Lahan gambut dan mangrove adalah ekosistem kaya karbon yang harus dilindungi untuk mitigasi perubahan iklim
- Written by Sigit Sasmito, Senior Research Officer, James Cook University

Konservasi serta restorasi lahan gambut dan mangrove dapat memperkuat upaya negara-negara Asia Tenggara dalam mitigasi perubahan iklim, berdasarkan temuan penelitian terbaru[1] oleh tim riset internasional.
Meski kaya akan karbon, luas lahan gambut dan mangrove hanya 5% dari total luas daratan Asia Tenggara. Upaya konservasi dan restorasi kedua ekosistem ini diperkirakan dapat mencegah emisi karbon sekitar 770±97 megaton ekuivalen CO2 (MtCO2e) per tahun. Angka tersebut setara dengan lebih dari setengah emisi karbon hasil penggunaan lahan di Asia Tenggara.
Konservasi mangrove dan gambut menawarkan peluang mitigasi yang lebih masif melalui pengurangan emisi dari penurunan laju kehilangan ekosistem di sebuah negara. Manfaatnya pun lebih besar dari aktivitas restorasi ekosistem, meski opsi ini akan tetap berperan penting selama pelaksanaannya optimal.
Oleh karena itu, konservasi lahan gambut dan mangrove sangat layak dimasukkan dalam komitmen iklim terbaru[2] negara-negara di Asia Tenggara. Upaya tersebut dapat membantu mereka menyusun target penurunan emisi yang lebih tinggi untuk 2030 dan 2035.
Banyak manfaat selain karbon
Penelitian kami menunjukkan bahwa konservasi serta restorasi lahan gambut dan mangrove bermanfaat bagi kestabilan iklim Bumi secara jangka panjang. Maka dari itu, kedua upaya ini dapat menjadi solusi iklim berbasis alam bagi negara-negara Asia Tenggara.
Dalam kondisi alami, kedua ekosistem lahan basah ini tergenang, sehingga laju dekomposisi bahan organik (seperti daun dan ranting) terhambat—sehingga mencegah terlepasnya karbon ke atmosfer secara alami dan menyimpannya dalam tanah.
Sebagian besar karbon pada kedua ekosistem ini tersimpan di dalam tanah, hanya sebagian kecil tersimpan dalam vegetasi. Lebih dari 90% stok karbon tersimpan di lahan gambut[3] dan 78% di lahan mangrove[4] tersimpan di tanah.
Secara luas, melindungi dan memulihkan dua jenis lahan basah ini akan menghasilkan manfaat berharga lainnya. Beberapa di antaranya adalah perlindungan keanekaragaman hayati, peningkatan kualitas air, perlindungan wilayah pesisir dari erosi, penjagaan ketahanan pangan, dan sumber nafkah bagi jutaan warga pesisir di Asia Tenggara.
Tantangan perlindungan dan pemulihan
Meski menciptakan banyak manfaat, konservasi serta restorasi lahan gambut dan mangrove bukan tanpa tantangan dan risiko.
Hilangnya lahan gambut dan mangrove—umumnya karena perubahan penggunaan lahan—akan melepaskan karbon dalam jumlah besar ke atmosfer. Seiring waktu, pelepasan karbon ini akan memperparah perubahan iklim.
Perhitungan terbaru menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan selama dua dekade belakangan (2001-2022) telah menghasilkan emisi karbon sekitar 691±97 MtCO2e.
Sebagai pemilik ekosistem gambut dan mangrove yang terluas di Asia Tenggara, Indonesia menjadi penyumbang emisi terbanyak[5] di antara negara Asia Tenggara lain, mencapai 73%. Diikuti oleh Malaysia (14%), Myanmar (7%), dan Vietnam (2%). Tujuh negara Asia Tenggara lain menghasilkan 4% emisi sisanya.
Di Asia Tenggara, lahan mangrove dan gambut sering kali dianggap sebagai lahan tidak produktif. Ekosistem ini telah lama jadi sasaran utama ekspansi lahan pertanian[6].
