Asian Spectator

Menanti intensifikasi perpajakan industri ekstraktif untuk menyokong penerimaan negara

  • Written by Mohammad Bakhrul Fikri Suraya, Economic Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)
Menanti intensifikasi perpajakan industri ekstraktif untuk menyokong penerimaan negara
Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024. Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya. Sektor ekstraktif memang memiliki andil besar terhadap pertumbuhan ekonomi negara. Sektor pertambangan dan penggalian, misalnya, berkontribusi sangat signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi dengan porsi masing-masing sebesar 10,52% dan 18,67%[2] pada 2023. Namun, bisnis ekstraktif juga memiliki banyak dampak negatif[3] yang kerap mengorbankan lingkungan dan masyarakat sekitar wilayah kawasan, demi meraup keuntungan. Para aktor inilah yang menyebabkan deforestasi, pencemaran air dan tanah, hilangnya keanekaragaman hayati hingga meningkatnya emisi karbon di Indonesia. Sepuluh tahun terakhir, hampir tidak ada upaya pemerintah untuk memungut lebih banyak pajak dari sektor ini (intensifikasi perpajakan). Pemerintah justru membuat berbagai program diskon pajak seperti pengampunan pajak[4]. Baru-baru ini, pemerintahan baru Prabowo-Gibran juga mewacanakan penurunan tarif PPh Badan[5]. Oleh karena itu, ada baiknya pemerintah mempertimbangkan intensifikasi perpajakan ataupun menyusun kebijakan baru terhadap industri ekstraktif. Sebab, berdasarkan tinjauan kami, sektor minyak dan gas, pertambangan, dan perkebunan tidak berkontribusi secara merata kepada masyarakat luas. Kontribusi semu sektor ekstraktif Pada kenyataannya, rezim perpajakan nasional sudah memiliki sistem yang kompleks dan berlapis untuk memajaki para wajib pajak besar. Namun, sudah jadi rahasia umum juga, para wajib pajak besar memiliki langkah legal untuk mengurangi pembayaran kewajibannya bernama tax planning[6]. Adapun metode yang paling sering dilakukan adalah modus transfer pricing[7]. Dalam modus tersebut, suatu entitas ekstraktif membuat induk usaha baru dengan nama yang mirip baik di dalam maupun luar negeri untuk menghindari pengenaan pajak lebih besar. Pemerintah pusat maupun daerah justru lebih mengobral insentif melalui kebijakan pengampunan pajak (tax amnesty)[8], pengurangan royalti[9], serta pemudahan perizinan[10] kepada perusahaan-perusahaan besar yang bergerak di sektor ekstraktif. Padahal, ekspansi sektor ekstraktif, terutama pertambangan, perkebunan besar, dan energi tidak selalu menghasilkan efek pengganda yang positif bagi perekonomian lokal. Sebaliknya, sektor ini cenderung menyebabkan enclave economy[11], sebuah pola pembangunan ekonomi yang tertutup ketika keuntungan hanya dirasakan oleh perusahaan besar dan tidak terdistribusi secara merata. Data BPS juga membuktikan, sampai periode Februari 2024, sektor pertambangan dan penggalian hanya mampu menyerap 1,2% atau sekitar 1,7 juta orang[12] dari total 142,17 juta tenaga kerja Indonesia. Kondisi tersebut mencerminkan bagaimana pertumbuhan di sektor ini tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat lokal. Lebih lanjut, Forest Watch Indonesia[13] mencatat bahwa pada 2019, deforestasi di Kalimantan dan Sumatra mencapai 1,3 juta hektare. Pada saat yang bersamaan, industri ekstraktif memegang izin penguasaan lahan mencapai 71% daratan Kalimantan (sekitar 80,9 juta hektare) dan 41% (sekitar 55,5 juta hektare) di Sumatra. Bahkan, dalam skenario business as usual (BAU) aktivitas industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara akan berdampak negatif terhadap PDB mulai tahun kesembilan atau setelah fase operasional pada tahun ketujuh dan kedelapan[14]. Penyebabnya adalah deforestasi, degradasi lahan, penurunan ekosistem air, dan hilangnya biodiversitas akibat praktik bisnis industri nikel yang kotor. Peraturan Menteri LHK NO.70 Tahun 2017[15] mendefinisikan deforestasi