Asian Spectator

The Times Real Estate

.

Bagaimana oligarki menciptakan ‘industri’ pemerintahan dan memperburuk demokrasi

  • Written by Kezia Kevina Harmoko, Editor
Bagaimana oligarki menciptakan ‘industri’ pemerintahan dan memperburuk demokrasi

Sejumlah akademisi sepakat bahwa bahwa oligarki di Indonesia setelah reformasi semakin menguat. Oligarki adalah segelintir orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur jalannya suatu negara.

Menurut Vedi Hadiz, Profesor Studi Asia di University of Melbourne, menguatnya oligarki dapat terlihat dari pemilu yang “terindustrialisasi” akibat politik uang.

Artinya, kata Vedi, pemilihan umum (pemilu) hanya menjadi usaha oligarki menguasai sumber daya masyarakat. Mereka tak keberatan “berinvestasi” mahal untuk memenangkan pemilu.

Vedi menyampaikan pandangannya soal keburukan demokrasi yang ada di Indonesia dalam diskusi publik berjudul “Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris”[1] di Universitas Nasional pada bulan lalu.

Diskusi tersebut melibatkan narasumber dari akademisi, peneliti, dan tokoh politik untuk membahas stagnansi demokrasi Indonesia di era reformasi tak hanya dari perspektif politik, tetapi juga ekonomi-politik.

Imbalan di proyek strategis dan risiko Danantara

Dengan “berinvestasi”, menurut Vedi, oligarki berharap bisa menerima timbal balik (return) yang imbang: bisa menguasai institusi negara yang mengontrol sumber daya publik. Akhirnya, sumber daya publik dinikmati segelintir elite, bukan masyarakat.

Vedi mengatakan, bukti nyata industrialisasi demi kepentingan oligarki ini adalah proyek strategis nasional (PSN). “Banyak dari proyek tersebut yang tidak strategis dan tidak nasional, tetapi diperlukan oleh bisnis dalam kerja sama dengan negara untuk memajukan proyek yang memerlukan displacement dari komunitas lokal: sertifikat bangunan, (kepemilikan) tanah,” ujar Vedi.

Contoh proyek lainnya adalah pembentukan sovereign wealth fund (Danantara) yang disebut berpeluang menjadi serupa dengan 1MDB Malaysia. Badan investasi negeri jiran itu menjadi kesempatan korupsi raksasa ketika Najib Razak[2] sang perdana menteri tertangkap melakukan korupsi tak main-main dari duit yang dikelola badan tersebut.

Vedi juga menekankan bahwa kekuasaan oligarki di Indonesia telah benar-benar menempel di setiap aspek kekuasaan pemerintahan Indonesia. Artinya, kepentingan politikus dan bisnis besar sudah membaur ke dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat.

Bisa jadi, dalam hal kecil pun, kita telah terlibat dalam penguatan oligarki.

Apa yang akan terjadi jika demokrasi tetap stagnan?

Demokrasi Indonesia yang stagnan dapat merusak proses pembuatan kebijakan yang seharusnya sesuai kebutuhan rakyat dan merusak susunan masyarakat sipil.

Demokrasi yang diatur oleh oligarki partai politik dan kapitalis akan menghasilkan pembangunan yang tak adil secara bawaan (unjust by default). Hal ini terjadi karena dalam proses pembentukan kebijakan, anggota parlemen terpilih akan mengupayakan kepentingan oligarki kapitalis yang mendukung mereka mengamankan kursi parlemen dibandingkan kepentingan rakyat.

Oligarki kapitalis harus mendapatkan “return” atas investasi yang mereka berikan pada politisi yang mereka biayai agar masuk ke parlemen. Salah satu bentuk timbal balik ini adalah kebijakan pemerintah (bisa dalam bentuk undang-undang, peraturan, dan lain-lain) yang memudahkan mereka mendapatkan keuntungan.

“Dokumen induk sudah mengandung unsur unjust by default, ketika diturunkan dan dioperasionalkan akan dikawal terus oleh shadow state baik di elite partai politik maupun para kapitalis. Mereka mengontrol semua proses ini sampai di ujung turun dalam bentuk program dan kegiatan,” ungkap Syarif.

Contoh kasus bukti nyata shadow state adalah kasus pemagaran laut di Tangerang yang tak lepas dari campur tangan para pemerintah demi kepentingan kapitalis.

Demokrasi stagnan yang kental dengan politik transaksional ini juga merusak susunan masyarakat sipil. Pemerintah yang mendukung kepentingan oligarki akan berupaya membangun citra heroik pada masyarakat untuk melindungi praktik mereka.

