Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Dari lagu pop ke nama anak: Saluran narasi ‘smong’ pascatsunami di Simeulue terus berkembang

  • Written by Alfi Rahman, Lecturer at Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala, and Researcher at Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala
Dari lagu pop ke nama anak: Saluran narasi ‘smong’ pascatsunami di Simeulue terus berkembang
20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para penyintas. Dalam periode yang berdekatan, Aceh juga berusaha bangkit setelah didera konflik antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah selama puluhan tahun. The Conversation Indonesia bersama akademisi menerbitkan edisi khusus 20 Tahun Pemulihan Aceh selama Desember 2024. Edisi ini sekaligus menjadi upaya merawat ingatan bersama, sekaligus memantik refleksi kita atas langkah pemulihan dan perdamaian di negeri Serambi Makkah. Pulau Simeulue di perairan sebelah selatan Aceh memiliki kisah tersendiri terkait tsunami yang terjadi 20 tahun silam. Saat tsunami merenggut ratusan ribu jiwa[1] di Aceh dan juga negara lainnya di sepanjang Samudera Hindia, gelombang pasang di Simeulue mengakibatkan lima nyawa hilang (bahkan dalam versi lain mengatakan tiga orang yang meninggal)[2] dari 75 ribu penduduk di pulau saat itu. Pengetahuan lokal smong (tsunami dalam bahasa Simeulue), yang diwariskan selama hampir seabad sejak terjadi tsunami sebelumnya pada 1907[3], telah menjadi penyelamat masyarakat setempat dari hempasan ombak dahsyat. Read more: Smong, cerita lisan Simeulue yang selamatkan penduduk dari amukan tsunami terdahsyat[4] Dalam tradisi masyarakat Simeulue, smong memberikan pemahaman[5] tentang tanda-tanda terjadinya tsunami: gempa bumi yang kuat dan surutnya air laut. Pengetahuan lokal ini juga memuat tindakan yang harus dilakukan warga yaitu segera menjauhi pantai atau naik ke dataran yang lebih tinggi. Dua dekade telah berselang. Smong di masa kini, berdasarkan riset terbaru kami[6], mengalami transformasi narasi—bukan sekedar disampaikan melalui nafi-nafi (cerita lisan), melainkan juga nyanyian tradisional, hingga pendekatan kontemporer. Perubahan ini terjadi seiring dengan perubahan sosial, perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Transformasi smong Setelah tsunami 2004, narasi smong mengalir ke berbagai kanal. Salah satunya adalah melalui nandong[7], nyanyian tradisional Simeulue yang turut berisikan syair tentang smong. “Setelah tsunami 2004, kami mengadaptasi cerita Smong ke dalam nandong. Ini menjadi cara baru untuk menyampaikan pesan Smong agar tetap relevan dan mudah diingat,” -tokoh seni lokal. Salah satu lirik nandong yang terkenal berbunyi: Linon uwak-uwakmo (Gempa adalah ayunanmu) Elaik kedang-kedangmo (Petir adalah gendang-gendangmu) Kilek suluh-suluhmo (Kilat adalah lampumu) Smong dumek dumekmo (Tsunami air mandimu) Video yang memuat nyanyian (nandong) tentang ‘smong’ Selain nandong, pengetahuan smong juga mulai terkanalkan dalam bentuk lagu pop modern berbahasa Devayan—salah satu lokal Simeulue. Lagu-lagu bertema smong mulai diciptakan oleh para pemusik lokal untuk menarik perhatian generasi muda. Seorang pemuda Simeulue berusia 23 tahun menceritakan pengalamannya: “Pertama kali saya mendengar lagu Smong di sekolah. Liriknya sederhana, tapi menyiratkan makna yang praktis dan dalam. Lagu tentang smong ini membantu saya mengingat apa yang harus dilakukan saat tsunami.” Transformasi ini menunjukkan bahwa smong bukan sekadar cerita atau kisah lama yang statis. Narasi smong perlu terus berubah seiring perkembangan zaman, memastikan pesan kesiapsiagaan ini tetap hidup di tengah perubahan sosial. Video cerita anak yang memuat narasi ‘smong’ Smong sebagai simbol ketahanan Dua dekade setelah tsunami 2004, smong berhasil bertahan sebagai pengetahuan lokal sekaligus menjadi simbol ketangguhan bencana masyarakat Simeulue. Smong dapat juga terus menjadi identitas budaya yang mengajarkan kesiapsiagaan dan keselamatan di masa depan. Kuatnya smong sebagai simbol ini terlihat dari seorang nenek yang menamai cucunya ‘Putra Smong’[8] sebagai simbol penghormatan terhadap pengetahuan ini. “Nama ini mengingatkan kami akan pentingnya Smong sebagai penyelamat nyawa,” ungkapnya. Tantangan merawat narasi smong Meskipun mengalami berbagai transformasi, keberlanjutan narasi smong tidak lepas dari tantangan yang berisiko memudarkan pengetahuan lokal ini. Salah satu yang terbesar adalah pergeseran gaya hidup dan budaya[9] masyarakat Simeulue. Generasi muda saat ini cenderung lebih akrab dengan teknologi digital dibandingkan tradisi lisan. “Dulu, orang tua kami bercerita tentang Smong setiap malam selepas Maghrib. Sekarang, anak-anak lebih sibuk dengan gadget mereka,” ujar seorang ibu di Simeulue. Globalisasi membawa pengaruh budaya dari luar berpotensi menggeser perhatian generasi muda dari warisan lokal[10]. Banyak anak muda Simeulue yang tumbuh dengan minim pengetahuan tentang tradisi seperti nafi-nafi. Tantangan kian besar karena berkurangnya penutur bahasa lokal seperti bahasa Devayan, Sigulai dan Lekon[11] dalam percakapan sehari-hari. Padahal, smong lahir dari bahasa-bahasa lokal yang digunakan dalam tradisi sehari-hari. Saya juga mengamati bahwa beragam penyaluran narasi smong masih bersifat sporadis[12]. Penyebaran narasi sering kali bergantung pada inisiatif individu atau kelompok kecil, bahkan terkesan menunggu inisiasi dari pihak luar. Jika tidak ada upaya konkret, narasi smong berisiko pupus dan dilupakan oleh generasi mendatang. Seorang aktivis lokal mengatakan: “Saya pernah mengusulkan pembangunan monumen smong sebagai pengingat bagi generasi muda, tapi sampai sekarang belum ditanggapi dan terealisasi.” Harapan merawat smong Generasi tua Simeulue menyatakan bahwa smong adalah warisan yang harus terus dijaga. Seorang sesepuh masyarakat Simeulue yang berusia lebih dari 80 tahun, menyampaikan harapannya kepada para pewaris untuk tetap menjaga keberlanjutan narasi smong. “Selama masih ada cerita smong, kami akan selamat. Tapi jika cerita ini hilang, maka kami akan kehilangan kearifan dan harta yang paling berharga.” Untuk memastikan keberlanjutan smong, beberapa ingin mengintegrasikan smong dalam pendidikan formal—misalnya lewat mata pelajaran muatan lokal. Melalui materi smong, guru dapat mengajarkan siswa untuk mengenali tanda-tanda tsunami dan langkah-langkah penyelamatan. “Smong bukan hanya cerita, tetapi panduan keselamatan yang harus diwariskan ke setiap generasi,” ujar seorang guru di Simeulue. Kita juga dapat memanfaatkan teknologi digital untuk memperluas jangkauan penyebaran smong. Video edukasi, simulasi bencana, dan dokumentasi digital perlu kita kembangkan untuk memastikan smong dapat diakses oleh generasi muda yang lebih akrab dengan media teknologi. Harapannya, pendekatan ini dapat menjembatani tradisi lama dengan kebutuhan zaman modern. Smong bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi panduan yang telah terbukti menyelamatkan ribuan nyawa. Di tengah ancaman bencana yang terus mengintai, terutama di wilayah cincin api seperti Indonesia, smong menjadi pelajaran berharga tentang bagaimana kearifan lokal dapat menjadi fondasi membangun kesiapsiagaan bencana.

