Asal muasal istilah ‘Raja Jawa’ dan bahayanya bagi demokrasi Indonesia
- Written by M. Luthfi Khair A, Peneliti Bidang Sejarah Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Pada pertengahan 2024 lalu, sempat viral pernyataan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengenai “Raja Jawa[1]”. Istilah tersebut ia lontarkan dalam konteks proses pergantian jabatan Ketua Umum Partai Golkar yang ia terima.
Bahlil saat itu menyebutkan adanya pengaruh elite politik nasional yang kuat dalam penetapan dirinya. Pernyataan ini mengisyaratkan adanya kekuatan besar yang mengatur jalannya politik di Indonesia, yang sering kali tidak terlihat oleh publik.
Istilah Raja Jawa digunakan untuk menggambarkan kekuatan ini—merujuk pada figur atau kelompok yang memiliki pengaruh besar dalam menentukan arah politik nasional.
Istilah Raja Jawa kemudian memicu diskusi hangat di kalangan pengamat politik dan khususnya akademisi. Pasalnya, istilah ini sudah jarang terdengar sejak era Orde Baru tergantikan oleh era Reformasi[2]. Kembali mencuatnya istilah ini sebenarnya menimbulkan kekhawatiran tentang kondisi demokrasi di Indonesia.
Asal muasal istilah ‘Raja Jawa’
Istilah “Raja Jawa” memiliki akar yang mendalam pada budaya feodal[3] Jawa sejak era kerajaan–kesultanan di Nusantara.
Feodalisme[4] adalah sistem politik dan sosial yang berkembang di Eropa abad pertengahan, dengan bentuk susunan hierarki yang melibatkan hubungan patron (pemimpin) – klien (yang dipimpin). Dalam konteks Indonesia, feodalisme sering dikaitkan dengan masa kerajaan-kerajaan di Nusantara, di mana kekuasaan terpusat pada keputusan raja sebagai perwakilan dewa dan rakyat harus menaatinya secara penuh.
Meskipun Indonesia mengadopsi sistem demokrasi, elemen-elemen feodalisme masih terlihat dalam perpolitikan Indonesia. Feodalisme di era pemerintahan modern Indonesia[5], sangat terasa sekali terjadi pada masa dekade kedua rezim Orde Baru.
Sebagai seorang yang kental dengan adat tradisi Jawa, Presiden Soeharto mengadopsi nilai filosofis kepemimpinan Kerajaan Mataram[6] di mana ketika seseorang menerima wahyu kepemimpinan, maka harus dilakukan secara total dan jangan ada yang mengganggu prosesnya.
Presiden sebagai posisi eksekutif merupakan core of government, yakni memiliki peran yang tunggal sebagai pemimpin. Hal ini menyebabkan pasifnya peran Wakil Presiden pada era Orde Baru[7]. Wakil Presiden hanya menjadi pelengkap formalitas demokrasi, namun kekuasaan tetap ada di Presiden. Bahkan orang-orang terdekat Presiden Suharto mengonfirmasi[8] jika Presiden Suharto memosisikan dirinya sebagai Raja Jawa.
Di kemudian hari, istilah ini digunakan untuk menggambarkan sentralisasi kekuasaan[9] di tangan segelintir elite politik yang berpusat di Jawa dan kebetulan juga berasal dari suku Jawa. Sentralisasi ini menciptakan ketimpangan kekuasaan antara pusat dan daerah—yang menjadi salah satu kritik utama terhadap pemerintahan Orde Baru.
Pada era Reformasi, meskipun ada upaya desentralisasi, nyatanya muncul “raja-raja” kecil di level provinsi, kabupaten/kota, bahkan kelurahan/desa[10] yang menjadi simbol ketimpangan kekuasaan. Sentralisasi kekuasaan di tangan elite politik tertentu inilah yang kembali menciptakan oligarki dan merusak prinsip demokrasi selepas jatuhnya rezim Orde Baru.
Ben Anderson[11] dan Edward Aspinall[12] telah mengkritik pola oligarki ini, karena menghambat partisipasi politik yang lebih luas dan merata. Selain itu, oligarki di Indonesia beroperasi melalui kontrol ekonomi dan politik yang terpusat[13].
Raja Jawa juga mengingatkan kita pada teori kekuasaan[14] yang menekankan bahwa kekuasaan tidak hanya terletak pada institusi formal, tetapi juga tersebar dalam jaringan sosial yang kompleks.
Legitimasi feodalisme politik
Kehadiran “Raja Jawa” mencerminkan legitimasi feodalisme[15] politik yang masih kuat di Indonesia. Feodalisme ini menciptakan konsentrasi kekuasaan yang merusak prinsip inklusi demokrasi. Demokrasi tidak lagi menjadi alat untuk mewujudkan keadilan sosial, melainkan menjadi sarana bagi elite politik untuk mempertahankan kekuasaan mereka.
Robert Dahl dalam “Polyarchy”[16] menekankan pentingnya pluralisme dan kompetisi politik untuk mencegah dominasi kekuasaan oleh segelintir elite.
Sebagai Indonesianis, Ben Anderson dalam “Komunitas-Komunitas Terbayang[17]” menyoroti bagaimana nasionalisme dan identitas politik sering kali dibentuk oleh elite untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Sementara Aspinall dalam “Democracy for Sale”[18] mengkritik bagaimana politik uang dan patronase menjadi alat bagi elite untuk mengontrol proses demokrasi.