sebagai perubahan dari areal berhutan menjadi tidak berhutan secara permanen. Deforestasi—baik legal maupun ilegal—tetap akan mengorbankan ekosistem hutan dan juga masyarakat lokal yang bergantung dari sumber daya hutan untuk mencari nafkah. Selain deforestasi, pertambangan nikel juga berisiko menurunkan kontribusi sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan sebesar Rp223,26 miliar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)[16] ketiga provinsi tersebut. Hanya menguntungkan pemilik modal Dalam laporan ketimpangan ekonomi Indonesia 2024, Celios mencatat bahwa sebagian dari 50 orang terkaya memiliki bisnis di sektor ekstraktif[17]. Besarnya pundi-pundi uang yang dihasilkan sektor ekstraktif dapat terlihat di infografis di bawah ini. Sumber: CELIOS. Dan menariknya, industri ini dikuasai oleh tokoh yang dikenal luas oleh publik. Studi independen[18] yang kami dilakukan pada 2022 mengungkap ada lima nama besar yang berasal dari kabinet yang juga penguasa industri pertambangan di Indonesia Informasi tersebut kami olah dengan sumber yang sah seperti salah satunya dengan mengakses Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara[19] atau LHKPN. Hal ini juga sejalan dengan keterbukaan informasi publik terhadap para penyelenggara negara. Terdapat empat Menteri di periode kedua kabinet Presiden Joko Widodo terafiliasi dengan industri pertambangan. Selain itu, selama menjabat di periode kedua mereka mengalami peningkatan kekayaan yang cukup signifikan. Pertama, Sandiaga Salahuddin Uno selaku Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, memiliki kekayaan sebesar Rp7,97 triliun pada 2023 meningkat sebesar Rp4,16 triliun setelah 3 tahun menjabat. Sandi juga terafiliasi dengan PT Adaro Energy Indonesia Tbk (Adaro). Perusahaan ini bergerak di bidang pertambangan batu bara dengan volume produksi sebesar 65,88 juta ton atau meningkat 5%[20] secara year on year (yoy) dalam laporan tahunan Adaro 2023. Kedua, Erick Thohir selaku Menteri Badan Usaha Milik Negara, memiliki kekayaan sebesar Rp2,30 triliun. Kekayaan Erick cenderung menurun jika dibandingkan pada saat tahun pertama menjabat pada 2019 yaitu sekitar Rp2,31 triliun. Namun, perlu digaris bawahi data yang digunakan bersumber dari laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). Artinya harta yang dilaporkan Erick belum mencakup harta kekayaannya di luar negeri. Serupa dengan Sandiaga, Erick[21] juga terafiliasi dengan Adaro. Faktanya, Erick Thohir adalah adik dari pemilik Adaro yaitu Garibaldi “Boy” Thohir. Kami mencatat, luas lahan konsesi Adaro mencapai 316.619 hektare terletak di wilayah Kalimantan Timur, Selatan, Tengah, Sumatra Selatan dan Australia. Ketiga, Prabowo Subianto selaku Menteri Pertahanan sekaligus Presiden terpilih periode 2024 – 2029, memiliki kekayaan sebesar Rp2,04 triliun—meningkat sekitar Rp36,72 miliar selama menjabat. Data yang diolah oleh Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) dari berbagai sumber—termasuk Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral—mencatat bahwa Prabowo Subianto memiliki saham di PT Nusantara Energy sebesar 85% dan PT Nusantara Energindo Coal sebesar 40%[22]. Setidaknya luas lahan konsesi pertambangan batu bara yang dimiliki oleh Nusantara Energi Indonesia sekitar 62.753 hektare berada di Kalimantan Timur. Keempat, Luhut Binsar Pandjaitan selaku Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi memiliki kekayaan sebesar Rp1,04 triliun—meningkat cukup signifikan sekitar Rp366,02 miliar selama menjabat sejak 2019. Luhut merupakan pendiri PT Toba Sejahtera Group[23], perusahaan yang bergerak di berbagai sektor ekstraktif mulai dari pertambangan batu bara, minyak dan gas, energi, perkebunan dan kehutanan, serta industri pengolahan. Perusahaan ini setidaknya memiliki kapasitas pertambangan batu bara mencapai 5,5 juta ton dengan luas lahan konsesi sekitar 14.019 hektare di