Riset: Monyet bisa tahu siapa yang akan menang pemilu
- Written by Michael Platt, Professor of Marketing and Psychology and Neuroscience, University of Pennsylvania
Saat pemilihan umum (pemilu) berlangsung sengit, para ahli survei, pakar, dan pengamat sibuk mencari petunjuk untuk memprediksi hasilnya.
Namun, bagaimana jika jawabannya bukan terletak pada data politik atau strategi kampanye, melainkan pada naluri primitif otak manusia?
Penelitian terbaru yang saya lakukan terhadap monyet rhesus macaque menunjukkan bahwa dalam mengambil keputusan seperti memilih kandidat, manusia ternyata tidak se-rasional[1] yang mereka pikirkan.
Kita mungkin sangat mudah untuk mengaitkan reaksi naluriah–seperti respons melawan atau melarikan diri, atau refleks menarik tangan dari permukaan panas–dengan motif primitif untuk bertahan hidup. Namun, manusia juga memiliki otak rasional yang mampu mengumpulkan dan menimbang bukti, mempertimbangkan keputusan dengan matang daripada mengandalkan reaksi spontan.
Tapi mengapa otak rasional ini tampaknya sering “dibajak” oleh naluri primitif dalam situasi yang membutuhkan pertimbangan logis? Inilah yang menjadi salah satu alasan saya dan rekan-rekan ahli saraf[2] mempelajari monyet rhesus selama 25 tahun terakhir.
Monyet rhesus memiliki banyak kesamaan dengan manusia[3]—baik secara genetik[4], fisiologis[5] maupun perilaku[6]. Kesamaan ini memungkinkan para peneliti membuat terobosan medis luar biasa, seperti pengembangan vaksin polio, HIV/AIDS dan COVID-19[7], serta pengobatan stimulasi otak dalam untuk penyakit Parkinson[8] dan gangguan saraf lainnya.
Penelitian saya tentang preferensi kandidat merupakan bagian dari upaya lebih besar untuk memahami[9] bagaimana manusia[10] berinteraksi secara efektif dengan orang lain dan menyelesaikan konflik sosial[11], mempelajari sirkuit saraf[12] yang mendukung kemampuan ini[13], serta bagaimana sirkuit tersebut dapat terganggu[14] oleh penyakit atau faktor eksternal seperti ketidaksetaraan.
Kekuatan kesan pertama
Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa orang dewasa dan anak-anak prasekolah sama-sama dapat memprediksi hasil pemilu secara akurat[15] setelah sekilas melihat foto kandidat[16]. Banyak bukti menunjukkan bahwa otak primitif mendorong kita dengan cepat membentuk kesan pertama berdasarkan penampilan fisik—sebuah kemampuan yang dulunya penting untuk bertahan hidup.
Namun, para peneliti belum memahami mengapa bias ini masih ada di era modern ini. Penelitian terbaru pada monyet rhesus telah memberikan beberapa jawaban.
Dalam penelitian yang sedang ditinjau di jurnal Proceedings of the Royal Society B, kami menunjukkan kepada monyet rhesus pasangan foto kandidat[17] dari pemilihan gubernur dan senator Amerika Serikat, dan mereka dapat memprediksi hasil pemilihan dengan tepat hanya berdasarkan ciri-ciri visual.
Monyet-monyet ini menghabiskan lebih banyak waktu menatap kandidat yang kalah daripada yang menang. “Bias tatapan” ini tidak hanya memprediksi hasil pemilu, tetapi juga perolehan suara para kandidat. Monyet cenderung melihat ke arah kandidat dengan ciri wajah yang lebih maskulin, seperti rahang yang menonjol, dan kandidat dengan ciri tersebut lebih mungkin menang dalam pemilu.
Penelitian sebelumnya[18] menunjukkan bahwa bias tatapan monyet[19] ini mungkin terjadi karena monyet menganggap tatapan langsung ke monyet jantan dominan sebagai ancaman. Sebaliknya, mereka lebih lama menatap monyet betina atau monyet jantan berstatus rendah.
Preferensi tersebut juga terlihat jelas ketika kami menunjukkan foto-foto dari pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 yang melibatkan Donald Trump dan sejumlah kandidat pesaingnya dari Partai Demokrat. Bias tatapan mereka, yang didorong oleh naluri primitif, menunjukkan siapa pemenangnya.
Saat kami menunjukkan foto Donald Trump dan Hillary Clinton, monyet-monyet itu lebih lama menatap Hillary. Bias tatapan ini kurang terlihat saat Trump dibandingkan dengan Joe Biden. Namun, ketika Kamala Harris dibandingkan dengan Trump, monyet memberikan durasi tatapan yang sama pada Trump dan Harris. Artinya, di antara tiga kandidat Partai Demokrat, hanya berdasarkan fitur visual, monyet-monyet itu memprediksi Harris sebagai kandidat terkuat melawan Trump dibandingkan kandidat Demokrat lainnya. Dan, prediksi itu terbukti.
