Kejar keadilan gender di dunia kerja dengan 5 cara ini
- Written by Elisabeth Kelan, Professor of Leadership and Organisation, King's College London

Jika kita sedang merintis karier di dunia profesional, kita akan melihat bukti nyata sejauh mana keadilan gender hadir dalam dunia kerja.
Kita bisa jadi telah mengalami sendiri bagaimana lebih banyak perempuan dapat menempuh pendidikan di era saat ini. Kita menyaksikan banyak perempuan menjadi pemimpin perusahaan.
Bisa jadi kita sudah sadar akan pentingnya perlindungan hukum dan kebijakan yang memperjuangkan diskriminasi pendapatan dan promosi. Tempat kerja kita bahkan mengadakan perayaan untuk Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret lalu.
Sayangnya, temuan riset[1] saya menemukan bahwa kemajuan-kemajuan tersebut masih menutupi ketidakadilan gender yang masih hadir di dunia kerja. Banyak profesional muda yang terkejut bahwa gaji dan pensiun perempuan dengan laki-laki masih timpang[2].
Perempuan juga tak jarang diremehkan dalam tangga kepemimpinan[3]. Seksisme pun masih menjadi hal lumrah[4] di banyak tempat kerja.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan untuk melawan ketidakadilan gender di dunia kerja?
Jika kita bukan seorang manajer atau pejabat perusahaan, kapasitas kita untuk mengubah budaya kerja mungkin masih terbatas. Namun, terdapat beberapa langkah praktis yang bisa kita lakukan untuk memperjuangkan keadilan gender dalam konteks profesional.
1. Perkuat radar bias gender
Langkah pertama yang dapat kita lakukan adalah belajar mengenali bias gender.
Kadang-kadang, sulit bagi kita mendeteksi ketidakadilan gender. Apakah kita tidak mendapatkan promosi atau proyek potensial untuk meningkatkan karier karena kita adalah perempuan, atau memang kita belum memiliki kemampuan yang sesuai?
Kita dapat bertanya pada manajer mengenai bagaimana proses pengambilan keputusan tersebut dan mengulas apakah pertimbangan yang dilakukan berkaitan dengan ciri-ciri gender.
Misalnya, ciri perempuan yang dipandang “agresif"—bukannya "tegas"—atau dipandang kurang ”cocok[5]“ untuk sebuah tim. Hal tersebut dapat menjadi indikator bahwa aspek gender berperan dalam sebuah keputusan.
Akan bermanfaat pula jika kita berdiskusi dengan rekan kerja kita tentang bagaimana pengalaman mereka terkait peningkatan jabatan. Kita bahkan bisa membandingkan gaji rekan kerja kita yang berbeda gender untuk menemukan apakah ada pola tertentu. Bisa jadi justru gender tidak ada hubungannya.
Penting juga untuk menyadari pola ketidaksetaraan gender yang berdampak luas di tempat kerja. Berapa banyak pemimpin perempuan atau perempuan yang diberikan peluang menduduki jabatan tinggi? Siapa yang diminta mengurus ”urusan sehari-hari kantor[6]“ seperti mempersiapkan gathering atau menjadi notulen rapat? Apakah sering ada komentar seksis dan bagaimana komentar itu ditanggapi?
2. Suarakan bias gender
Penelitian menunjukkan bahwa menyoroti stereotip[7] merupakan langkah penting untuk melawannya. Misalnya, kita menyadari bahwa pendapat Sarah di rapat tidak dianggap, tetapi ketika Tom mengulangi ide yang sama, ide tersebut mendadak jadi ide brilian.
Dalam situasi tersebut, kita bisa berpendapat bahwa Sarah telah menciptakan ide bagus tersebut sebelumnya. Dengan tindakan ini, potensi bias gender bisa kita soroti dan tanggapi.
Jika bias gender tetap berlanjut, kita mungkin perlu mengingat insiden-insiden seperti itu, meminta masukan rekan kerja, dan menyampaikan isu tersebut ke manajer atau HRD.
Jika tindakan bias gender yang dilakukan lebih terang-terangan, misalnya komentar bernada misogini (kebencian pada perempuan) atau sampai ke pelecehan seksual, kita perlu menyimpan bukti detail dan mencari bantuan dari HRD.
3. Cari rekan yang satu visi
Jika kita masih berstatus junior dalam tempat kerja, mengecam bias gender bisa jadi tidak realistis untuk dilakukan. Dalam kasus tersebut, kita bisa mendekati orang lain—baik perempuan atau laki-laki[8]—untuk mendukung keadilan gender.