Kalimantan Timur. Perlunya instrumen pajak baru Dalam menghadapi kondisi ketimpangan yang semakin melebar serta kerusakan lingkungan yang masif, penerapan pajak kekayaan harus segera diterapkan untuk menciptakan keadilan ekonomi sekaligus mengatasi krisis iklim. Intensifikasi perpajakan sektor ekstraktif ataupun pribadi wajib pajak besar bisa jadi solusi. Sesuai dengan hasil riset Celios[24], potensi pajak kekayaan dari 50 orang terkaya di Indonesia dapat menambah penerimaan pajak negara sebesar Rp81,6 triliun per tahun. Tambahan penerimaan negara tersebut hanya berasal dari tambahan potongan pajak sebesar 2%[25]. Nominal[26] tersebut dapat dialokasikan untuk mengurangi angka kemiskinan dan ketimpangan. Potensi pundi-pundi tersebut juga bisa dialokasikan untuk mengurangi beban pengeluaran masyarakat melalui kebijakan Pogram Keluarga Harapan[27] dan berpotensi menambah pendapatan masyarakat melalui program ketenagakerjaan lainnya. Pun dalam topik keberlanjutan pembangunan dan lingkungan, pajak kekayaan dari 50 orang terkaya dapat mendanai pensiun dini PLTU Batubara[28] sebanyak 17 unit. Penerapan pajak kekayaan juga dapat berkontribusi sebesar 20% untuk kebutuhan transisi energi di Indonesia. Sehingga implementasi pajak yang menargetkan wajib pajak besar dapat menjadi langkah strategis dalam menciptakan pembangunan ekonomi yang lebih adil sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam upaya global untuk mencapai target Net Zero Emission pada tahun 2050. References^ #PantauPrabowo (theconversation.com)^ 10,52% dan 18,67% (web-api.bps.go.id)^ dampak negatif (kumparan.com)^ pengampunan pajak (jurnal.pknstan.ac.id)^ tarif PPh Badan (www.antaranews.com)^ tax planning (feb.unila.ac.id)^ transfer pricing (feb.ugm.ac.id)^ pengampunan pajak (tax amnesty) (jurnal.pknstan.ac.id)^ royalti (trendasia.org)^ pemudahan perizinan (jatam.org)^ enclave economy (books.google.co.id)^ 1,2% atau sekitar 1,7 juta orang (www.bps.go.id)^ Forest Watch Indonesia (fwi.or.id)^ aktivitas industri nikel di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara akan berdampak negatif terhadap PDB mulai tahun kesembilan atau setelah fase operasional pada tahun ketujuh dan kedelapan (admin.celios.co.id)^ Peraturan Menteri LHK NO.70 Tahun 2017 (jdih.maritim.go.id)^ Rp223,26 miliar terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) (admin.celios.co.id)^ 50 orang terkaya memiliki bisnis di sektor ekstraktif (admin.celios.co.id)^ Studi independen (admin.celios.co.id)^ Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (kumparan.com)^ 65,88 juta ton atau meningkat 5% (www.adaro.com)^ Erick (theconversation.com)^ PT Nusantara Energy sebesar 85% dan PT Nusantara Energindo Coal sebesar 40% (pemilu.jatam.org)^ PT Toba Sejahtera Group (ekonomi.bisnis.com)^ hasil riset Celios (admin.celios.co.id)^ tambahan potongan pajak sebesar 2% (admin.celios.co.id)^ Nominal (admin.celios.co.id)^ Pogram Keluarga Harapan (kumparan.com)^ pensiun dini PLTU Batubara (admin.celios.co.id)Authors: Mohammad Bakhrul Fikri Suraya, Economic Researcher, Center of Economic and Law Studies (CELIOS)

Read more https://theconversation.com/menanti-intensifikasi-perpajakan-industri-ekstraktif-untuk-menyokong-penerimaan-negara-240693

Magazine

Keterampilan tinggi, perlindungan rendah: tantangan legal pekerja asing di Indonesia

ilikeyellow/ShutterstockPrabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitk...

Menanti intensifikasi perpajakan industri ekstraktif untuk menyokong penerimaan negara

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauP...

High skills, low protection: the legal hurdles for foreign workers in Indonesia

ilikeyellow/ShutterstockDeveloping countries like Indonesia use foreign high-skilled and high-wage workers to drive economic growth and innovation. However, protection of their legal rights is often n...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion