Asian Spectator

The Times Real Estate

.

‘Sing beling sing nganten’: Bagaimana budaya lokal di Bali memaksa perempuan menjadi penghasil keturunan

  • Written by Anastasia Septya Titisari, Peneliti Muda Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
‘Sing beling sing nganten’: Bagaimana budaya lokal di Bali memaksa perempuan menjadi penghasil keturunan

Seks pranikah (sebelum menikah) adalah topik yang kompleks dan sering menjadi perdebatan dari sisi moral, psikologis, dan agama. Di Indonesia, perbuatan seks pranikah dapat menimbulkan sanksi sosial[1] bahkan hukum, terutama bila hidup bersama tanpa ikatan perkawinan.

Pasal 412 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)[2] mengatur bahwa hidup bersama di luar perkawinan dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak Rp10 juta. Tindakan kohabitasi (hidup bersama tanpa ikatan pernikahan) ini dapat diproses secara hukum jika ada pengaduan.

Meskipun ada sanksi sosial dan peraturan hukum, beberapa budaya “melegalkan” hal ini. Di Bali, misalnya, ada sebuah istilah “sing beling sing nganten” yang memiliki makna “tidak hamil tidak menikah”[3]. Sing beling sing nganten ini bukan hanya sekadar slogan, tetapi sudah menimbulkan keresahan karena menyebabkan tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan[4]. Pasalnya, hal ini diterapkan oleh para remaja dan didukung oleh orang tua[5].

Budaya “sing beling sing nganten” merupakan potret konstruksi gender yang timpang. Melalui budaya patriarkis semacam ini, masyarakat membentuk peran perempuan sebagai penghasil keturunan bagi keluarga pasangannya, sehingga membatasi kebebasan perempuan atas hak seksual dan reproduksinya.

Hamil tidak hamil, perempuan tetap dirugikan

Berdasarkan laporan Youth Voices Research[6], tradisi sing beling sing nganten memungkinkan atau bahkan mendorong hubungan seks pranikah untuk menguji kesuburan perempuan sebelum menikah.

Jika perempuan tersebut hamil, pasangan tersebut akan menikah. Namun, jika tidak hamil, mereka tidak akan menikah.

Sing beling sing nganten mencerminkan tekanan sosial bagi laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan mereka[7]. Di sisi lain, hal ini sangat merugikan perempuan, karena mereka sering kali dijadikan objek percobaan dan menghadapi stigma jika tidak hamil atau jika hamil di luar nikah.

Perempuan yang tidak kunjung hamil sering kali menghadapi stigma sosial[8] yang signifikan. Mereka dianggap tidak mampu memenuhi harapan sosial untuk melahirkan anak. Ini dapat membuat perempuan merasa tidak berharga dan terpinggirkan dalam masyarakat.

Stigma ini juga dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan emosional perempuan. Pasalnya, mereka mungkin merasa tertekan dan cemas akibat tekanan sosial yang kuat untuk membuktikan kesuburan mereka.

Sebaliknya, perempuan yang mengalami kehamilan pranikah sering kali berada dalam posisi subordinat dalam masyarakat.

Studi[9] tentang fenomena sing beling sing nganten menjelaskan bahwa perempuan yang hamil di luar nikah juga sering kali menghadapi stigma sosial, diskriminasi, dan tekanan. Mereka juga sering kali kehilangan dukungan dari keluarga dan masyarakat, yang dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan fisik mereka.

Kentalnya patriaki di Bali

Studi di atas[10] juga menyoroti bahwa norma sosial dan budaya patriarki memperkuat subordinasi perempuan dalam situasi ini, dengan menempatkan tanggung jawab dan beban moral pada perempuan.

Budaya patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki memegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan dalam politik, otoritas moral, hak sosial, dan kontrol properti [11]. Dalam masyarakat patriarki, perempuan sering kali ditempatkan dalam posisi subordinat dan memiliki akses yang lebih terbatas terhadap sumber daya dan kesempatan.

Di Bali[12], budaya patriarkinya sangat kuat dan memengaruhi berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk dalam preferensi anak. Anak seakan menjadi bagian dalam proses reinkarnasi leluhur dan digunakan untuk melanjutkan tradisi dalam menjaga keseimbangan keluarga.

Memiliki anak laki-laki masih diutamakan bagi masyarakat Bali karena mereka dianggap sebagai pewaris, penerus garis keturunan, bertanggung jawab atas ritual keluarga[13]. Ini menambah tekanan bagi perempuan untuk melahirkan anak, terutama anak laki-laki.

