‘Frugal living’ jadi cara Zilenial bertahan: Apa gaya hidup ini sehat?
- Written by Lury Sofyan, Behavioral Economist, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

● Frugal living jadi cara anak muda bertahan di tengah krisis ekonomi.
● Gaya hidup ini bikin lebih bahagia karena berfokus ke kebutuhan, bukan gengsi.
● Tren ini selaras dengan nilai minimalis dan peduli lingkungan.
Beberapa bulan lalu akun Tiktok Gabriel Dhandi (@Otoh_gab)[1] viral karena memamerkan frugal living alias gaya hidup hemat sambil menjadi karyawan swasta di Jakarta.
Meski bergaji Rp5 juta sebulan, Gabriel mengaku tetap bisa menabung atau berinvestasi hingga Rp3,4 juta dengan menjalani frugal living. Setiap bulan, dia hanya bayar kos di Jakarta sekitar Rp400 ribu, biaya makan sebulan Rp650 ribu. Sementara ia berjalan kaki ke kantor sehingga tak perlu mengeluarkan duit untuk commuting sehari-hari.
Ada juga akun @lowconnect[2] yang memajang frugal living-nya sebagai mahasiswa S3. Demi menghemat ongkos riset, ia mengandalkan platform jurnal dan buku bajakan untuk mencari bahan bacaan. Mahasiswa ini pun suka mencari makan gratis dengan cara mendatangi berbagai acara promosi doktor di kampus.
Konten-konten semacam ini, yang memberikan tips-tips frugal living dari anak muda generasi Milenial dan Generasi Z (Gen Z), semakin banyak muncul dan menjadi trending di media sosial.
Bagi saya yang menggeluti behavioral science, fenomena frugal living di kalangan anak muda cukup menarik untuk kita amati. Apalagi hidup di zaman sekarang ibarat berada di roller coaster tanpa sabuk pengaman. Generasi muda mesti pintar beradaptasi dan mencari cara baru untuk bertahan. Hidup frugal menjadi salah satu jawabannya.
Frugal living sebagai cara beradaptasi
Frugal living adalah salah satu alternatif yang dipilih anak muda dan kelas menengah untuk bertahan di tengah kondisi saat ini.
Dulu, memiliki rumah dan pekerjaan tetap adalah standar kesuksesan. Sekarang? Harga rumah melambung tinggi[3], tapi upah tumbuh lebih lambat dari inflasi atau naiknya harga barang dan jasa.
Survei[4] yang terbit pada 2022 menemukan: baru 38% dari anak muda usia 26-30 tahun yang memiliki rumah sendiri. Ini tak jauh berbeda dengan penduduk usia 31-35 tahun (40%).
Tingkat pengangguran di kalangan anak muda juga tinggi[5], terutama karena banyak keterampilan mereka justru tidak cocok dengan kebutuhan industri saat ini alias skill mismatch.
Anak muda akhirnya memilih banting setir ke gig economy, seperti freelancer atau pekerja lepas di platform digital.
Mungkin ekonomi gig lebih bagi mereka menarik karena fleksibel. Namun, di balik tetapi risikonya adalah tidak ada jaminan sosial dan kepastian pendapatan[6].
Pemerintah juga belum mengeluarkan regulasi yang jelas seputar ekonomi gig. Akhirnya pekerja di ekosistem ini rawan mengalami eksploitasi oleh penyedia platform[7].
Mereka yang menjalani gaya hidup minimalis juga cenderung memiliki tingkat stres lebih rendah karena tidak tertekan untuk terus membeli barang. Saat memiliki lebih sedikit barang, kita juga tidak akan terlalu cemas seputar pemeliharaannya.
Frugal living= Membatasi angan-angan?
Menjalani frugal living juga berhubungan dengan kemampuan kita dalam mengelola ekspektasi. Orang dengan ekspektasi realistis terhadap hidup cenderung lebih bahagia[11] daripada mereka yang menetapkan standar tinggi yang sulit dicapai.