Menurut Bivitri Susanti, akademisi dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, pemerintah akan membangun klientelisme (atau feodalisme: sistem yang mengagungkan jabatan atas) untuk menjaga citra.

Pemenuhan hak warga negara dibesar-besarkan sebagai sebuah tindakan patriotisme layaknya pahlawan. Padahal pemenuhan hak warga negara merupakan sebuah kewajiban.

“Kita dikasih pelayanan publik yang bagus, kita akan puja-puja penguasanya. Padahal itu kewajiban negara. Itu justru secara filosofis alasan mengapa negara ada, karena warga. Bukan negara dulu yang ada lalu warga berkumpul untuk menjadi bagian sebuah negara,” kata Bivitri.

Selain menguatnya klientelisme, demokrasi yang stagnan juga merusak inisiatif masyarakat.

Dengan kata lain, masyarakat menjadi tak kreatif dan tak berani untuk melakukan upaya aktivisme. Ini karena pemerintah membuat seakan-akan melakukan aktivisme harus dengan organisasi yang tersusun rapi (pembentukan LSM: lembaga swadaya masyarakat) yang sulit dilakukan.

Apa yang dapat dilakukan untuk menggerakkan demokrasi?

Sebagai masyarakat sipil, Bivitri mengatakan terdapat beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menggerakkan demokrasi.

Pertama, kita selaku masyarakat perlu mendorong diri untuk keluar dari pikiran bahwa melakukan aktivisme harus melalui organisasi terstruktur. Aktivisme di sini berarti upaya untuk menyuarakan pendapat untuk tujuan tertentu.

Perkumpulan sederhana tanpa kekuatan finansial tertentu atau status organisasi tertentu juga dapat bergerak menyuarakan pentingnya demokrasi rakyat.

Kedua, kita perlu menyadari pemikiran klientelisme dan contoh nyata pandangan tersebut di keseharian kita.

Kita perlu memahami posisi kita sebagai masyarakat dan posisi negara sebagai sebuah institusi yang seharusnya melakukan pemenuhan hak rakyat. Bukan pemenuhan keinginan kelompok tertentu.

Ketiga, kita perlu menguatkan kerja sama kewargaan melalui perkumpulan skala apa pun, mulai dari badan eksekutif mahasiswa (BEM), serikat buruh, hingga organisasi nonpemerintah (NGO) dan mendiskusikan soal sumber daya alternatif. Ini memperbesar peluang kolaborasi untuk memperjuangkan sumber daya publik.

Yang dimaksud dengan sumber daya publik adalah segala hal yang dimiliki oleh masyarakat luas. Mulai dari infrastruktur, kekayaan alam, bahkan diri kita sendiri.

Meski sudah lepas dari era Orde Baru, era Reformasi saat ini tak langsung berarti menandakan peningkatan kualitas demokrasi. Masih perlu banyak perubahan untuk memastikan demokrasi Indonesia tak dikuasai oligarki.

References

  1. ^ “Demokrasi Cukong: Kajian Teoritis dan Realitas Empiris” (www.youtube.com)
  2. ^ Najib Razak (theconversation.com)

Authors: Kezia Kevina Harmoko, Editor

Read more https://theconversation.com/bagaimana-oligarki-menciptakan-industri-pemerintahan-dan-memperburuk-demokrasi-248680

Magazine

Bagaimana oligarki menciptakan ‘industri’ pemerintahan dan memperburuk demokrasi

Mad Ari/Pexels, CC BYSejumlah akademisi sepakat bahwa bahwa oligarki di Indonesia setelah reformasi semakin menguat. Oligarki adalah segelintir orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur jalannya su...

Bahaya revisi UU TNI: Multifungsi membuat prajurit jadi ‘kurang militer’, publik terancam direpresi

Prajurit TNI sedang berbaris dalam sebuah upacara.pakww/ShutterstockWacana pemerintah dan parlemen untuk merevisi ketentuan dalam Undang-Undang TNI kini tengah jadi sorotan. Ada ketakutan revisi ini a...

Buruknya demokrasi Indonesia setelah Orde Baru: dampak dari ‘negara bayangan’

Negara bayangan membuat demokrasi Indonesia setelah Reformasi kian lapukMuhammad Renaldi/Pexels, CC BYDemokrasi di Indonesia tidak mengalami kemajuan, bahkan setelah sekian lama memasuki era Reformasi...