Melawan krisis iklim: kita kekurangan tokoh-tokoh fiksi bergaya hidup ramah lingkungan
- Written by Denise Baden, Professor of Sustainable Practice, University of Southampton
Inovasi teknologi dan pengembangan energi terbarukan sering dianggap sebagai solusi untuk memecahkan persoalan lingkungan. Padahal, sejarah menunjukkan bahwa kemajuan teknologi yang mempermudah kehidupan kita justru memicu budaya konsumtif[1]. Hal tersebut kemudian menciptakan masalah lingkungan baru seperti tumpukan sampah plastik, polusi perairan, dan aktivitas pertambangan.
Agar persoalan iklim dan biodiversitas bisa ditangani secara efektif, budaya konsumtif perlu diubah. Salah satu aspek yang menopangnya adalah keberadaan karakter-karakter yang ditampilkan di layar kaca ataupun buku-buku.
Banyak tokoh-tokoh global yang memenuhi kriteria ini. Salah satunya adalah Sir David Attenborough yang sangat menyayangi alam raya. Ada pula pembawa acara reality show The Apprentice UK sekaligus konglomerat asal Inggris, Alan Sugar.
Selain nama-nama di atas, tokoh fiksi juga memiliki pengaruh yang tak bisa diremehkan dalam pembentukan nilai-nilai budaya kita. Pengaruh tersebut dilandasi studi dalam ranah hiburan edukatif (educational entertainment) yang menunjukkan bahwa orang-orang yang fokus dan ‘tenggelam’ dalam suatu cerita menarik akan lebih terbuka terhadap pesan-pesan persuasif yang ada di dalamnya.
Konsep ini bernama narrative transportation [2], yang juga menunjukkan bahwa karakter-karakter fiksi[3] bisa memberikan pengaruh positif dan negatif terhadap suatu kebudayaan.
Studi sains kognitif juga mengamini pentingnya tokoh-tokoh fiksi tersebut karena dapat melekat dalam proses pengolahan informasi dan analisis di otak kita. Exemplar theory[4] menyebutkan bahwa tokoh-tokoh fiksi tanpa sadar mempengaruhi nilai-nilai dan perilaku kita, melebihi suatu imbauan bahkan perintah.
Sialnya, saat ini karakter-karakter ‘hijau’ yang mendukung nilai-nilai ramah lingkungan justru ditampilkan sebagai pihak yang menyebalkan, kikuk, atau aneh[5]. Padahal, upaya normalisasi perilaku tersebut dalam keseharian kita sangat dibutuhkan.
Di saat yang sama, serial TV seperti And Just Like That…, Riviera, ataupun Emily in Paris justru memuat tokoh-tokoh yang mengumbar gaya hidup jetset: mobil-mobil mewah, jet pribadi, dan fast fashion yang justru berperan menghancurkan planet kita.
Carole Bethuel/Netflix[6]Karakter utama dalam serial Emily in Paris adalah warga Amerika Serikat (AS) yang kikuk namun menyenangkan. Sang tokoh bekerja sebagai staf pemasaran produk mewah dan punya segudang cara kreatif agar konsumen makin getol membeli beraneka produk baru.
Emily memakai baju yang berbeda setiap hari. Tak ada yang tahu apakah busananya yang begitu banyak bisa muat di dalam apartemennya yang mungil.
Imbas dari film ini begitu mudah ditebak. Orang-orang jadi mendambakan cara berpakaian Emily[7], dan bermimpi menjalani hidup seperti dia[8].
Sayangnya, itu semua karangan belaka. Di kehidupan nyata, industri fesyen ‘mengobarkan’ emisi karbon dua kali lipat lebih banyak dari gabungan emisi sektor penerbangan dan pelayaran[9]. Penggunaan pestisida dalam produksi katun, pemakaian bahan kimia saat pengeringan, dan juga mikroplastik justru mencemari perairan di banyak tempat. Tren fast fashion yang menggenjot produksi garmen – tapi memangkas umur pakainya – terus melaju tanpa rem.
Emily bisa saja dibingkai sebagai tokoh yang peduli dengan kelangsungan bumi tanpa mengorbankan keseruan busananya, chef tampan yang menjadi dambaannya, ataupun latar kota Paris kesayangannya. Misalnya, dia bisa menggunakan pakaian dari hasil tukar-menukar (clothing swap) ataupun toko barang bekas[10]. Dia dapat menggunakan kepiawaiannya untuk memasarkan platform busana seken[11].
Sang tokoh juga bisa menyewa[12],meminjam[13], berbagi sesuatu,[14] ataupun membeli perlengkapan bekas pakai lainnya[15].
Sayangnya, sutradara serial ini justru memilih untuk menampilkan kebiasaan klasik perempuan yang gemar berbelanja, lalu pulang dengan membawa belanjaan busana yang terbungkus plastik, berjejer di tangannya. Kita pun tak pernah tahu berapa kali pakaian tersebut akan dikenakan.
Banyak bukti yang mendukung bahwa keberadaan ‘karakter-karakter hijau’ dapat berdampak pada perubahan perilaku. Misalnya, berkat film Don’t Look Up besutan Netflix, sekitar 250 ribu[16] orang sudah berkomitmen untuk melakukan aksi-aksi positif seperti dialog perubahan iklim, upaya mengurangi emisi, dan sebagainya.
Selain itu, temuan awal dari riset kami[17] terkait tanggapan pembaca dari novel bertema lingkungan karya saya, Habitat Man[18], mengindikasikan bahwa beragam solusi hijau yang diselipkan dalam suatu cerita bisa memicu perubahan perilaku.
References
- ^ budaya konsumtif (econtent.hogrefe.com)
- ^ narrative transportation (library.oapen.org)
- ^ karakter-karakter fiksi (www.liebertpub.com)
- ^ Exemplar theory (www.journals.uchicago.edu)
- ^ pihak yang menyebalkan, kikuk, atau aneh (theveganreview.com)
- ^ Carole Bethuel/Netflix (media.netflix.com)
- ^ cara berpakaian Emily (www.elle.com)
- ^ menjalani hidup seperti dia (www.shondaland.com)
- ^ dari gabungan emisi sektor penerbangan dan pelayaran (earth.org)
- ^ toko barang bekas (www.vinted.co.uk)
- ^ platform busana seken (www.thredup.com)
- ^ menyewa (byrotation.com)
- ^ meminjam (onloan.co)
- ^ berbagi sesuatu, (www.hurrcollective.com)
- ^ perlengkapan bekas pakai lainnya (www.cosstores.com)
- ^ 250 ribu (dontlookup.count-us-in.com)
- ^ riset kami (habitatpress.com)
- ^ Habitat Man (habitatpress.com)
- ^ pemakaman yang alami (funerals.org)
- ^ telah diapresiasi (books2read.com)
- ^ kompetisi penulisan cerita hijau (www.greenstories.org.uk)
- ^ (_sharing economy) (en.wikipedia.org)
- ^ We are Albert (wearealbert.org)
- ^ kompetisi video pendek (www.greenstories.org.uk)
Authors: Denise Baden, Professor of Sustainable Practice, University of Southampton