Demokrasi deliberatif, pendidikan politik, dan media yang objektif
Untuk mengatasi problematika yang sudah mendarah daging itu, kita bisa coba menerapkan beberapa metode yang sesuai dengan karakter Indonesia. Beberapa di antaranya adalah demokrasi deliberatif, pendidikan politik, dan narasi media yang objektif.
**1. Demokrasi deliberatif
Demokrasi deliberatif[19] adalah cara dalam berdemokrasi yang menekankan pentingnya diskusi dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan politik. Istilah “demokrasi deliberatif[20]” berasal dari kata Latin deliberatio yang berarti musyawarah atau konsultasi. Konsep ini mulai dikenal luas pada tahun 1980-an, dengan tokoh-tokoh seperti Jürgen Habermas[21] yang menekankan pentingnya dialog dan komunikasi yang rasional[22] dalam proses demokrasi untuk mendapatkan dukungan dari masyarakat.
Keunggulan dari demokrasi deliberatif adalah kemampuannya untuk menciptakan ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi dan berdebat secara legal di mata hukum. Dengan cara ini, keputusan yang diambil menjadi lebih sah dan diterima oleh banyak orang. Demokrasi ini juga berusaha memperbaiki kelemahan dari sistem demokrasi yang lebih tradisional dengan menambahkan elemen diskusi yang memungkinkan masyarakat untuk menguji dan mempertimbangkan keputusan politik secara bersama.
2. Pendidikan politik
Pendidikan politik juga menjadi langkah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara. Dengan pendidikan politik yang baik, masyarakat dapat lebih kritis terhadap praktik politik yang tidak demokratis dan lebih aktif dalam berpartisipasi dalam proses politik.
Ini perlu menjadi perhatian bagi partai politik yang secara hukum memang berperan sebagai edukator dan pengaderan politik[23] bagi masyarakat di negara demokrasi. Sehingga ke depannya tidak perlu ada lagi fenomena “serangan fajar[24]” yang membuat masyarakat aktif dalam Pemilu dan memilih pasangan tertentu tanpa melihat prestasi dan rekam jejaknya.
3. Narasi media
Selain itu, media juga harus berperan penting dalam membentuk opini publik dan narasi politik sebagai agen perubahan yang mendorong narasi politik yang egaliter. Media harus berani mengkritik praktik politik yang tidak demokratis dan memberikan ruang bagi suara-suara yang selama ini terpinggirkan.
Noam Chomsky dalam “Manufacturing Consent”[25] menyoroti bagaimana media sering kali digunakan sebagai alat propaganda oleh elite, dan pentingnya media independen untuk menjaga demokrasi.
Pada akhirnya, kemunculan kembali istilah “Raja Jawa” menunjukkan bahwa demokrasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Konsentrasi kekuasaan yang tidak tepat merusak prinsip demokrasi dan menciptakan ketimpangan kekuasaan yang merugikan masyarakat luas.
Untuk mengatasi masalah ini, demokrasi deliberatif, pendidikan politik, dan narasi media yang objektif menjadi sebuah tawaran langkah penting yang dapat diambil. Dengan demikian, kita dapat mengakhiri warisan budaya politik yang otoritarian dan mewujudkan demokrasi yang lebih adil dan inklusif.
References
- ^ Raja Jawa (www.tempo.co)
- ^ Reformasi (www.researchgate.net)
- ^ feodal (aksiologi.org)
- ^ Feodalisme (www.scitepress.org)
- ^ Feodalisme di era pemerintahan modern Indonesia (www.researchgate.net)
- ^ Presiden Soeharto mengadopsi nilai filosofis kepemimpinan Kerajaan Mataram (historia.id)
- ^ pasifnya peran Wakil Presiden pada era Orde Baru (portal.fisip-unmul.ac.id)
- ^ orang-orang terdekat Presiden Suharto mengonfirmasi (historia.id)
- ^ sentralisasi kekuasaan (home.iitk.ac.in)
- ^ level provinsi, kabupaten/kota, bahkan kelurahan/desa (jurnal.kemendagri.go.id)
- ^ Ben Anderson (indoprogress.com)
- ^ Edward Aspinall (www.prismajurnal.com)
- ^ kontrol ekonomi dan politik yang terpusat (sudimara-tabanan.desa.id)
- ^ teori kekuasaan (monoskop.org)
- ^ feodalisme (aksiologi.org)
- ^ Robert Dahl dalam “Polyarchy” (dispes.units.it)
- ^ Komunitas-Komunitas Terbayang (insistpress.com)
- ^ Aspinall dalam “Democracy for Sale” (www.degruyter.com)
- ^ Demokrasi deliberatif (jmi.ipsk.lipi.go.id)
- ^ demokrasi deliberatif (journal.unair.ac.id)
- ^ Jürgen Habermas (iep-utm-edu.translate.goog)
- ^ dialog dan komunikasi yang rasional (jurnal.ugm.ac.id)
- ^ edukator dan pengaderan politik (jurnal.unigal.ac.id)
- ^ serangan fajar (journal.bawaslu.go.id)
- ^ Noam Chomsky dalam “Manufacturing Consent” (edisciplinas.usp.br)
Authors: M. Luthfi Khair A, Peneliti Bidang Sejarah Indonesia, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)