Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Ancaman proteksionisme Trump jadi tantangan bagi BRICS: Indonesia harus antisipasi

  • Written by Ayu Anastasya Rachman, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Bina Mandiri Gorontalo
Ancaman proteksionisme Trump jadi tantangan bagi BRICS: Indonesia harus antisipasi

Awal tahun 2025 ini, mayoritas perhatian global mengarah pada pelantikan kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS). Kebijakan “America First”[1] andalan Trump, yang menekankan pada proteksionisme ekonomi[2] dan prioritas terhadap kepentingan nasional AS[3] kembali jadi pusat perhatian. Ini karena kebijakan tersebut berpotensi membawa dampak signifikan bagi negara-negara di Global South–yang mayoritas telah bergabung dengan blok ekonomi BRICS, termasuk Indonesia.

Kebijakan ekonomi proteksionisme[4] meliputi penerapan tarif impor, pembatasan kuota, dan berbagai regulasi lain yang bertujuan mengurangi masuknya barang dan jasa dari luar negeri. Tujuan utamanya[5] adalah untuk melindungi industri domestik dari persaingan asing, meningkatkan produksi dalam negeri dan menjaga stabilitas ekonomi domestik.

Dampak kebijakan proteksionisme[6] yang diterapkan oleh negara-negara maju, seperti AS, bagi negara-negara di Global South antara lain mengurangi akses pasar bagi produk-produk dari negara berkembang. Saat ini, eksportasi negara berkembang masih sangat bergantung pada akses negara-negara maju. Konsekuensinya, perkembangan industri lokal di negara berkembang bisa terhambat[7], dan hal ini akan memperlambat laju pengentasan kemiskinan.

Mengingat dampak proteksionisme yang tak terelakkan terhadap perdagangan internasional, Indonesia, secara khusus, perlu melakukan langkah antisipasi strategi untuk perlahan mengurangi ketergantungan pada AS. Namun, pemerintah Indonesia pun perlu melakukannya dengan hati-hati sedemikian mungkin agar tetap tak mengganggu hubungan positif dengan pemerintah AS.

Ancaman Trump dan resistensi BRICS

Salah satu langkah kontroversial yang diambil oleh Trump adalah ancamannya untuk memberlakukan tarif impor hingga 100% terhadap negara-negara anggota BRICS[8], jika blok ekonomi ini melanjutkan rencana untuk membuat mata uang baru[9].

Selain Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan, anggota penuh BRICS[10] kini sudah mencapai 11 Negara, termasuk Indonesia, Mesir, Iran, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Etiopia. BRICS memang tengah menggodok rencana untuk membuat mata uang kolektif[11] yang dapat menjadi alternatif dan mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Ancaman Trump tersebut mencerminkan sikap konfrontatifnya terhadap upaya negara-negara berkembang yang ingin mengurangi ketergantungan pada dolar AS dalam perdagangan internasional. Dalam konteks geopolitik, ancaman tersebut juga menggarisbawahi ketakutan AS terhadap pergeseran tatanan global di mana dominasi dolar AS mulai digoyahkan.

Jika BRICS berhasil menciptakan mata uang baru, ini tidak hanya akan mengurangi pengaruh ekonomi AS, tetapi juga melemahkan leverage politik Washington, yang berimplikasi turunnya posisi AS untuk memengaruhi atau mengarahkan kebijakan dan tindakan negara lain sesuai dengan kepentingannya. Leverage politik ini sering kali didukung oleh dominasi ekonomi, kekuatan militer, dan pengaruh diplomatik yang dimiliki AS.

Melemahnya leverage politik AS dalam hubungan internasional dapat mengurangi efektivitasnya dalam mencapai tujuan kebijakan luar negeri, seperti membentuk aliansi strategis, mempromosikan nilai-nilai demokrasi, dan mengamankan kepentingan ekonominya.

Secara global, hal ini dapat mengubah dinamika kekuasaan internasional, memungkinkan negara lain meningkatkan pengaruh mereka, yang berpotensi menggeser aliansi dan menciptakan ketidakpastian jika tidak ada kekuatan yang mampu atau bersedia memimpin tatanan internasional.

Tak semudah itu bagi BRICS

BRICS sendiri tampaknya akan menghadapi tantangan internal yang cukup kompleks, seperti perbedaan kepentingan ekonomi dan politik, yang akan menjadi hambatan dalam implementasi mata uang bersama dan strategi kolektif menghadapi tekanan AS.

Brasil, misalnya, sangat bergantung pada ekspor komoditas ke pasar internasional yang menggunakan dolar. Di sisi lain Cina memiliki surplus perdagangan besar dengan banyak negara BRICS.[12][13]

Permasalahan yang dialami Indonesia dan Brazil berpotensi dialami oleh anggota BRICS yang masih tergolong negara berkembang. Ketidakseimbangan ini mempersulit upaya membangun mata uang bersama yang stabil dan efektif. Meski demikian, upaya tersebut tetap menjadi langkah konkret untuk menghadapi tantangan dari AS.

Posisi Indonesia rentan

Sebagai anggota baru BRICS, Indonesia berada dalam posisi yang rentan terhadap ancaman tarif tinggi dari AS, karena AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia[14]. Ekspor nonmigas Indonesia ke AS tembus Rp29,55 triliun pada Januari-September 2024[15]. Peningkatan tarif impor oleh AS dapat menurunkan daya saing produk Indonesia di pasar AS.

Sebagai contoh, produk utama Indonesia seperti tekstil, karet, dan produk agrikultur bisa kehilangan pasar akibat harga yang lebih mahal dibandingkan dengan pesaingnya, yakni Vietnam[16], Thailand dan Malaysia[17].