Kembali ke contoh Sarah tadi. Anggaplah kita tidak dalam posisi memuji ide Sarah dalam rapat tersebut. Yang dapat kita lakukan adalah menemukan seseorang yang dapat menegur insiden tersebut dengan tetap mengatasnamakan nama kita. Misalnya, kita bisa meminta ketua rapat selanjutnya untuk membahas insiden tersebut dan memberi apresiasi ketika Sarah mencetuskan ide yang bagus.
Kejadian-kejadian semacam itu bisa jadi terasa sepele, tetapi menyoroti kejadian tersebut dapat mengurangi ketidaksetaraan gender di jangka panjang.
4. Dukung kebijakan yang inklusif gender
Menjadi pendukung keadilan gender berarti secara aktif mendukung dan memperjuangkan praktik yang inklusif gender di dunia kerja. Hal ini dapat dilakukan dengan menghadiri acara atau pelatihan terkait keadilan gender atau menyarankan kebijakan atau cara kerja baru yang dapat meningkatkan keadilan gender.
Misalnya, memperbarui kebijakan cuti[10] untuk mendukung pekerja yang mengalami menopause, merealisasikan kebijakan cuti ayah[11] bagi pekerja yang baru memiliki anak, atau memperluas pilihan format kerja—tidak harus selalu berada di kantor—agar lebih fleksibel[12].
Baik laki-laki maupun perempuan dapat mendukung pembentukan tempat kerja yang mempraktikkan kesetaraan gender. Biasanya, perempuan otomatis dianggap sebagai pendukung kesetaraan gender, tetapi laki-laki[13] juga bisa menjadi pembawa perubahan juga.
Untuk laki-laki, membicarakan kesetaraan gender dengan orang lain atau menghadiri acara terkait kesetaraan gender bisa jadi pilihan upaya memperjuangkan keadilan gender. Untuk perempuan, membahas topik keadilan gender dengan laki-laki atau mengajak mereka ke acara terkait kesetaran gender bisa jadi pilihan.
Read more: How 'allyship' can make LGBT+ staff feel less excluded in the work place[14]
5. Temukan dan jadilah seorang role model
Sosok panutan atau role model di dunia kerja adalah sosok yang penting. Mereka membuat kita dapat melihat peluang perkembangan diri kita di masa depan.
Sayangnya, sering kali kita membatasi diri kita sendiri[15] ketika membahas gender: perempuan hanya menjadikan perempuan sebagai panutan dan laki-laki juga[16] memilih sosok laki-laki untuk dijadikan inspirasi.
Menemukan sosok panutan dan berperilaku seperti mereka[17] dapat membantu kita menciptakan tempat kerja yang menjunjung kesetaraan gender. Ini juga bisa menantang stereotip dan menciptakan peluang bagi beragam individu, tidak segelintir kelompok saja.
Pilihlah berbagai sosok panutan yang tak hanya dari latar belakang yang sama. Detailkan hal apa yang kita apresiasi dari mereka, semakin spesifik semakin baik. Kita tidak perlu mencari sosok yang sempurna. Namun, amati tindakan mereka yang kita kagumi.
References
- ^ riset (hbr.org)
- ^ timpang (www.ons.gov.uk)
- ^ diremehkan dalam tangga kepemimpinan (www.weforum.org)
- ^ hal lumrah (culture-shift.co.uk)
- ^ cocok (www.routledge.com)
- ^ urusan sehari-hari kantor (www.forbes.com)
- ^ menyoroti stereotip (link.springer.com)
- ^ baik perempuan atau laki-laki (bristoluniversitypress.co.uk)
- ^ Gorodenkoff/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ memperbarui kebijakan cuti (theconversation.com)
- ^ kebijakan cuti ayah (www.bbc.co.uk)
- ^ lebih fleksibel (www.weforum.org)
- ^ laki-laki (bristoluniversitypress.co.uk)
- ^ How 'allyship' can make LGBT+ staff feel less excluded in the work place (theconversation.com)
- ^ membatasi diri kita sendiri (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ laki-laki juga (onlinelibrary.wiley.com)
- ^ berperilaku seperti mereka (theconversation.com)
Authors: Elisabeth Kelan, Professor of Leadership and Organisation, King's College London
Read more https://theconversation.com/kejar-keadilan-gender-di-dunia-kerja-dengan-5-cara-ini-252525