Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Riset: mengapa skandal gagal menggoyang perusahaan-perusahaan besar

  • Written by Irina Surdu, Associate Professor of International Business Strategy, Warwick Business School, University of Warwick
Riset: mengapa skandal gagal menggoyang perusahaan-perusahaan besar

Semua orang pernah berbuat kesalahan – termasuk perusahaan-perusahaan besar dunia, yang rentan terhadap kesalahan yang tidak disengaja, kegagalan dalam membuat keputusan, hingga pelanggaran.

Kadang, momen-momen ini menimbulkan skandal perusahaan, yang membuat perusahaan menjadi sorotan dan aktivitasnya diawasi publik secara detail.

Namun, apakah kesalahan-kesalahan ini membawa dampak panjang? Apakah tumpahan minyak, aktivitas penipuan, atau perilaku tidak etis lainnya benar-benar memengaruhi reputasi, penjualan, dan nilai pasar mereka yang tinggi?

Riset kami menyatakan tidak.

Faktanya, analisis kami[1] terhadap berbagai jenis skandal bisnis menunjukkan bahwa efek dari skandal-skandal tersebut tidak separah dugaan kami.

Bahkan, publik tampaknya memiliki kecenderungan kuat untuk melupakan dan move on. Perhatian awal yang tidak direncanakan (dan tidak diinginkan) tersebut justru meningkatkan kesadaran merek yang lebih besar di masyarakat, dan membuktikan pepatah lama bahwa publisitas dalam bentuk apa pun adalah publisitas yang baik.

Mari kita lihat saksama kehebohan yang menimpa Spotify[2]. Pada awal 2022, para profesional sains dan kesehatan menuduh layanan streaming musik terbesar di dunia ini menyediakan platform untuk menyebarkan informasi yang salah tentang COVID-19.

Apa yang terjadi kemudian?

Awalnya, saham perusahaan anjlok sekitar 12% [3] setelah musisi seperti Neil Young, Joni Mitchell dan Graham Nash menarik musik mereka dari platform tersebut. Akan tetapi, walaupun sempat tersendat, saham perusahaan dengan cepat melonjak[4] di atas level pra-skandal. Spotify menyikapi skandal ini dengan menghapus beberapa beberapa konten yang memuat informasi tentang COVID-19 dan menambahkan penafian (disclaimer)[5] pada konten-konten lain yang memuat isu seputar pandemi tersebut.

Dalam jangka panjang, skandal ini mungkin hanya akan menjadi hambatan kecil bagi Spotify. Sebagai sebuah bisnis, Spotify menyediakan layanan yang sangat populer dengan 172 juta pelanggan premium di seluruh dunia, 28 juta di antaranya baru bergabung pada 2020. Berapa banyak dari mereka yang akan membatalkan langganan dan merelakan akses ke daftar putar (playlist) lagu yang telah mereka kurasi dengan cermat, hanya karena Young dan Mitchell memutuskan untuk tidak lagi memanfaatkan jasa Spotify?

Meskipun model bisnis perusahaan bersumber pada musisi dan penyedia konten lainnya, kenyataannya adalah sebagian besar artis sangat bergantung pada platform tersebut. Alih-alih menyalahkan, sangat mungkin pengguna dan pembuat konten melihat skandal ini sebagai kesalahan yang tidak disengaja,​karena Spotify meremehkan betapa sensitifnya sebagian kelompok terhadap diskusi tentang pandemi. Oleh karena itu, pelanggan mungkin akan berdamai dengan skandal ini.

Tak jauh beda, Netflix pun diprediksi dapat bertahan melewati sejumlah kontroversi mengenai kontennya, seperti kehebohan akibat komentar komedian asal Inggris, Jimmy Carr[6], mengenai tragedi Holocaust. Dengan sebegitu banyaknya pelanggan di seluruh dunia yang tertarik dengan variasi konten dari layanan streaming film tersebut, Netflix adalah satu lagi contoh raksasa industri yang dapat bersikap masa bodoh dalam menghadapi skandal.

Ingat tentang jatuhnya pasar Facebook[7]? Konglomerasi sosial media tersebut ditengarai berada di belakang bocornya data pribadi jutaan pengguna yang kemudian digunakan oleh perusahaan konsultan politik Cambridge Analytica.

Tidak perlu berkecil hati jika Anda tidak ingat. Anjloknya Facebook hanya berlangsung tujuh detik (Oke, mungkin tujuh hari). Perusahaan berhasil mengembalikan sejumlah US$134 miliar[8] (Rp 1.925 triliun) nilai pasarnya yang sempat hilang.

Jadi, bagaimana skandal dapat terekam dalam ingatan publik?