Lebih jauh lagi, dampak ini tidak hanya akan memukul sektor ekspor tetapi juga industri domestik yang bergantung pada pasar AS. Dalam jangka panjang, ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah ke pasar AS menjadi tantangan strategis yang harus segera diatasi.

Langkah antisipasi Indonesia

Untuk memitigasi risiko ini, Indonesia perlu mengambil beberapa langkah strategis. Diversifikasi pasar ekspor menjadi penting untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS.

Mengembangkan pasar di negara-negara lain, terutama di kawasan Asia dan Afrika, dapat menjadi alternatif yang menjanjikan. Selain itu, memperkuat kerja sama ekonomi regional melalui perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara tetangga dapat membuka akses ke pasar baru dan meningkatkan daya saing produk Indonesia.

Intensifikasi model kerja sama dalam inisiatif-inisiatif BRICS, seperti pembentukan mata uang bersama atau bank pembangunan, dapat memberikan manfaat jangka panjang bagi perekonomian Indonesia dan sesama anggota BRICS. Bank Pembangunan BRICS, misalnya, dapat menjadi sumber pendanaan alternatif bagi proyek infrastruktur strategis Indonesia, mengurangi ketergantungan pada institusi keuangan tradisional seperti IMF atau Bank Dunia.

Indonesia juga perlu tetap bebas aktif memanfaatkan platform regionalisme dan forum dagang seperti ASEAN dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) untuk memperluas jangkauan perdagangan.

Di saat bersamaan, pemerintah juga perlu mempercepat implementasi kebijakan yang mendorong peningkatan nilai tambah produk ekspor dengan berfokus pada inovasi dan peningkatan kualitas. Investasi dalam teknologi dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia menjadi kunci untuk menghasilkan produk yang lebih kompetitif di pasar global.

Selain itu, memperkuat infrastruktur dan konektivitas logistik akan membantu menekan biaya produksi dan distribusi, sehingga meningkatkan efisiensi dan daya saing produk Indonesia. Upaya ini memerlukan koordinasi antara pemerintah dan sektor swasta untuk memastikan bahwa produk ekspor Indonesia memiliki daya saing tinggi di pasar global. Sebagai contoh, sektor teknologi pangan dan energi terbarukan dapat menjadi area investasi strategis yang mendukung daya saing jangka panjang.

Diplomasi yang cermat dan kebijakan luar negeri yang adaptif diperlukan untuk memastikan kepentingan nasional Indonesia tetap terjaga di tengah persaingan kekuatan global. Pemerintah Indonesia harus memastikan bahwa hubungan dengan AS tetap positif, terutama dalam bidang investasi dan transfer teknologi, sambil secara bersamaan memperkuat posisi dalam BRICS untuk mendapatkan manfaat ekonomi jangka panjang.

References

  1. ^ “America First” (www.whitehouse.gov)
  2. ^ proteksionisme ekonomi (www.globaltradeandsanctionslaw.com)
  3. ^ prioritas terhadap kepentingan nasional AS (www.state.gov)
  4. ^ Kebijakan ekonomi proteksionisme (spada.uns.ac.id)
  5. ^ Tujuan utamanya (kumparan.com)
  6. ^ Dampak kebijakan proteksionisme (www.nber.org)
  7. ^ bisa terhambat (www.imf.org)
  8. ^ ancamannya untuk memberlakukan tarif impor hingga 100% terhadap negara-negara anggota BRICS (www.bbc.com)
  9. ^ melanjutkan rencana untuk membuat mata uang baru (www.reuters.com)
  10. ^ anggota penuh BRICS (www.gov.br)
  11. ^ membuat mata uang kolektif (foreignpolicy.com)
  12. ^ sangat bergantung pada ekspor komoditas ke pasar internasional yang menggunakan dolar (www.ers.usda.gov)
  13. ^ Cina memiliki surplus perdagangan besar dengan banyak negara BRICS. (www.china-briefing.com)
  14. ^ karena AS merupakan salah satu mitra dagang utama Indonesia (www.antaranews.com)
  15. ^ tembus Rp29,55 triliun pada Januari-September 2024 (www.bps.go.id)
  16. ^ Vietnam (jurnal.kemendag.go.id)
  17. ^ Thailand dan Malaysia (www.google.com)

Authors: Ayu Anastasya Rachman, Dosen Hubungan Internasional, Universitas Bina Mandiri Gorontalo

Read more https://theconversation.com/ancaman-proteksionisme-trump-jadi-tantangan-bagi-brics-indonesia-harus-antisipasi-247998

Magazine

Ancaman proteksionisme Trump jadi tantangan bagi BRICS: Indonesia harus antisipasi

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.Jonah Elkowitz/ShutterstockAwal tahun 2025 ini, mayoritas perhatian global mengarah pada pelantikan kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat (AS...

PP Kesehatan baru: Alasan aturan pengendalian tembakau harus diperkuat di era Prabowo

Prabowo-Gibran yang pencalonannya sebagai Presiden dan Wakil Presiden memantik kontroversi telah mulai bekerja sejak 20 Oktober 2024.Untuk mengawal pemerintahan mereka, kami menerbitkan edisi khusus #...

Peatlands and mangroves: Southeast Asian countries must protect these major carbon pools to boost climate ambitions

Peat swamp in Danau Sentarum National Park, West Kalimantan.(Bramanthya Fathi Makarim/Shutterstock)Protecting and restoring peatlands and mangroves can strengthen Southeast Asian countries’ effo...