Warisan evolusi
Temuan kami menunjukkan bahwa para pemilih secara naluriah bereaksi terhadap isyarat kekuatan fisik–isyarat yang juga dikenali[20] oleh kerabat primata kita[21]. “Warisan evolusi” ini menggambarkan bagaimana sifat dan perilaku manusia primitif yang dulu penting untuk bertahan hidup tetap ada meski kini kurang relevan.
Kemampuan monyet untuk memprediksi pemenang hanya berdasarkan ciri fisik saja menantang gagasan bahwa manusia telah berevolusi melampaui penilaian dangkal dalam memilih pemimpin. Bagi mereka yang bangga dengan kemampuan membuat keputusan rasional, terutama dalam keputusan penting seperti pemungutan suara, temuan ini mungkin terasa mengejutkan.
Meskipun pilihan pemilih tidak sepenuhnya didasarkan pada isyarat visual, bukti menunjukkan bahwa faktor ini lebih berpengaruh daripada yang kita sadari. Ketika kita memasuki bilik suara, sebagian dari otak kita mungkin masih menggunakan naluri purba, secara tidak sadar mengevaluasi siapa yang terlihat paling cocok untuk memimpin suku tersebut.
Tetap rasional, bukan naluriah
Menyadari[22] adanya preferensi primitif[23] ini adalah langkah pertama untuk mengurangi pengaruhnya[24].
Kampanye politik sering memanfaatkan naluri ini dengan menonjolkan kekuatan fisik dan ketegasan kandidat. Sebagai pemilih, kita bisa menangkal upaya kampanye yang mengeksploitasi bias ini dengan mengandalkan kemampuan rasional kita untuk memahami dan menilai kebijakan serta pengalaman kandidat–sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh nenek moyang primitif kita.
Langkah untuk memilih secara rasional dan bukan secara naluriah termasuk membuka diri kita terhadap beragam perspektif, secara aktif mempertanyakan asumsi kita sendiri, dan mempertimbangkan dampak kebijakan dalam jangka panjang bisa membantu. Langkah ini menjadi sangat penting jika kita memahami bagaimana otak kita dapat terpengaruh oleh preferensi yang sudah ketinggalan zaman.
Tentu saja, para pemilih monyet rhesus. Namun, naluri dasar manusia yang mirip dengan kerabat primata kita ini bisa saja membentuk keputusan kita secara halus.
Dengan memahami peran isyarat-isyarat kuno ini, kita bisa lebih bijak dalam menggunakan hak pilih di bilik suara. Seiring perkembangan demokrasi, pemahaman kita tentang cara berpartisipasi juga harus ikut berkembang.
References
- ^ manusia ternyata tidak se-rasional (doi.org)
- ^ saya dan rekan-rekan ahli saraf (scholar.google.com)
- ^ memiliki banyak kesamaan dengan manusia (doi.org)
- ^ genetik (doi.org)
- ^ fisiologis (doi.org)
- ^ perilaku (doi.org)
- ^ vaksin polio, HIV/AIDS dan COVID-19 (doi.org)
- ^ pengobatan stimulasi otak dalam untuk penyakit Parkinson (doi.org)
- ^ memahami (doi.org)
- ^ bagaimana manusia (doi.org)
- ^ berinteraksi secara efektif dengan orang lain dan menyelesaikan konflik sosial (doi.org)
- ^ mempelajari sirkuit saraf (doi.org)
- ^ yang mendukung kemampuan ini (doi.org)
- ^ serta bagaimana sirkuit tersebut dapat terganggu (doi.org)
- ^ memprediksi hasil pemilu secara akurat (doi.org)
- ^ sekilas melihat foto kandidat (doi.org)
- ^ kami menunjukkan kepada monyet rhesus pasangan foto kandidat (doi.org)
- ^ Penelitian sebelumnya (doi.org)
- ^ menunjukkan bahwa bias tatapan monyet (doi.org)
- ^ isyarat yang juga dikenali (doi.org)
- ^ oleh kerabat primata kita (doi.org)
- ^ Menyadari (knowledge.wharton.upenn.edu)
- ^ preferensi primitif (doi.org)
- ^ mengurangi pengaruhnya (www.forbes.com)
Authors: Michael Platt, Professor of Marketing and Psychology and Neuroscience, University of Pennsylvania
Read more https://theconversation.com/riset-monyet-bisa-tahu-siapa-yang-akan-menang-pemilu-244796