Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Refleksi inefektivitas penjabat kepala daerah: Jangan sampai terulang lagi oleh pemimpin daerah terpilih

  • Written by Eduardo Edwin Ramda, Analis Kebijakan, Regional Autonomy Watch
Refleksi inefektivitas penjabat kepala daerah: Jangan sampai terulang lagi oleh pemimpin daerah terpilih

Imajinasi masa lalu soal desentralisasi sebagai jalan kesejahteraan[1] nampak kian buyar dua dekade terakhir ini. Hal ini makin terlihat sejak ditunjuknya penjabat kepala daerah imbas dari Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024.

Sebelum Pilkada berlangsung, setidaknya ada beberapa Pj Gubernur yang bermasalah dari sisi kinerja. Catatan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN)[2] (2023) menunjukkan bahwa Pj kepala daerah kurang optimal dalam hal penegakkan netralitas ASN.

Kinerja mayoritas Pj kepala daerah di Indonesia belum memberikan implikasi yang signifikan terhadap pembangunan daerah. Pj kepala daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat benar-benar hanya mengerjakan apa yang menjadi instruksi pusat ketimbang agenda daerah prioritas.

Seringnya agenda yang dianggap penting oleh pusat belum tentu menggambarkan kebutuhan daerah secara riil. Problematika prioritas di daerah tak kunjung tuntas akibat kegagalan tata kelola dan koordinasi pusat-daerah.

Proses pemilihan kepala daerah definitif secara demokratis belum menuntun rakyat pada pintu gerbang kesejahteraan. Langkah pemerintah pusat menunjuk Pj kepala daerah di masa sede vacante (kekosongan kursi) tak kunjung mengubah keadaan. Padahal, dalam beberapa diskursus pusat kerap menuding bahwa pemerintah daerah cenderung sulit dikendalikan.

Rapor buruk penjabat daerah

Sejatinya, tidak ada negara miskin[3], yang ada negara salah urus. Argumentasi ini nampak relevan bilamana kita melihat realita hari ini. Praktik baik otonomi daerah di sejumlah wilayah tidak hanya menghadirkan pertumbuhan signifikan, namun melahirkan sejumlah figur pemimpin yang akhirnya berkontestasi dan berkarya di level pusat.

Di sisi lain, kegagalan pimpinan daerah dalam mengurus daerah terlihat dari capaian pembangunan minor dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan, dan tata kelola.

Praktik kepemimpinan Pj kepala daerah saat ini tidak menunjukkan kinerja yang lebih baik dibandingkan kepala daerah definitif. Nyaris tidak ada perubahan signifikan dan akseleratif yang dihasilkan oleh kinerja mereka.

Pj kepala daerah cenderung bekerja melayani arahan pusat dibandingkan menghasilkan kebijakan yang relevan dengan persoalan riil di daerah.

Misalnya, Pj gubernur Aceh[4] yang dinilai lebih fokus pada urusan terkait hajatan nasional PON daripada agenda pembangunan daerah. Hal ini dapat dilihat dari serapan APBA yang rendah[5] dan program kerja yang business as usual sehingga masalah struktural terkait kemiskinan[6] masih terjadi.

Kinerja tata kelola Pj kepala daerah berada pada level minor dari sisi perencanaan penganggaran, pelayanan publik, hingga pengawasan. Dokumen perencanaan dan penganggaran (RPJMD, RKPD, APBD, Data Usulan Musrenbang, dan APBD) dan regulasi daerah terkait lainnya, pada semua dimensi cenderung tertutup dan tak mudah diakses oleh publik. Di sisi lain, penyelenggaraan infrastruktur belum ramah terhadap kelompok rentan, layanan masih berbelit dan lambat, meskipun sudah tidak dipungut biaya.

Daerah nampak bergerak autopilot akibat fokus Pj kepala daerah tidak relate dengan kebutuhan riil masyarakat. Eksistensi Pj kepala daerah sedari dini tidak dirancang untuk menuntaskan persoalan daerah, seperti disharmoni aturan pusat dan daerah, kurang optimalnya pelayanan publik, hingga capaian kinerja makro (kemiskinan, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi).

Paradigma tata kelola pemerintahan di era PJ menempatkan aktor nonpemerintah sebagai objek pembangunan. Kebijakan Pj kepala daerah cenderung memprioritaskan kepentingan pembangunan pemerintah pusat, sehingga seringkali minim perspektif penganggaran dan peta jalan kebijakan berbasis kebutuhan riil daerah.

Minimnya partisipasi publik dalam perumusan kebijakan daerah menempatkan kelompok ini sebagai kelompok rentan atas rentetan kebijakan blunder Pj kepala daerah.