Dalam Prospect Theory[12], ekspektasi merupakan titik perhitungan kebahagian. Ekspektasi disebut juga titik referensi yang dijadikan alat pembanding mental psikologis manusia. Jika ekspektasi tinggi (titik referensi tinggi) maka sulit untuk mencapai kepuasaan (kebahagiaan) dan sebaliknya jika ekspektasi rendah (titik referensi rendah), lebih mudah untuk mencapai kepuasan.
Dengan menurunkan ekspektasi terhadap standar kesuksesan tradisional, kita bisa lebih puas dan tidak terjebak dalam kekecewaan akibat ekspektasi yang tidak realistis. Kita juga bisa lebih memprioritaskan kemandirian dan fleksibilitas dibandingkan sekadar menumpuk cuan.
Gaya hidup ini memungkinkan kita untuk mengejar kebahagiaan dari hal-hal yang lebih bermakna, seperti hubungan sosial yang lebih kuat, waktu luang yang lebih banyak, atau bahkan kebebasan finansial yang lebih cepat tercapai.
Bagian dari budaya ramah lingkungan
Fenomena frugal living merupakan bagian dari benturan nilai antara konsumerisme dan minimalisme yang semakin kentara di berbagai aspek kehidupan.
Benturan serupa pernah terjadi di Jepang[13] dan Amerika Serikat[14]. Misalnya, banyak desain rumah yang lebih minimalis dan lebih fungsional, menggantikan konsep rumah besar sebagai simbol kesuksesan.
Contoh lainnya, semakin banyak individu dan keluarga di beberapa negara Eropa[15] yang memilih untuk tinggal di rumah mungil yang lebih efisien, mudah dirawat, dan lebih ramah lingkungan dibandingkan rumah konvensional yang besar.
Konsep ekonomi berbagi (sharing economy)[16] juga meramaikan benturan ini: saat kepemilikan barang dianggap tidak lagi esensial. Banyak orang mulai menggunakan layanan berbasis sewa untuk kendaraan, pakaian, bahkan peralatan rumah tangga.
Benturan ini bukan hanya menjadi solusi ekonomis, tetapi juga mempercepat pergeseran ke arah gaya hidup yang lebih minimalis dan berkelanjutan.
Kesadaran akan pelestarian lingkungan pun membentuk cara berpikir baru tentang konsumsi. Semakin banyak anak muda yang menyadari bahwa konsumsi berlebihan tidak hanya menguras dompet, tetapi juga berkontribusi pada perusakan lingkungan.
Dengan semakin maraknya gerakan kesadaran pelestarian lingkungan, benturan antara konsumerisme dan minimalisme akan terus berlangsung. Perlahan tapi pasti, tren ini turut membentuk bagaimana dunia memandang kemakmuran dan kesejahteraan di masa depan.
Tren frugal living merupakan salah satu hasilnya.
Kezia Kevina Harmoko berkontribusi dalam penyuntingan artikel ini.
References
- ^ (@Otoh_gab) (www.tiktok.com)
- ^ @lowconnect (www.tiktok.com)
- ^ Harga rumah melambung tinggi (www.kompas.id)
- ^ Survei (insight.jakpat.net)
- ^ di kalangan anak muda juga tinggi (lpem.org)
- ^ tidak ada jaminan sosial dan kepastian pendapatan (journals.sagepub.com)
- ^ penyedia platform (theconversation.com)
- ^ kepuasan hidup lebih tinggi (doi.org)
- ^ kepuasan jangka panjang (doi.org)
- ^ mungkin bisa lebih berarti (www.nytimes.com)
- ^ cenderung lebih bahagia (dash.harvard.edu)
- ^ Prospect Theory (www.linkedin.com)
- ^ Jepang (doi.org)
- ^ Amerika Serikat (doi.org)
- ^ di beberapa negara Eropa (journal-buildingscities.org)
- ^ ekonomi berbagi (sharing economy) (theconversation.com)
Authors: Lury Sofyan, Behavioral Economist, Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)