Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Prabowo tidak perlu terlalu bernafsu kejar target pertumbuhan 8 persen

  • Written by Nur Dhani Hendranastiti, Lecturer and Researcher, Universitas Indonesia
Prabowo tidak perlu terlalu bernafsu kejar target pertumbuhan 8 persen
Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024. Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauPrabowo[1] yang memuat isu-isu penting hasil pemetaan kami bersama TCID Author Network. Edisi ini turut mengevaluasi 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, sekaligus menjadi bekal Prabowo-Gibran menjalankan tugasnya. Sejak berkampanye, pasangan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka sesumbar akan menggenjot perekonomian negara dengan target pertumbuhan minimum delapan persen setiap tahun, selama lima tahun ke depan[2]. Tidak bisa ditampik, target ini terlalu ambisius[3]. Pertanyaan besar pun muncul: Apakah target pertumbuhan ini dapat dicapai secara berkelanjutan tanpa mengorbankan masa depan bangsa Indonesia?[4] Apakah program hilirisasi industri nasional[5] yang saat ini menjadi andalan pemerintah akan efektif? Dengan mempertimbangkan konteks krisis lingkungan, ketimpangan sosial, dan ancaman beban utang, target ini perlu ditinjau dengan hati-hati. Melalui artikel ini, kami akan mengkaji target pertumbuhan delapan persen secara kritis dan mengidentifikasi berbagai jenis pertumbuhan yang tidak berkelanjutan. Lebih lanjut, tulisan ini menekankan pentingnya kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan jangka panjang. Sebab sedianya, pertumbuhan ekonomi tinggi tidak akan berarti jika tidak disertai pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Konsep degrowth, seperti yang diusulkan oleh antropolog ekonomi Jason Hickel, menawarkan sudut pandang alternatif: bahwa kesejahteraan tidak selalu bergantung pada pertumbuhan ekonomi tinggi[6]. Degrowth berargumen bahwa pertumbuhan ekonomi harus lebih inklusif dengan memasukkan kesejahteraan manusia dan lingkungan sebagai komponen penting dalam kalkulasinya. Mengapa pertumbuhan ekonomi justru dapat membawa bencana? Konsep degrowth dan kritik terhadap angka pertumbuhan ekonomi Degrowth adalah salah satu pendekatan yang mengkritik model pertumbuhan ekonomi berbasis Produk Domestik Bruto (PDB) yang lazim digunakan. Indikator ini hanya mengukur nilai tambah dari aktivitas ekonomi[7], sehingga tidak dapat memastikan adanya pemerataan distribusi kekayaan. Fokusnya hanya melihat peningkatan volume secara keseluruhan, tanpa melihat distribusi di dalamnya[8]. Untuk itu, degrowth mengkritik penggunaan angka pertumbuhan PDB untuk mengukur kesejahteraan manusia. Sebab, indikator ini tidak memperhitungkan kesenjangan, baik antar negara maupun di dalam satu negara itu sendiri. Kondisi ini terlihat dari ketimpangan konsumsi, di mana sebagian pihak bisa melakukan konsumsi berlebihan atau overconsuming, sementara sebagian lainnya kekurangan[9]. Di Indonesia misalnya, pada Maret 2024, indikator ketimpangan distribusi pendapatan (rasio gini) meningkat menjadi 0,379. Angka ini merupakan yang terburuk dalam satu dekade terakhir[10]. Semakin mendekati 1, berarti ketimpangan distribusi pendapatan menjadi semakin parah. Meski lebih rendah dari rata-rata global sebesar 0,420, angka ini masih lebih tinggi dibanding negara-negara berpenghasilan tinggi[11], yang rata-rata berada di angka 0,321. Oleh karena itu, diperlukan ukuran parameter lain yang lebih inklusif untuk mengukur pertumbuhan ekonomi. Menurut Jason Hickel, degrowth tidak berarti penurunan pertumbuhan ekonomi atau resesi (perlambatan ekonomi tahunan berturut-turut), tetapi mengarahkan penggunaan sumber daya yang membawa ekonomi kembali kepada keseimbangannya sesuai dengan kapasitas lingkungan. Pendekatan ini bertujuan menurunkan ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan manusia[12]. Tiga masalah akibat pertumbuhan “toxic” Meskipun terdapat banyak kritik, nyatanya pertumbuhan PDB masih sering digunakan sebagai indikator utama mengukur pertumbuhan ekonomi. Ukuran ini didasarkan pada peningkatan produksi barang dan jasa, yang selanjutnya harus diserap melalui konsumsi[13]. Namun, selain tidak akurat dalam mengukur kinerja ekonomi dan kesejahteraan rakyat[14], obsesi pada pertumbuhan PDB justru memunculkan banyak masalah dan bahkan dapat menjadi “racun” yang mengorbankan keberlanjutan jangka panjang. 