Selain itu, kepemilikan lahan ganda, kepemilikan lahan yang tak jelas, dan kurangnya program pemantauan[7] partisipatif jangka panjang menjadi tantangan krusial[8] untuk memprioritaskan[9] dan mengimplementasikan[10] restorasi gambut maupun mangrove.
Meski banyak tantangan, ketertarikan pemerintah dan korporasi dalam mengembangkan proyek karbon berbasis konservasi serta restorasi untuk lahan gambut[11] dan mangrove[12] terus meningkat.
Oleh karena itu, sekarang adalah kesempatan yang baik untuk menyadari peran penting lahan tersebut—bukan hanya untuk mitigasi perubahan iklim—tetapi juga untuk masyarakat dan alam.
Implikasi untuk target pengurangan emisi nasional
Penelitian baru ini[13] menjawab gap dan tantangan kebijakan iklim di Asia Tenggara dengan memaparkan potensi mitigasi perubahan iklim tahunan dari konservasi dan restorasi lahan gambut dan mangrove.
Potensi mitigasi perubahan iklim dari lahan gambut dan mangrove untuk sektor lahan berbeda-beda untuk setiap negara.
Temuan penelitian ini[14] menunjukkan bahwa aksi konservasi dan restorasi kedua lahan basah ini dapat mengurangi emisi penggunaan lahan nasional hingga 88% di Malaysia, 64% di Indonesia, dan 60% di Brunei. Negara lain seperti Myanmar dapat menurun hingga 39%, Filipina di angka 26%, Kamboja di angka 18%, Vietnam di angka 13%, Thailand di angka 10%, Laos di angka 9%, Singapura di angka 2%, dan Timor Leste di angka 0.04%.
Penelitian[15] kami juga menunjukkan bahwa potensi mitigasi dari lahan gambut dan mangrove di Indonesia dapat memenuhi target FOLU Net Sink[16] pada 2030.
Dalam dokumen komitmen iklim 2022 (ENDC)[17], Indonesia berencana untuk mengurangi emisi tahunan dari sektor kehutanan dan lahan antara 500-729 MtCO2e pada 2030, tergantung pada level dukungan ekternal. Berdasarkan temuan penelitian ini, angka ini setara dengan potensi yang secara kolektif dapat dihasilkan oleh konservasi dan restorasi lahan gambut dan mangrove.
Meski begitu, mengandalkan lahan gambut dan mangrove saja tidak cukup untuk menghindarkan kita ke level perubahan iklim masa depan yang amat berbahaya.
Dekarbonisasi dari sumber utama perubahan iklim, yaitu sektor energi, masih menjadi upaya paling efektif untuk mengatasi perubahan iklim dan sederet akibatnya. Perlindungan lahan gambut dan mangrove akan memaksimalkan upaya tersebut.
Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penerjemahan artikel ini.
References
- ^ temuan penelitian terbaru (doi.org)
- ^ komitmen iklim terbaru (unfccc.int)
- ^ lahan gambut (link.springer.com)
- ^ lahan mangrove (www.nature.com)
- ^ emisi terbanyak (www.nature.com)
- ^ ekspansi lahan pertanian (theconversation.com)
- ^ program pemantauan (besjournals.onlinelibrary.wiley.com)
- ^ tantangan krusial (link.springer.com)
- ^ memprioritaskan (www.nature.com)
- ^ mengimplementasikan (www.sciencedirect.com)
- ^ gambut (www.cifor-icraf.org)
- ^ mangrove (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ Penelitian baru ini (www.nature.com)
- ^ Temuan penelitian ini (www.nature.com)
- ^ Penelitian (www.nature.com)
- ^ FOLU Net Sink (www.menlhk.go.id)
- ^ dokumen komitmen iklim 2022 (ENDC) (unfccc.int)
Authors: Sigit Sasmito, Senior Research Officer, James Cook University