShutterstockSetiap tahun, ratusan ribu warga Indonesia pergi ke luar negeri untuk bekerja. Lebih dari lima juta pekerja migran Indonesia (termasuk orang tua ...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion