Berkata kasar ternyata menyehatkan mental dan otak kita
- Written by Elga Ahmad Prayoga, Doctorant, Université de Genève

● Kaum muda cenderung mudah berkata kasar yang bermakna umpatan atau hinaan
● Berkata kasar bermanfaat secara mental dan fisiologis
● Kata-kata kasar seharusnya digunakan secara bijak dengan selalu mempertimbangkan dampak sosial dan emosional
Trigger warning! Tulisan ini mengandung sejumlah kata atau istilah tabu yang dapat membuat pembaca tidak nyaman.
Kamu mungkin sering mendengar orang-orang di sekitarmu mengumpat atau mengekspresikan sesuatu dengan kata-kata kasar.
Berkata-kata kasar merupakan bentuk komunikasi yang sarat dengan emosi dan makna. Alhasil, kata-kata kasar sering kali bermakna positif atau negatif, bergantung pada situasinya.
Perhatikan dua contoh penggunaan kata “anjing” ini:
‘Anjing’, bagus banget mobilnya! (Kata kasar bernuansa kekaguman)
‘Anjing’, gue kalah! (Kata kasar bernuansa kemarahan)
Penggunaan kata kasar juga mencerminkan kreativitas bahasa masyarakat kita. Contohnya, kata “anjir”, “anjay”, “anjrot”, “njir”, dan “bjir” merupakan beberapa variasi bentuk dari umpatan “anjing”[1]. Pelesetan-pelesetan ini cenderung dianggap lebih halus daripada bentuk asalnya.
Meski kata-kata kasar dianggap kotor dan tidak sopan oleh masyarakat, tetapi tetap saja ia jamak digunakan dalam interaksi sehari-hari, terutama oleh kalangan generasi Milenial dan Z (Gen Z). Sebuah studi psikolonguistik[2] menyebutkan bahwa Gen Z cenderung mudah mengumpat.
Ragam kata kasar
Berdasarkan maksudnya, ada tiga jenis kata-kata kasar[3], yakni umpatan, hinaan, dan ujaran kebencian.
Umpatan digunakan untuk mengungkapkan emosi negatif atau rasa frustrasi. Hinaan bertujuan untuk merendahkan ataupun menyerang orang lain.
Sementara ujaran kebencian acap dipakai untuk menyerang suku, agama, orientasi seksual, dan sebagainya.
Di Indonesia, kata-kata kasar tak jarang mencerminkan keragaman bahasa yang terdapat di tanah air, dengan sering munculnya kata-kata pinjaman dari bahasa daerah.
Presiden Prabowo Subianto, misalnya, menuturkan kata “ndasmu” berkali-kali terhadap pihak yang mengkritiknya.
Istilah “ndasmu” memiliki arti “kepalamu” dalam bahasa Jawa ragam ngoko—yang mencerminkan tingkat kesopanan paling rendah. Kata tersebut bisa dikategorikan kasar karena, menurut ahli filologi Supardjo[4], kerap digunakan untuk merendahkan seseorang.
Kata “ndasmu” serupa juga dengan “keningmu”, “matamu”, dan “mulutmu”. Kata-kata ini bisa bermakna negatif apabila dipakai sebagai respons untuk membantah kritik, disampaikan secara langsung kepada pemberi kritikan, dan dilafalkan dengan nada yang tajam.
Sebaliknya, bila diucapkan di antara teman sebaya dengan maksud bercanda dan intonasi yang ringan, maknanya bisa berubah menjadi positif.
Pidato ‘Ndasmu’ Prabowo untuk Pengkritiknya Jadi Polemik.Konteks global kata kasar
Di tataran global, riset menemukan[5] pola dalam pemilihan kata tabu yang bisa dipandang kasar dalam konteks tertentu. Contohnya, kata-kata yang artinya setara dengan “vagina” (pussy) adalah “memek” dan “pepek”.
Ada juga kata yang sama artinya dengan “entot” (fuck) adalah “jancok” yang berasal dari kata ancuk (sanggama) dalam bahasa Jawa.
Ada pula padanan-padanan dari istilah tabu lainnya, seperti “kontol” (dick) yang berasal dari kata “penis”. Lalu ada “tahi” (shit) dan “lubang pantat” (asshole).
Ini merupakan kata-kata kasar yang paling sering dilontarkan secara konsisten di setiap sampel bahasa dalam penelitian tersebut.
Sementara itu, contoh ujaran-ujaran kasar yang biasanya muncul dalam bahasa Indonesia adalah “anjing”, “monyet”, “kampret”, “babi”, “binatang”, “jembut”, “bangsat”, “keparat”, “goblok”, dan sebagainya.
Kata-kata tersebut belum tentu punya nilai dan makna jelek yang sama logisnya dalam bahasa lain.
Kata-kata kasar dalam bahasa asing tidak serta-merta maknanya masuk akal dalam bahasa Indonesia. Misalnya, kata “jerk” dalam bahasa Inggris yang bermakna[6] “mengentakkan atau menyentakkan sesuatu”, yang dalam konteks umpatan berarti hinaan untuk seseorang yang bodoh[7].
Meski begitu, kata-kata kasar seharusnya digunakan secara bijak dengan selalu mempertimbangkan dampak sosial dan emosional.
Memberikan pemahaman dan penggunaan kata-kata kasar, terutama kepada anak-anak, adalah salah satu tantangan utama di dunia pendidikan. Dalam hal ini, orang tua dan guru[18] berperan penting untuk memberikan contoh dan membantu mereka mengembangkan keterampilan berkomunikasi yang efektif[19].
Pada akhirnya, kesadaran diri dan pendidikanlah yang mampu membantu menjaga kata-kata kasar agar tetap ada sebagai sesuatu yang sensitif dan tabu, sehingga efek psikologis dan fisiologisnya dapat terus dirasakan sebagaimana mestinya.
References
- ^ variasi bentuk dari umpatan “anjing” (narabahasa.id)
- ^ Sebuah studi psikolonguistik (repository.uir.ac.id)
- ^ kata-kata kasar (theconversation.com)
- ^ menurut ahli filologi Supardjo (www.kompas.com)
- ^ riset menemukan (link.springer.com)
- ^ bermakna (www.oed.com)
- ^ seseorang yang bodoh (www.englishclub.com)
- ^ bukan berarti (www.scientificamerican.com)
- ^ menurut riset (doi.org)
- ^ Sebuah studi (doi.org)
- ^ meluapkan emosi (doi.org)
- ^ Penelitian (doi.org)
- ^ amigdala (amygdalae) (www.simplypsychology.org)
- ^ Aktifnya amigdala (doi.org)
- ^ Hasil eksperimen (doi.org)
- ^ bagian kompleks dari bahasa manusia (doi.org)
- ^ Vladimir Gjorgiev/Shutterstock (www.shutterstock.com)
- ^ orang tua dan guru (naitreetgrandir.com)
- ^ berkomunikasi yang efektif (pmc.ncbi.nlm.nih.gov)
Authors: Elga Ahmad Prayoga, Doctorant, Université de Genève
Read more https://theconversation.com/berkata-kasar-ternyata-menyehatkan-mental-dan-otak-kita-250149