1. Eksploitasi sumber daya alam Pertumbuhan berbasis produksi akan terus mendorong penggunaan sumber daya alam sebagai bahan baku. Akibatnya, ekstraksi sumber daya alam yang dilakukan secara berlebihan, merusak keseimbangan ekosistem untuk keuntungan jangka pendek. Di sisi konsumsi, masyarakat juga didorong untuk terus membeli produk demi mendongkrak laba produsen. Pada akhirnya, pola ini menimbulkan permasalahan sosial[15] dan meningkatkan volume limbah[16]. Keseluruhan aktivitas ini akan menimbulkan dampak besar pada lingkungan, dikarenakan adanya ketidakseimbangan antara ekstraksi sumber daya alam dan periode regenerasi alami lingkungan, serta keterbatasan kapasitas alam untuk mengolah limbah yang dihasilkan dari proses produksi dan konsumsi[17]. Akibatnya, krisis iklim semakin parah dan bencana alam akan semakin sering terjadi. 2. Ketergantungan pada utang Pertumbuhan yang mengandalkan utang konsumtif menjadi salah satu pola yang sering terjadi. Dalam sistem ekonomi yang ada saat ini, utang sering kali digunakan untuk membiayai produksi, investasi, konsumsi, dan kegiatan ekonomi lain. Dengan kata lain, utang menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi. Utang biasanya akan dibayar dari pendapatan yang diperoleh pemerintah atau individu di masa depan, yang dihasilkan dari kegiatan ekonomi produktif. Kondisi ini otomatis membuat generasi mendatang harus menanggung beban pembayaran utang beserta bunganya. Beban untuk membayar warisan utang pemerintahan sebelumnya ini berpotensi semakin mendorong proses ekstraksi sumber daya alam. Selain itu, utang juga memperparah ketimpangan. Negara/individu dengan kemampuan ekonomi rendah cenderung harus membayar bunga yang lebih tinggi, sehingga utang juga berisiko memicu krisis keuangan[18]. 3. Ketimpangan ekonomi dan sosial Fokus berlebihan pada pertumbuhan PDB juga dapat menciptakan bom waktu berupa kesenjangan ekonomi dan sosial. Seperti yang telah disampaikan sebelumnya, PDB diukur secara agregat sehingga tidak merefleksikan distribusi pendapatan[19]. Ketimpangan ini dapat dilihat dari distribusi pendapatan antar kelompok masyarakat. Data tren sejak 1820 hingga 2022 menunjukkan bahwa 10% orang terkaya menguasai sebagian besar kekayaan global[20], meskipun angka PDB selalu meningkat dari tahun ke tahun[21]. Fakta ini menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB yang selama ini telah dicapai, belum mampu mendorong pemerataan kesejahteraan. Ketimpangan ini dikhawatirkan dapat memicu berbagai macam krisis ekonomi dan konflik sosial. Target Pertumbuhan Ekonomi Prabowo, Faisal Basri: Ngawur. Relevansi dan urgensi bagi Indonesia Target pertumbuhan ekonomi 8% yang diusung pemerintahan Prabowo memerlukan kajian kritis, terutama dengan mempertimbangkan tantangan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang kompleks di Indonesia. Salah satu ancaman terbesar berasal dari model pertumbuhan ekstraktif yang mendominasi pembangunan ekonomi. Pendekatan seperti deforestasi untuk ekspor komoditas dan perluasan tambang[22] telah memicu krisis lingkungan serius, mulai dari banjir, polusi, hingga hilangnya biodiversitas. Jika eksploitasi sumber daya alam ini terus berlanjut tanpa memperhatikan keberlanjutan, kerusakan ekosistem akan semakin parah, mengancam daya dukung lingkungan bagi generasi mendatang[23]. Selain itu, strategi berbasis utang menambah risiko. Beban utang Indonesia, baik di tingkat negara maupun individu [24], saat ini sudah signifikan. Jika target 8% hanya dicapai melalui pinjaman konsumtif, tanpa perencanaan yang matang, potensi krisis utang akan semakin tinggi, membebani generasi masa depan dan memperburuk ketahanan ekonomi nasional[25]. Ketimpangan ekonomi menjadi tantangan lain yang tak kalah serius. Selama dua dekade terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih banyak menguntungkan kalangan elite, sementara mayoritas masyarakat tetap tertinggal[26]. Sebagai contoh, kebijakan PPN 12% cenderung lebih membebani kelompok pendapatan rendah dan menengah[27] daripada kelompok pendapatan tinggi. Jika kebutuhan pokok tidak dikecualikan atau mendapat penyesuaian dari PPN 12%, maka beban ekonomi akan lebih terasa pada kelompok pendapatan rendah dan menengah. Kebijakan yang mengutamakan kepentingan korporasi atau golongan kaya [28] hanya akan memperparah ketidakadilan ini. Dalam situasi ini, angka pertumbuhan tinggi tidak akan berarti banyak bagi mayoritas rakyat Indonesia yang masih hidup dalam ketidakpastian ekonomi[29]. Indonesia membutuhkan pendekatan pembangunan yang lebih holistik dan inklusif [30]. Fokus pada pemerataan manfaat, perlindungan lingkungan, dan pengurangan ketergantungan pada utang harus menjadi prioritas. Konsep degrowth menawarkan paradigma alternatif, yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat, daripada sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi[31]. Dalam hal ini, pengawasan publik terhadap kebijakan ekonomi menjadi hal yang sangat penting. Kebijakan yang mengutamakan investasi pada energi terbarukan[32], perlindungan ekosistem[33], dan pembangunan berkelanjutan[34] akan memastikan bahwa target ambisius ini tidak mengorbankan generasi mendatang, tetapi memberikan manfaat nyata bagi seluruh lapisan masyarakat. Kesimpulan Mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi, seperti target 8%, harus disertai pertimbangan kesejahteraan jangka panjang. Terlepas apakah target tersebut realistis atau tidak, kebijakan ekonomi yang hanya fokus pada angka tanpa memperhatikan keberlanjutan dan pemerataan manfaat, akan merugikan generasi mendatang. Saatnya pemerintah dan masyarakat bersama-sama mendorong pendekatan pembangunan yang inklusif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungan. Investasi pada ekonomi terbarukan, perlindungan ekosistem, serta pengurangan ketimpangan harus menjadi prioritas. Mari memastikan bahwa pertumbuhan ekonomi membawa manfaat nyata bagi semua, tanpa mengorbankan masa depan bangsa. Pemerintah pun, terlepas dari siapa pun presidennya, harus memiliki visi pembangunan berjangka panjang. Tidak seperti yang terjadi selama ini kebijakan presiden A berbeda dengan kebijakan presiden B. Kebijakan yang terus berubah antara satu pemerintahan dengan yang berikutnya hanya akan menghambat kemajuan Indonesia secara keseluruhan. References^ #PantauPrabowo (theconversation.com)^ delapan persen setiap tahun, selama lima tahun ke depan (www.cnnindonesia.com)^ terlalu ambisius (theconversation.com)^ mengorbankan masa depan bangsa Indonesia? (doi.org)^ hilirisasi industri nasional (www.cnnindonesia.com)^ pertumbuhan ekonomi tinggi (theconversation.com)^ nilai tambah dari aktivitas ekonomi (www.economicsobservatory.com)^ peningkatan volume secara keseluruhan, tanpa melihat distribusi di dalamnya (www.scientificamerican.com)^ sebagian pihak bisa melakukan konsumsi berlebihan atau overconsuming, sementara sebagian lainnya kekurangan (www.circle-economy.com)^ terburuk dalam satu dekade terakhir (data.goodstats.id)^ lebih tinggi dibanding negara-negara berpenghasilan tinggi (doi.org)^ menurunkan ketimpangan dan meningkatkan kesejahteraan manusia (populationmatters.org)^ diserap melalui konsumsi (www.nature.com)^ tidak akurat dalam mengukur kinerja ekonomi dan kesejahteraan rakyat (hbr.org)^ permasalahan sosial (theconversation.com)^ meningkatkan volume limbah (www.europarl.europa.eu)^ proses produksi dan konsumsi (www.orkestra.deusto.es)^ utang juga berisiko memicu krisis keuangan (enabanda.si)^ distribusi pendapatan (www.imf.org)^ 10% orang terkaya menguasai sebagian besar kekayaan global (ourworldindata.org)^ meningkat dari tahun ke tahun (ourworldindata.org)^ deforestasi untuk ekspor komoditas dan perluasan tambang (theconversation.com)^ mengancam daya dukung lingkungan bagi generasi mendatang (theconversation.com)^ tingkat negara maupun individu (www.bi.go.id)^ membebani generasi masa depan dan memperburuk ketahanan ekonomi nasional (theconversation.com)^ mayoritas masyarakat tetap tertinggal (theconversation.com)^ kelompok pendapatan rendah dan menengah (theconversation.com)^ mengutamakan kepentingan korporasi atau golongan kaya (theconversation.com)^ hidup dalam ketidakpastian ekonomi (theconversation.com)^ lebih holistik dan inklusif (feb.ui.ac.id)^ kesejahteraan masyarakat, daripada sekadar mengejar angka pertumbuhan ekonomi (theconversation.com)^ energi terbarukan (theconversation.com)^ perlindungan ekosistem (theconversation.com)^ pembangunan berkelanjutan (theconversation.com)Authors: Nur Dhani Hendranastiti, Lecturer and Researcher, Universitas Indonesia

Read more https://theconversation.com/prabowo-tidak-perlu-terlalu-bernafsu-kejar-target-pertumbuhan-8-persen-246048

Magazine

Bagaimana angin Santa Ana memicu kebakaran mematikan di California Selatan

Ribuan rumah terbakar dalam beberapa hari, mulai 7 Januari 2025, di wilayah Los Angeles.(AP Photo/Ethan Swope)Angin Santa Ana yang kuat, dengan kekuatan hembusan setara badai, bertiup dari pegunungan ...

Prabowo tidak perlu terlalu bernafsu kejar target pertumbuhan 8 persen

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi akan bekerja mulai 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #PantauP...

Bagaimana membuat anak-anak betah dalam ‘road trip’ tanpa gawai

Beberapa tahun yang lalu, putri saya mengerjakan soal matematika: berapa biaya untuk mengantar keluarga beranggotakan empat orang dari Melbourne ke Sydney, Australia, dengan menghitung biaya bensin pe...