Asian Spectator
Monday, March 17, 2025 7:40:09 PM

The Times Real Estate

.

Bahaya revisi UU TNI: Multifungsi membuat prajurit jadi ‘kurang militer’, publik terancam direpresi

  • Written by Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta
Bahaya revisi UU TNI: Multifungsi membuat prajurit jadi ‘kurang militer’, publik terancam direpresi

Wacana[1] pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI[2] kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini akan melonggarkan pembatasan peran militer di ranah sipil. Pembahasan ini masuk dalam agenda prioritas legislasi[3].

Dalam rapat dengan DPR pada 11 Maret lalu, Menteri Pertahanan (Menhan) Sjafrie Sjamsoeddin menyampaikan[4] bahwa Prabowo meminta agar prajurit TNI yang akan ditugaskan di kementerian atau lembaga harus pensiun dini. Selain itu, TNI yang aktif diusulkan agar bisa menempati 15 kementerian/lembaga. Ini semua diminta dimasukkan dalam pembahasan revisi UU TNI[5].

Pada Juni 2024, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan bahwa TNI bisa bersifat multifungsi[6]. Peristiwa ini mengawali pergulatan sengit antara aktivis masyarakat sipil dengan DPR-pemerintah terkait revisi UU TNI.

Revisi UU TNI mencakup beberapa isu nonkrusial[7], seperti penambahan jabatan berupa Wakil Panglima, perluasan kewenangan untuk fungsi keamanan, hak berbisnis, dan pelonggaran pengisian jabatan publik oleh TNI aktif.

Agenda pengaturan tersebut mencederai semangat Reformasi TNI[8] tahun 1998. Di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi dan maraknya PHK, hal ini semakin menambah kekhawatiran publik. Revisi UU TNI yang menambah peran aparat militer ditakutkan dapat mengembalikan Indonesia pada masa kelam kebebasan sipil[9] seperti pada era Orde Baru. Kala itu, kebijakan Dwifungsi ABRI[10] disorot sebagai salah satu biang kerok masalah.

Padahal, Dwifungsi ABRI telah dikubur dalam agenda Reformasi TNI dan pembubaran ABRI melalui Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000[11].

Multifungsi militer tidak hanya cenderung berbahaya bagi kehidupan demokrasi sipil, tetapi juga berpotensi membuat prajurit menjadi “kurang militer” (demiliterisasi). Pada akhirnya nanti, fokus utama TNI sebagai alat pertahanan menjadi tidak optimal.

Militerisme di segala lini

Istilah “multifungsi”[12] yang dilontarkan Agus Subiyanto sebenarnya menarasikan praktik kiprah TNI yang ada di tengah masyarakat.

Kita tidak asing melihat TNI berseragam bertugas mengamankan kegiatan warga hingga penanganan bencana. Militer aktif juga terlibat dalam proyek ketahanan pangan[13], distribusi program makan bergizi gratis (MBG)[14], bahkan menduduki jabatan publik[15].

Namun sejauh ini, kebijakan-kebijakan di atas belum memiliki payung hukum yang jelas. Kalaupun ada, posisinya masih terlalu umum dan banyak mendapatkan kritikan. Revisi UU TNI yang sedang digarap ini dimaksudkan untuk memberikan payung hukum pada kiprah-kiprah TNI tersebut.

Read more: Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim[16]

Jika revisi tersebut lolos dan menjadi beleid baru, bangkitnya nuansa militer dalam pemerintahan niscaya benar terwujud. Sebab, baru beberapa bulan menjabat saja, Presiden Prabowo Subianto sudah mewarnai pemerintahan dengan nuansa militerisme[17].

Sebagai contoh, ia mengawali masa jabatannya dengan melakukan retret[18] bersama dengan seluruh jajaran menteri Kabinet Merah-Putih di Akademi Militer, Magelang. Tradisi ini diteruskan dengan melaksanakan retret bagi seluruh Kepala Daerah[19] terpilih beberapa waktu lalu.

Meskipun ia menegaskan bahwa agenda tersebut bukan untuk menjadikan urusan sipil sebagai militer, publik tentu dapat merasakan vibe militer, apalagi sebagian besar fasilitator[20] kegiatan adalah berasal dari militer.

Di Indonesia, tampaknya militer harus ‘multitalenta’. Prajurit tidak hanya bertempur, tetapi diminta juga harus siap bertani[21], mengurusi dapur makanan[22], hingga manajemen publik[23] dalam birokrasi. Padahal, sejatinya tugas militer yang utama adalah berperang dan menjaga pertahanan negara dari ancaman luar.