Penelitian kami menunjukkan bahwa hanya beberapa skandal membawa dampak negatif yang signifikan pada reputasi dan kinerja perusahaan. Salah satu elemen yang tampaknya vital adalah membuktikan bahwa perusahaan bersalah lewat pengadilan. Proses legal memberikan bobot dan kedalaman terhadap suatu skandal yang tanpanya, bisa saja segera hilang dari perhatian masyarakat.

Skandal emisi Volkswagen[9], misalnya, bermula pada 2015. Tujuh tahun kemudian, perusahaan masih merundingkan penyelesaian dalam gugatan perwakilan kelompok (class action lawsuit) karena curang dalam tes emisi.

Saham perusahaan terjun 30% setelah skandal[10] (harga saham mulai membaik semenjak perusahaan memperkenalkan mobil listrik) dan reputasi Volkswagen masih ternodai akibat peristiwa tersebut. Perusahaan masih terus menghadapi pemeriksaan aturan yang mempengaruhi statusnya di mata investor[11].

Senada, bertahun-tahun setelah dinyatakan bersalah dalam peristiwa kebocoran minyak Deepwater Horizon[12] di Teluk Meksiko pada 2010, BP masih harus terus membayar kelalaiannya dan terus telibat dalam banyak gugatan[13]. Dan, setelah adanya intervensi regulasi, perusahaan penyedia jasa finansial Jerman, Wirecard, sudah tak lagi beredar untuk menceritakan bagaimana €1.9 miliar (Rp 29,51 triliun) hilang dari neraca keuangannya[14].

Namun, tanpa kesalahan yang diputuskan oleh pengadilan, sangat sedikit tuduhan yang melekat pada perusahaan-perusahaan besar ini, bahkan di bawah pengawasan ketat media sekali pun. Tanpa bukti yang jelas tentang kerugian yang ditimbulkan pada sekelompok orang, sangat sedikit dampak negatif yang dapat diukur atau ganti rugi yang dapat dituntut.

Sebagai konsumen, kita kerap merasa memiliki superioritas moral dan menikmati drama perusahaan akibat skandal yang menarik perhatian.

Akan tetapi, riset kami menunjukkan bahwa respons masyarakat terhadap skandal perusahaan didorong oleh pertimbangan-pertimbangan duniawi. Hak ini melingkupi harga, kenyamanan, loyalitas, kemudahan dalam penggunaan serta kebiasaaan – dan tidak banyak skandal yang dianggap cukup memalukan untuk membuat kita mengabaikan pertimbangan-pertimbangan ini.

References

  1. ^ analisis kami (onlinelibrary.wiley.com)
  2. ^ kehebohan yang menimpa Spotify (news.sky.com)
  3. ^ anjlok sekitar 12% (www.businessinsider.com)
  4. ^ saham perusahaan dengan cepat melonjak (theweek.com)
  5. ^ menambahkan penafian (disclaimer) (www.independent.co.uk)
  6. ^ Jimmy Carr (www.theguardian.com)
  7. ^ jatuhnya pasar Facebook (www.cbsnews.com)
  8. ^ sejumlah US$134 miliar (www.cbsnews.com)
  9. ^ Skandal emisi Volkswagen (www.bbc.co.uk)
  10. ^ setelah skandal (money.cnn.com)
  11. ^ statusnya di mata investor (www.morningstar.co.uk)
  12. ^ peristiwa kebocoran minyak Deepwater Horizon (www.epa.gov)
  13. ^ banyak gugatan (www.reuters.com)
  14. ^ hilang dari neraca keuangannya (www.cnbc.com)

Authors: Irina Surdu, Associate Professor of International Business Strategy, Warwick Business School, University of Warwick

Read more https://theconversation.com/riset-mengapa-skandal-gagal-menggoyang-perusahaan-perusahaan-besar-181399

Magazine

Alasan anak muda Indonesia pakai aplikasi kencan: Cari jodoh hingga partner seks

● Anak muda di Indonesia pakai aplikasi kencan untuk mencari teman, jodoh, hingga partner seks● Aplikasi kencan digemari karena menawarkan lebih banyak pilihan kandidat pasangan● Bij...

Mau tahu masa depan AI? Lihatlah kegagalan Google Translate

StocketePakar komputer Rich Sutton dan Andrew Barto mendapatkan Turing Award tahun 2024, penghargaan paling bergengsi bagi sosok yang punya rekam jejak panjang di ranah teknologi. Esai karya Sutton ya...

Demam ‘thrifting’ kalangan Gen Z: Sekadar trendi atau benar-benar berkelanjutan?

● Gen Z di Indonesia melakukan ‘thrifting’ karena harga murah dan tren, bukan kesadaran lingkungan.● Pilihan belanja anak muda masih dipengaruhi oleh kenyamanan, gaya, dan teka...