Authors: Alfi Rahman, Lecturer at Faculty of Social and Political Sciences, Universitas Syiah Kuala, and Researcher at Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC), Universitas Syiah Kuala

Read more https://theconversation.com/dari-lagu-pop-ke-nama-anak-saluran-narasi-smong-pascatsunami-di-simeulue-terus-berkembang-245574

Magazine

Tidak melulu soal metrik, menggaet ‘influencer’ perlu pendekatan personal, kebebasan, dan kepercayaan

Influencer marketing kini sudah menjadi salah satu instrumen terpenting dalam strategi pengembangan bisnis. Perusahaan-perusahaan di hampir semua sektor mengandalkan kanal media sosial untuk mempromos...

20 tahun pasca-tsunami Aceh, kontribusi perempuan tak diakui, kebijakan daerah masih diskriminatif

Seorang perempuan berdiri di depan Masjid Raya Baiturrahman di Banda Aceh.Bithography/Shutterstock20 tahun sudah Aceh pulih dari tsunami yang menimbulkan duka mendalam bagi Indonesia, khususnya para p...

Riset: Anak pekerja migran yang ditinggalkan hadapi tantangan sosial dan psikologis

Ilustrasi anak-anak di Indonesia.our brain/ShutterstockSetiap tahun, ratusan ribu warga Indonesia pergi ke luar negeri untuk bekerja. Lebih dari lima juta pekerja migran Indonesia (termasuk orang tua ...



NewsServices.com

Content & Technology Connecting Global Audiences

More Information - Less Opinion