Demiliterisasi TNI

Wacana multifungsi TNI ini bak menuntut militer sebagai “satuan serba bisa” (jack of all trades). Hal ini berisiko menjadikan keahlian utama yang seharusnya dimiliki TNI menjadi tidak optimal.

TNI memiliki tugas utama untuk menjaga pertahanan negara, sebagaimana tercantum dalam Pasal 30 ayat (3) UUD NRI 1945[24]. Sederhananya, TNI adalah komponen tempur nasional.

Memberikan TNI beban tugas selain fungsi utamanya dapat berisiko besar terhadap kualitas para prajurit. Jika agenda multifungsi tetap diakomodasi dalam revisi UU TNI, dapat terjadi demiliterisasi terhadap angkatan tempur nasional Indonesia.

Profesionalisme militer diwujudkan dalam fokus dan pengembangan militer nasional. Jika dioptimalkan, potensi utama militer akan terwujud.

Amerika Serikat (AS) misalnya, telah berhasil membentuk satuan tempur luar angkasa[25] pertama di dunia. Singapura, meski dengan jumlah militer yang tak banyak, telah memiliki satuan pertahanan siber[26] yang tangguh di kawasan Asia Tenggara. Bahkan, Laos yang tidak memiliki wilayah maritim (landlock) memiliki angkatan laut[27] karena memprioritaskan pertahanan perairannya di Sungai Mekong. Negara-negara ini mengupayakan peningkatan potensi militernya semaksimal mungkin.

Kita tidak bisa mengatakan kondisi militer nasional Indonesia saat ini tanpa cela. Prabowo telah lama menyoroti urgensi peremajaan[28] alutsista nasional. Selain alutsista, pada 2023, jumlah personel TNI pun masih dianggap kurang[29] untuk menjaga teritorial negara yang begitu luas.

Bahkan, pemerintah sampai mendorong pembentukan Komponen Cadangan[30] untuk membantu tugas-tugas TNI.

Belum lagi jumlah serangan siber yang bertambah di Indonesia. Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) sampai mencetuskan pembentukan Angkatan Siber[31] sebagai matra keempat di Indonesia.

Read more: Serangan siber kian masif, akankah Angkatan Siber TNI jadi solusi?[32]

Ini menunjukkan betapa peningkatan kapasitas militer nasional masih jauh dari kata sempurna.

Daripada “memaksa” militer untuk menambah kemampuan di ranah sipil, sebaiknya pemerintah fokus membangun kapasitas internal militer terlebih dahulu agar bisa menghasilkan prajurit yang lebih terlatih untuk menjaga pertahanan nasional.

Urusan ranah sipil dan birokrasi pemerintahan, biarlah pemerintah merekrut talenta-talenta melalui rekrutmen publik dari unsur sipil.

Jalan masuk potensi kekerasan

Kala diterapkan Dwifungsi ABRI pada masa Orde Baru, banyak perwira dan jenderal militer menempati pelbagai jabatan publik yang seharusnya ditempati pemerintahan sipil. Sejarah merekam[33] bagaimana campur tangan militer tersebut berujung pada penindasan, bahkan kekerasan, terhadap kritik pada pemerintah.

Memang, belum tentu adanya militer di ranah sipil akan serta merta menjadikan lembaga negara bersifat militeristik. Namun, hal ini membuka potensi bagi prajurit militer terlibat jauh dalam ranah sipil, dan menjadikan mereka rentan untuk “keceplosan” menerapkan standar militer kepada masyarakat umum: lewat tindakan berbasis kekerasan[34]. Pasalnya, tentara memang dilatih dalam nuansa itu. Kemungkinan terburuknya adalah terjadi penghilangan nyawa warga sipil.

Padahal, negara-negara maju seperti Amerika Serikat (AS) dan di benua Eropa, yang memiliki pengalaman panjang dengan peperangan, menerapkan diskursus untuk mengontrol[35] dan membatasi peran militer[36] dalam kehidupan bernegara sehari-hari. Paradigma ini memiliki ide pokok untuk memisahkan militer dari ranah pemerintahan sipil dan meningkatkan profesionalisme militer.

Agenda Reformasi TNI telah menyepakati adanya pembatasan keterlibatan militer dalam pemerintahan sipil. Sehingga, semboyan “Multifungsi TNI” jelas akan menjadi langkah yang bertolak belakang.

