Dari Afrika Selatan kita belajar, mahasiswa PhD perlu jejaring bukan tekanan
- Written by Mpho-Entle Puleng Modise, Associate Professor (Curriculum Studies), University of South Africa

Pemerintah Afrika Selatan (Afsel) mengakui bahwa penelitian itu penting, terlebih yang dapat memberikan konsekuensi positif yang luas. Buku Putih tentang Sains, Teknologi, dan Inovasi tahun 2019 milik Afsel menunjukkan[1] bagaimana pengetahuan dari berbagai disiplin ilmu “saling berinteraksi” guna memperdalam kesadaran, sekaligus mengatasi tantangan serius dan jangka panjang di Afsel, seperti krisis energi, darurat ketahanan pangan, dan kesenjangan sosial.
Bahkan, Departemen Pendidikan Tinggi dan Pelatihan, maupun badan hukum seperti Yayasan Riset Nasional di Afsel secara aktif mendorong produksi riset melalui pendanaan riset[2] dan pendanaan publikasi[3].
Universitas juga aktif di sini. Mereka menawarkan lokakarya dan seminar tentang topik-topik, seperti peluang pendanaan, etika riset, penulisan hibah, dan supervisi pascasarjana.
Tak heran, beberapa peneliti Afrika Selatan telah memberikan kontribusi besar di bidang-bidang, seperti ilmu biomedis, paleontologi, dan astronomi[4]
Namun, usaha tersebut ternyata belum maksimal—terutama bagi para peneliti yang baru memulai karier akademis seperti mahasiswa PhD.
Pada tahun 2019, Universities South Africa mengadakan simposium mengenai para peneliti muda yang menemukan[5] bahwa mereka kesulitan meluangkan waktu untuk melakukan dan menerbitkan penelitian. Para peneliti muda menginginkan lebih banyak dukungan dalam pengajuan hibah dan pengembangan profil penelitian mereka.
Situasi ini mirip dengan Indonesia.
Read more: Tuntutan maksimal, dukungan minimal: beratnya beban studi doktoral di Indonesia[6]
Studi[7] yang kami lakukan sebagai anggota eksekutif dari Asosiasi Riset Pendidikan Afrika Selatan[8] menemukan bahwa peneliti muda, terutama di bidang pendidikan, meminta lebih banyak pelatihan seperti menulis, plagiarisme dan sitasi, serta membimbing mahasiswa pascasarjana. Mereka juga menginginkan lebih banyak kesempatan untuk berjejaring dan berkolaborasi satu sama lain maupun dengan akademisi senior.
Dukungan semacam ini seharusnya tidak hanya diberikan oleh organisasi profesional, tapi juga universitas dan lembaga penelitian.
Temuan utama
Asosiasi Riset Pendidikan Afrika Selatan mendefinisikan peneliti awal karier sebagai mahasiswa S3 atau peneliti yang baru memulai karier penelitian di lembaga pendidikan tinggi atau pusat penelitian lainnya.
Sebagai bagian dari dukungan terhadap para peneliti muda, asosiasi kami menawarkan penghargaan untuk mahasiswa doktoral (contohnya disertasi terbaik) seminar publik, dan bimbingan. Kami juga menyediakan pelatihan menulis naskah publikasi. Tujuannya, untuk membangun komunitas yang kritis dan suportif.
1. Dorong kolaborasi lintas disiplin ilmu
Untuk penelitian ini, kami mengambil sampel yang terdiri dari 34 peneliti muda di bidang penelitian pendidikan. Mereka semua telah mengambil bagian dalam berbagai kegiatan asosiasi. Partisipasi dalam penelitian ini bersifat sukarela.
Kami menerima 21 tanggapan melalui survei daring. Peserta diminta untuk menggambarkan keterlibatan mereka dengan asosiasi, termasuk pengalaman positif dan negatif mereka dari keterlibatan ini.
Salah satu responden berkata:
Saya menikmati lokakarya (untuk peneliti awal karier), dan konferensi (yang diadakan asosiasi) memberi saya kesempatan untuk mempresentasikan penelitian PhD saya.
Yang lain menyebutkan:
Saya telah menerbitkan makalah presentasi saya setelah memperoleh masukan dari rekan-rekan di konferensi.
Faktor positif lain yang mereka soroti adalah budaya kolaborasi dalam lingkungan penelitian yang mendukung dan kesempatan untuk berjejaring dengan peneliti yang lebih berpengalaman, termasuk dengan rekan-rekan mereka.
Para peneliti muda juga menjelaskan bagaimana keterlibatan akademisi berpengalaman melalui program asosiasi telah memengaruhi lintasan penelitian mereka sendiri secara positif.
Beberapa peserta mengatakan bahwa lembaga mereka tidak menyediakan cukup dukungan atau pendampingan yang tepat. Ini membuat mereka sangat terbantu dengan pendekatan asosiasi, terutama yang berkaitan dengan berbagi sumber daya dan pengetahuan secara terbuka.
2. Bantuan praktis dan jaringan yang lebih besar
Namun, peneliti muda juga mengidentifikasi beberapa kesenjangan dalam program asosiasi kami.
Misalnya, mereka menginginkan bantuan yang lebih praktis dalam berbagai bidang keilmuan. Ini termasuk topik-topik, seperti plagiarisme dan sitasi hingga supervisi mahasiswa pascasarjana. Yang lain menginginkan bantuan dalam memilih desain dan metodologi terbaik untuk penelitian mereka.
Peserta juga meminta lebih banyak kesempatan bagi peneliti pemula untuk terlibat dan berkolaborasi dengan akademisi berpengalaman. Hal ini dianggap penting terutama bagi mereka yang bekerja di lembaga yang kurang intensif dalam melakukan penelitian.
Para peneliti juga menyerukan kolaborasi internasional yang lebih besar, terutama di antara negara-negara Komunitas Pembangunan Afrika Selatan (SADC). Misalnya Jaringan Penelitian Pendidikan Afrika Selatan yang mencakup asosiasi dari Botswana, Lesotho, Eswatini, dan Namibia.
Intinya, mereka ingin menciptakan lebih banyak jalan bagi pendanaan dan budaya berbagi pengetahuan di kalangan peneliti awal karier.
Perluas gagasan pembangunan kapasitas
Selain itu, temuan kami juga menunjukkan keterbatasan pendekatan untuk membangun keterampilan dan kemampuan peneliti muda yang berfokus menghasilkan lebih banyak hasil penelitian.
Ini menegaskan argumen[9] dari peneliti Jack Lee dan Aliya Kuzhabekova yang menyebutkan bahwa penghitungan publikasi, paten, dan gelar doktor tidak sepenuhnya menangkap kompleksitas pembangunan kapasitas. Sebaliknya, pembangunan kapasitas penelitian melibatkan peralihan dari—seperti yang dikatakan peneliti Alison Lee dan David Boud[10]—"apa yang dihasilkan (output) ke proses produksi orang yang mengerjakan".
Kami tidak menyangkal bahwa sumber daya dan infrastruktur memainkan peran penting dalam membangun kapasitas penelitian. Semua peserta kami sepakat kurangnya dana untuk menghadiri konferensi sebagai hambatan utama.
Namun, kami berpendapat, diperlukan pula upaya membangun budaya kolaborasi dan saling mendukung yang memungkinkan jaringan sejawat berkembang. Diharapkan pula, proses saling belajar ini bisa menjadi norma.
Dewan Pendidikan Tinggi Afrika Selatan mendukung[11] pendekatan semacam ini. Dewan ini menyerukan program doktoral yang memungkinkan mahasiswa terlibat dengan berbagai pemangku kepentingan dan komunitas di luar kelompok penelitian mereka.
Strategi yang dibangun atas budaya kolaborasi dan dukungan akan mendorong produksi pengetahuan dan pertumbuhan akademis. Ini akan membantu lebih banyak peneliti muda, termasuk di Indonesia, dalam mengembangkan karier mereka.
References
- ^ menunjukkan (www.gov.za)
- ^ pendanaan riset (www.nrf.ac.za)
- ^ pendanaan publikasi (www.dhet.gov.za)
- ^ ilmu biomedis, paleontologi, dan astronomi (theconversation.com)
- ^ yang menemukan (usaf.ac.za)
- ^ Tuntutan maksimal, dukungan minimal: beratnya beban studi doktoral di Indonesia (theconversation.com)
- ^ Studi (alternation.ukzn.ac.za)
- ^ Asosiasi Riset Pendidikan Afrika Selatan (www.saera.co.za)
- ^ argumen (www.tandfonline.com)
- ^ Alison Lee dan David Boud (hdl.handle.net)
- ^ mendukung (www.che.ac.za)
Authors: Mpho-Entle Puleng Modise, Associate Professor (Curriculum Studies), University of South Africa