Apa sebabnya?

Ada dua persoalan serius yang menyebabkan terjadinya kekisruhan pemerintahan daerah di era Pj kepala daerah.

Pertama, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023[7] tidak mengatur secara jelas terkait metode evaluasi kinerja dan proses pemilihan yang transparan dan partisipatif. Kedua, dari sisi mekanisme timbul proses pemilihan yang tidak demokratis, minim partisipasi publik, kurangnya transparansi dan tidak akuntabel akibat substansi regulasi yang ringkih secara substansi.

Posisi Pj kepala daerah ibaratkan menari dalam penjara. Mereka dituntut untuk membuat publik dan pusat merasa senang atas pekerjaan mereka. Di sisi lain, desain kelembagaan yang ada tidak mendukung mereka untuk melakukan inovasi dan penyegaran organisasi perangkat daerah.

Akibatnya, mereka cenderung bekerja dengan paradigma business as usual[8] dibandingkan melahirkan kebijakan yang inovatif dan solutif.

Kebijakan pusat menyerahkan sede vacante kepada Penjabat kepala daerah tidak diikuti dengan adanya penguatan kepemimpinan lokal secara independen. Realitanya, mereka justru datang ke daerah bagaikan boneka yang bergerak atas kendali pusat selaku pemberi tugas.

Kewenangan yang terbatas dalam diri mereka menyebabkan nihilnya kebijakan yang berimplikasi konkret terhadap kesejahteraan rakyat. Pemerintah Pusat turut andil atas kekacauan Pemerintahan Daerah yang terjadi.

Menteri Dalam Negeri melakukan proses mutasi secara tidak transparan dan akuntabel[9]. Indikator yang tidak transparan dalam penilaian terhadap Pj kepala daerah menghadirkan kesan bahwa penilaian bersifat subjektif. Proses penunjukkan Pj juga tidak mempertimbangkan masukan publik, bahkan terkesan bagi-bagi jabatan kepada sejumlah eselon.

Idealnya, rakyat sebagai pemegang supremasi tertinggi bisa berbuat sesuatu dalam menyikapi persoalan ini. Nyatanya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai representasi masyarakat di daerah tidak bisa menunaikan tugas mereka secara sempurna. Dalam hal pengusulan, DPRD juga bersikap tidak transparan karena ketiadaan diskusi publik untuk pengusulan nama kandidat Pj kepala daerah.

Dengan dilantiknya 505 kepala daerah definitif pada 20 Februari mendatang, semoga menjadi pembelajaran bagi pemerintah pusat maupun daerah untuk mengubah paradigma kinerja para Pj kepala daerah. Hal ini penting karena pemerintahan daerah menjadi wadah utama bagi rakyat dalam mengakses hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

References

  1. ^ jalan kesejahteraan (fiskal.kemenkeu.go.id)
  2. ^ Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) (www.kasn.go.id)
  3. ^ tidak ada negara miskin (archive.org)
  4. ^ Pj gubernur Aceh (www.detik.com)
  5. ^ rendah (www.ajnn.net)
  6. ^ kemiskinan (waspadaaceh.com)
  7. ^ Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2023 (peraturan.bpk.go.id)
  8. ^ business as usual (transparansi.id)
  9. ^ transparan dan akuntabel (mediaindonesia.com)

Authors: Eduardo Edwin Ramda, Analis Kebijakan, Regional Autonomy Watch

Read more https://theconversation.com/refleksi-inefektivitas-penjabat-kepala-daerah-jangan-sampai-terulang-lagi-oleh-pemimpin-daerah-terpilih-244650

Magazine

Pembangunan infrastruktur dan hilirisasi Prabowo: Akankah partisipasi masyarakat lokal diabaikan lagi?

Jalan berliku di atas jalan Tol Cisumdawu dekat konstruksi Terowongan Cisumdawu di Sumedang, Jawa Barat.Evaluasi mendasar atas implementasi Proyek Strategis Nasional (PSN) selama satu dekade pemerinta...

Refleksi inefektivitas penjabat kepala daerah: Jangan sampai terulang lagi oleh pemimpin daerah terpilih

Kertas surat suara ditempel di papan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak 2024 di Depok, Jawa Barat.Enchanted Bulan/ShutterstockImajinasi masa lalu soal desentralisasi sebagai jalan kesejah...

KUHP baru berpotensi memperparah kelebihan kapasitas lapas. Bagaimana bisa?

Ilustrasi penjara atau rumah tahanan.Dabarti CGI/ShutterstockIndonesia sudah mengimplementasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru sejak awal tahun 2023. Berdasarkan ketentuan Pasal 624 KUH...