Publik harus terus mengawasi agenda revisi UU TNI ini. Saat ini, Pemerintah dan DPR membahasnya dalam senyap[37]. Ditambah, kita perlu waspada mengingat parlemen punya pengalaman proses legislasi serampangan[38]. Jangan sampai, revisi UU TNI yang dibuat malah menimbulkan masalah baru dan mengembalikan Indonesia ke masa gelapnya (dark-time).

References

  1. ^ Wacana (www.hukumonline.com)
  2. ^ Undang-Undang TNI (peraturan.bpk.go.id)
  3. ^ prioritas legislasi (nasional.kompas.com)
  4. ^ menyampaikan (www.tempo.co)
  5. ^ revisi UU TNI (www.kompas.id)
  6. ^ multifungsi (www.kompas.com)
  7. ^ isu nonkrusial (www.kompas.com)
  8. ^ Reformasi TNI (scholarhub.ui.ac.id)
  9. ^ masa kelam kebebasan sipil (www.hukumonline.com)
  10. ^ Dwifungsi ABRI (www.kompas.com)
  11. ^ Tap MPR No. VI/MPR/2000 Tahun 2000 (www.hukumonline.com)
  12. ^ “multifungsi” (www.kompas.com)
  13. ^ proyek ketahanan pangan (news.mongabay.com)
  14. ^ distribusi program makan bergizi gratis (MBG) (www.cnnindonesia.com)
  15. ^ menduduki jabatan publik (nasional.kompas.com)
  16. ^ Perlukah TNI ikut menjaga pertandingan sepak bola, konser musik dan kegiatan sipil lainnya? Bagi negara demokrasi, ini tidak lazim (theconversation.com)
  17. ^ militerisme (imparsial.org)
  18. ^ retret (www.setneg.go.id)
  19. ^ retret bagi seluruh Kepala Daerah (nasional.kompas.com)
  20. ^ fasilitator (www.kompas.com)
  21. ^ bertani (tniad.mil.id)
  22. ^ dapur makanan (www.rri.co.id)
  23. ^ manajemen publik (www.kompas.com)
  24. ^ UUD NRI 1945 (jdih.mahkamahagung.go.id)
  25. ^ satuan tempur luar angkasa (www.spaceforce.mil)
  26. ^ satuan pertahanan siber (www.mindef.gov.sg)
  27. ^ angkatan laut (dbpedia.org)
  28. ^ peremajaan (tni-au.mil.id)
  29. ^ kurang (www.tempo.co)
  30. ^ Komponen Cadangan (mediaindonesia.com)
  31. ^ Angkatan Siber (www.tempo.co)
  32. ^ Serangan siber kian masif, akankah Angkatan Siber TNI jadi solusi? (theconversation.com)
  33. ^ Sejarah merekam (www.jstor.org)
  34. ^ lewat tindakan berbasis kekerasan (www.antaranews.com)
  35. ^ mengontrol (www.jstor.org)
  36. ^ membatasi peran militer (www.tempo.co)
  37. ^ membahasnya dalam senyap (nasional.kompas.com)
  38. ^ serampangan (pshk.or.id)

Authors: Rahadian Diffaul Barraq Suwartono, Pengajar di Departemen Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta

Read more https://theconversation.com/bahaya-revisi-uu-tni-multifungsi-membuat-prajurit-jadi-kurang-militer-publik-terancam-direpresi-250632

Magazine

Bahaya revisi UU TNI: Multifungsi membuat prajurit jadi ‘kurang militer’, publik terancam direpresi

Prajurit TNI sedang berbaris dalam sebuah upacara.pakww/ShutterstockWacana pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini a...

Buruknya demokrasi Indonesia setelah Orde Baru: dampak dari ‘negara bayangan’

Negara bayangan membuat demokrasi Indonesia setelah Reformasi kian lapukMuhammad Renaldi/Pexels, CC BYDemokrasi di Indonesia tidak mengalami kemajuan, bahkan setelah sekian lama memasuki era Reformasi...

Dilema organisasi masyarakat sipil: Pejuang aspirasi publik, terlilit masalah pendanaan

Ilustrasi mekanisme 'grant funding' sebagai salah satu skema pendanaan untuk organisasi masyarakat sipil.A9 STUDIO/ShutterstockSejarah mencatat organisasi masyarakat sipil (OMS) berperan besar di Indo...