Buruknya demokrasi Indonesia setelah Orde Baru: dampak dari ‘negara bayangan’
- Written by Kezia Kevina Harmoko, Editor

Demokrasi di Indonesia tidak mengalami kemajuan, bahkan setelah sekian lama memasuki era Reformasi. Buruknya sistem demokrasi di Indonesia ini disebabkan oleh terjadinya negara bayangan (shadow state).
Demokrasi yang stagnan di Indonesia sudah terbukti melalui sejumlah data.
Berdasarkan Indeks Demokrasi 2024[1] yang dirilis oleh The Economist Intelligence Unit (EIU), skor demokrasi Indonesia berada di angka 6.44–tergolong demokrasi cacat (flawed democracy). Indonesia tak pernah naik kelas ke tingkat demokrasi penuh (full democracies) yang membutuhkan skor 9 sampai 10.
Berdasarkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)[2] yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), level demokrasi Indonesia juga tak ada perkembangan berarti. Level demokrasi Indonesia tetap di skala sedang (kurang dari 80 poin) selama dua dekade belakangan.
Membahas tentang keburukan demokrasi yang ada di Indonesia, Universitas Nasional (UNAS) telah menyelenggarakan diskusi publik berjudul “Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris” pada bulan lalu.
Diskusi tersebut melibatkan narasumber dari akademisi, peneliti, dan tokoh politik untuk membahas stagnansi demokrasi Indonesia di era reformasi tak hanya dari perspektif politik, tetapi juga ekonomi-politik.
Syarif Hidayat, Guru Besar Universitas Nasional (UNAS) sekaligus Ketua Komisi Ilmu Sosial pada Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (KIS-AIPI), menyampaikan bahwa stagnansi demokrasi Indonesia terus bertahan karena terjadinya shadow state.
“Salah satu bias reformasi pasca-Orde Baru adalah munculnya shadow state. Pemerintah bayangan atau para pemangku otoritas informal di luar struktur pemerintahan yang dapat mengendalikan pemerintahan formal,” kata Syarif.
Maksud dari shadow state dalam konteks Indonesia adalah negara kita diatur oleh orang-orang yang tidak secara langsung menjabat sebagai pemerintah. Dalam hal ini, negara diatur oleh oligarki, alias sekelompok orang yang memiliki kekuasaan.
Ada dua oligarki yang menguasai Indonesia sebagai shadow state, oligarki kapitalis (pemilik usaha besar) dan oligarki partai politik (politisi yang berkuasa di partai politik dan pemerintahan). Kedua oligarki ini bisa jadi tak memiliki jabatan di pemerintahan, tetapi memengaruhi Indonesia dari balik layar, untuk memenuhi kepentingan mereka sendiri.
Menurut Syarif, shadow state dapat terjadi karena fungsi pemerintahan yang melemah. Pelemahan ini berasal dari fokus reformasi Indonesia yang salah. Bukan berfokus pada pada reformasi kapasitas negara (state capacity), Indonesia justru menekankan pada reformasi kelembagaan negara (state institutional reform).
Syarif menjelaskan, dalam reformasi kelembagaan negara, upaya utama yang dilakukan adalah membangun stage image. Artinya, reformasi yang dilakukan menekankan pada pembangunan citra. Aktualisasi negara dalam keseharian (state in practice) justru sering kali lupa diupayakan, bahkan terlewat sama sekali.
Singkatnya, Indonesia lebih berfokus pada membuat citra positif sebagai sebuah bangsa, tetapi tidak mengembangkan kapasitas negara untuk melancarkan urusan sehari-hari.
Apa perbedaan era Orde Baru dan Reformasi?
Indonesia telah memasuki era Reformasi sejak era Orde Baru (era pemerintahan Soeharto) selesai di tahun 1998. Syarif menjelaskan, ada perbedaan kondisi hubungan antara pemerintah dengan pemilik bisnis saat era Orde Baru dan Reformasi.
Saat Orde Baru, pemerintah punya kekuatan politik lebih besar dibanding pebisnis. Di era Reformasi, pebisnis justru jadi sosok yang mampu mengontrol negara.