Padahal, studi[14] menunjukkan bahwa dalam kepercayaan Hindu, perempuan digambarkan dengan sangat mulia dan memiliki peran penting. Perempuan dipuja sebagai kekuatan sakti yang penting bagi laki-laki. Dewi-dewi Hindu seperti Saraswati, Laksmi, dan Parwati menunjukkan peran penting perempuan dalam penciptaan, pemeliharaan, dan pelebur alam semesta.

Pada praktiknya, hukum adat dan tradisi patriarki di Bali[15] sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat dibandingkan laki-laki. Meski perempuan Bali memiliki peran penting dalam kehidupan sosial dan keagamaan, mereka sering kali tidak diakui secara setara. Kesetaraan gender dalam ajaran Hindu bertentangan[16] dengan ketidakadilan yang dialami perempuan Bali dalam kehidupan sehari-hari.

Refleksi

Sing beling sing nganten di Bali telah menyebabkan tekanan sosial dan budaya yang kuat bagi perempuan Bali[17]. Tradisi ini menempatkan perempuan dalam posisi yang rentan. Sebab, mereka sering kali menjadi objek percobaan dan tetap menghadapi stigma, baik tidak hamil maupun hamil di luar nikah.

Ini menunjukkan ketidakadilan gender yang masih ada dalam masyarakat Bali, di mana perempuan harus membuktikan kesuburan mereka untuk memenuhi harapan sosial dan budaya. Selain itu, fenomena ini juga memperkuat norma-norma patriarki[18] yang menempatkan tanggung jawab reproduksi sepenuhnya pada perempuan, sementara laki-laki sering kali tidak menghadapi konsekuensi yang sama.

References

  1. ^ sosial (media.neliti.com)
  2. ^ Pasal 412 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (peraturan.bpk.go.id)
  3. ^ “tidak hamil tidak menikah” (www.posbali.net)
  4. ^ tingginya angka kehamilan yang tidak diinginkan (keluargaindonesia.id)
  5. ^ didukung oleh orang tua (keluargaindonesia.id)
  6. ^ laporan Youth Voices Research (www.gemilangsehat.org)
  7. ^ melanjutkan garis keturunan mereka (e-journal.unair.ac.id)
  8. ^ stigma sosial (123dok.com)
  9. ^ Studi (e-journal.unair.ac.id)
  10. ^ di atas (e-journal.unair.ac.id)
  11. ^ politik, otoritas moral, hak sosial, dan kontrol properti (e-journal.unair.ac.id)
  12. ^ Di Bali (gatesopenresearch.org)
  13. ^ pewaris, penerus garis keturunan, bertanggung jawab atas ritual keluarga (gatesopenresearch.org)
  14. ^ studi (media.neliti.com)
  15. ^ Bali (gatesopenresearch.org)
  16. ^ Kesetaraan gender dalam ajaran Hindu bertentangan (media.neliti.com)
  17. ^ perempuan Bali (www.gemilangsehat.org)
  18. ^ norma-norma patriarki (e-journal.unair.ac.id)

Authors: Anastasia Septya Titisari, Peneliti Muda Pusat Riset Kependudukan, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

Read more https://theconversation.com/sing-beling-sing-nganten-bagaimana-budaya-lokal-di-bali-memaksa-perempuan-menjadi-penghasil-keturunan-247220

Magazine

Bukan sekadar ‘pengungsian’ TikTok, RedNote jadi kemenangan tak terduga bagi ‘soft power’ Cina

As the fate of TikTok hung in the balance, US users flocked to the Chinese social media app, Xiaohongshu.Mojahid Mottakin / ShutterstockPresiden Amerika Serikat (AS) yang baru kembali menjabat, Donald...

‘Sing beling sing nganten’: Bagaimana budaya lokal di Bali memaksa perempuan menjadi penghasil keturunan

Ilustrasi perempuan sedang melakukan ibadah di Pura di Bali.portraitbyocs/ShutterstockSeks pranikah (sebelum menikah) adalah topik yang kompleks dan sering menjadi perdebatan dari sisi moral, psikolog...

The Ubiquitous Cardboard Box: A Staple in Everyday Life

Cardboard boxes are more than just simple storage or shipping tools. They have become an integral part of modern living, touching almost every industry and home. From packaging delicate items to fac...