Judith Butler: memahami gagasan filsafat bahwa gender tidak biologis, tapi performatif
- Written by Anna Szorenyi, Lecturer in Gender Studies, University of Adelaide
Sulit untuk berani membesar-besarkan pentingnya peran dan kontribusi filsuf dan ahli teori gender asal Amerika Serikat (AS), Judith Butler, baik bagi kalangan intelektual maupun komunitas queer (istilah payung untuk minoritas seksual yang mengidentifikasi dirinya bukan heteroseksual, heteronormatif, atau biner gender). Faktanya, banyak buku-buku ilmiah, mata kuliah di universitas, klub penggemar, laman media sosial dan komik yang didedikasikan untuk pemikiran Butler.
“Mereka” (panggilan pilihan Butler) tidak sendirian menciptakan teori queer dan perluasan identitas gender saat ini, tetapi karya mereka sering dikreditkan dalam membantu membuat perkembangan ini menjadi mungkin.
Banyak juga gerakan politik yang mengilhami karya Butler. Butler pernah bekerja untuk Komisi Hak Asasi Manusia Gay dan Lesbian Internasional[1], berbicara pada protes Occupy Wall Street[2] (gerakan protes sosial yang di Zuccotti Park, distrik keuangan Wall Street New York, pada September 2011), membela kampanye Boycott, Divestment and Sanctions (BDS) [3] (aksi mendukung boikot, divestasi dan sanksi terhadap Israel atas apa yang dilakukannya di Palestina). Tindakan Butler yang paling terkenal adalah menolak menerima penghargaan keberanian sipil (Civil Courage Award)[4] di Berlin karena penyelenggaranya melontarkan komentar-komentar rasis.
Hal-hal yang dilakukannya kerap menimbulkan kontroversi. Beberapa gerakan sayap kanan dan tokoh agama yang meyakini peran gender konservatif melihat Butler sebagai ancaman bagi masyarakat. Ini ironis, mengingat karya-karya Butler selalu mempertahankan komitmen terhadap keadilan, kesetaraan, dan antikekerasan.
Teori Performativitas Gender
Peninggalan paling berpengaruh dalam karya Butler adalah teori performativitas gender. Dalam seluruh karya Butler selama beberapa dekade, teori ini telah melalui proses penyempurnaan, tetapi paling banyak dibahas secara langsung dalam buku “Gender Trouble[5]” (1990), “Bodies That Matter[6]” (1993), dan “Undoing Gender[7]” (2004).
Dalam karya-karya tersebut, Butler menantang pemahaman esensialis tentang gender: termasuk asumsi bahwa maskulinitas dan feminitas adalah sesuatu yang diberikan secara alamiah atau biologis, bahwa maskulinitas harus dilakukan oleh tubuh laki-laki dan feminitas oleh tubuh perempuan, dan bahwa tubuh-tubuh tersebut secara alamiah menginginkan “lawannya”.