Pergeseran kondisi hubungan ini terjadi karena, di era Reformasi, partai politik dan pemilik modal lebih bebas masuk ke dunia politik. Kebebasan ini yang membuat oligarki partai politik dan kapitalis semakin berkuasa.
Kekuasaan dua oligarki tersebut bahkan berpengaruh sampai ke pemilihan presiden maupun kepala daerah. Mereka berupaya mempertahankan dan bahkan memperbesar kekuasaan mereka dengan mendukung orang-orang yang juga dapat mendukung mereka.
Pola yang disebut politik transaksional ini mungkin terjadi karena difasilitasi oleh shadow state.
Oligarki di era Reformasi
Sebenarnya oligarki sudah ada sejak Orde Baru. Vedi Hadiz, Profesor Studi Asia di University of Melbourne, menjelaskan bahwa oligarki di era Orde Baru hadir dalam bentuk pemerintahan otoriter—pemerintah yang benar-benar mengendalikan.
Sementara di era Reformasi, oligarki mengambil alih lembaga legislatif dan yudikatif.
Oligarki membajak dua lembaga tersebut karena dua lembaga tersebut yang membuka peluang pemanfaatan sumber daya milik masyarakat. Cara ini juga diterapkan di era Orde Baru. Di era Reformasi, tindakan ini dilakukan melalui lembaga demokrasi.
Burhanuddin Muhtadi, dosen ilmu politik UIN Syarif Hidayatullah, lebih lanjut menjelaskan mengapa oligarki dapat semakin menguasai lembaga legislatif alias parlemen. Ini terjadi karena semakin banyak pebisnis yang masuk ke parlemen—disebut juga politikus berlatar belakang pengusaha (business politicians[3]).
Mengapa semakin banyak business politicians? Karena hanya merekalah yang mampu membiayai ongkos politik yang makin mencekik.
“Tahun 2014 sampai 2019 hanya 48% politikus yang punya latar belakang pengusaha, kemudian naik menjadi 55% di 2019 sampai 2024, dan terakhir 61%,” kata Burhanuddin.
Akibat biaya kampanye politik yang semakin mahal, politikus dengan latar belakang akademisi akan kalah dalam pertarungan politik yang dikuasai praktik politik uang[4].
Politik uang umumnya dilakukan dengan cara pembelian suara (vote buying) yaitu politikus memberi uang pada masyarakat agar mereka dipilih. Setelah mempelajari Pemilu 2019, Burhanuddin mendapati politik uang telah menjadi “praktik normal baru[5]” dalam pemilu Indonesia.
Memang tidak bisa dibuktikan apakah penerima uang memilih sesuai dengan kandidat yang memberi uang. Namun, politik uang tetap berdampak ke pemilu. Ditemukan bahwa sejumlah 10,2% penerima dana memilih kandidat yang memberikan duit.
Besaran itu sekilas terlihat kecil. Namun, teori margin victory merumuskan bahwa hanya butuh 1,6% untuk seorang kandidat mengalahkan teman satu partainya. Ini karena pertarungan calon legislatif sangat ketat.
Makin besar pertarungan di suatu daerah pemilihan (dapil), semakin ketat juga persaingan antarcalon. Saking ketatnya, nasib seorang politikus bisa ditentukan oleh perbedaan beberapa suara saja.
Maka dari itu, meski politik uang secara statistik dampaknya kecil ke suara, beberapa suara itu sudah cukup menentukan takdir politikus.
Tidak hanya politik uang, peluang politikus pebisnis masuk parlemen juga makin besar karena mereka menjadi anak emas partai politik. Mereka diprioritaskan karena mereka merupakan sumber keuangan partai politik.
“Menghidupi partai itu mahal, politikus ‘duafa’ akan sulit meningkat karier politiknya,” kata Burhanuddin.
References
- ^ Indeks Demokrasi 2024 (www.eiu.com)
- ^ Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) (dataindonesia.id)
- ^ business politicians (www.tandfonline.com)
- ^ praktik politik uang (library.oapen.org)
- ^ praktik normal baru (jurnal.kpk.go.id)
Authors: Kezia Kevina Harmoko, Editor